Nationalgeographic.co.id - Indonesia sebagai negara kepulauan dataran rendah sangatlah rentan diterpa gelombang laut bertinggi ekstrem. Ketika diperparah oleh gelombang panas laut, gelombang laut bertinggi eksrem ini memiliki dampak ekologis dan sosial yang lebih besar.
Tim peneliti internasional menyelidiki kenaikan permukaan air laut di sepanjang pesisir Samudra Hindia Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Mereka menemukan bahwa kenaikan permukaan laut antropogenik dikombinasikan dengan variabilitas iklim dekaden menyebabkan peningkatan terjadinya gelombang laut ekstrem selama tahun 2010–2017.
Kenaikan permukaan laut yang ekstrem adalah salah satu manifestasi paling penting dari perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut global antropogenik selama abad yang lalu telah memperbesar banjir dan menyebabkan banjir dengan langit cerah atau tanpa hujan di banyak wilayah pesisir di seluruh dunia.
"Meski banyak penekanan telah ditempatkan pada kondisi ekstrem permukaan laut yang disebabkan oleh badai dan air pasang pada skala waktu harian, ekstremitas permukaan laut yang didorong oleh variabilitas iklim dan evolusinya di bawah perubahan iklim antropogenik kurang mendapat perhatian," tulis para peneliti dalam makalah studi mereka yang terbit di jurnal Nature Communications pada 27 Oktober 2022.
"Sebagai mode iklim antar-tahunan yang paling dominan, El Niño—Southern Oscillation (ENSO) memiliki dampak global terhadap iklim. Di atas Samudra Hindia tropis, El Niño (yaitu, fase positif ENSO) sering memicu gelombang panas laut yang kuat di cekungan Indonesia-Australia selama musim dingin-musim semi," papar mereka dalam laporan studi yang bertajuk "Sea level extremes and compounding marine heatwaves in coastal Indonesia."
Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Memengaruhi Air Laut dan Ekosistem?
Baca Juga: Kenaikan Permukaan Laut: Maladewa Tidak Bisa Lagi Dihuni Pada 2030
Baca Juga: Ancaman Perubahan Iklim: Kenaikan Gelombang Laut Dunia yang Mengubah Garis Pantai
El Niño 2015–2016 memicu gelombang panas laut yang kuat dan berkepanjangan di cekungan Indonesia-Australia yang memuncak pada Maret 2016. Lalu, Indian Ocean Dipole (IOD) negatif 2016 mempertahankan gelombang panas laut selama musim panas-musim gugur boreal berikutnya.
Wilayah tepian Samudra Hindia menampung sepertiga populasi dunia. Sebagian besar populasi ini hidup di negara-negara berkembang dengan wilayah pesisir dataran rendah yang sangat rentan terhadap variabilitas dan perubahan iklim.
Indonesia adalah salah satu dari negara-negara tersebut. Negara ini terletak di pertemuan Samudra Hindia timur tropis dan Samudra Pasifik barat di dalam kolam hangat Indo-Pasifik.
Indonesia juga menjadi rumah bagi terumbu karang yang beragam. Selain itu, Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh variabilitas iklim yang terkait dengan monsun, IOD, dan ENSO.
"Urbanisasi yang cepat di Pulau Jawa dan pertumbuhan penduduk di daerah dataran rendah, bersama-sama dengan cepat tenggelam karena ekstraksi air tanah," tulis para peneliti. Hal ini, menurut mereka, semakin meningkatkan kerentanan Pulau Jawa terhadap variabilitas dan perubahan iklim, sehingga membuat masalah kenaikan permukaan laut menjadi akut di wilayah ini.
Oleh karena itu, bagi para peneliti, Indonesia adalah tempat uji yang ideal untuk memahami peristiwa gelombang laut bertinggi ekstrem dan gelombang panas laut.
Para peneliti menggabungkan pengamatan bulanan in situ dan satelit untuk mendeteksi peristiwa gelombang laut bertinggi ekstrem dan gelombang panas laut yang didorong oleh iklim di sekitar pesisir Samudera Hindia Indonesia dalam beberapa dekade terakhir dan untuk memahami penyebabnya. Mereka terutama berfokus pada era satelit altimetri sejak 1993 ketika percepatan kenaikan permukaan laut global telah terdeteksi dan sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim antropogenik.
"Data altimeter satelit dari 1993–2018 menunjukkan kenaikan permukaan laut yang cepat di sepanjang pesisir timur Samudra Hindia tropis, dengan laju kenaikan 5,12 ± 0,17 mm/tahun di dekat lokasi pengukur pasang surut di pesisir Jawa dibandingkan dengan kenaikan rata-rata global 3,1 ± 0,3 mm/tahun," tulis para peneliti.
"Disertai dengan kenaikan permukaan laut yang cepat adalah pemanasan suhu permukaan laut (SPL) yang lemah di dekat Jawa dan pemanasan yang lebih kuat di sekitar pesisir selatan Sumatra," beber mereka.
Di atas tren kenaikan kenaikan permukaan laut ini terdapat variasi besar dari tahun ke tahun, seperti yang ditunjukkan oleh catatan pengukur pasang surut ~10 tahun di pesisir Jawa dan data altimeter satelit di lokasi terdekat. Data altimeter mendeteksi lima belas peristiwa gelombang laut bertinggi ekstrem selama periode 26 tahun (1993–2018), yang didefinisikan sebagai anomali permukaan laut rata-rata bulanan.
Data altimeter satelit memiliki rata-rata spasial, tetapi data stasiun pengukur pasang surut tidak. Meskipun demikian, konsistensi yang tinggi menunjukkan bahwa data altimeter satelit dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang-gelombang laut bertinggi ekstrem di pesisir Indonesia.
Hasil penelitian ini adalah peringatan atas pentingnya penerapan mitigasi bencana di pesisir Indonesia, terutama di pesisir Jawa. Sebab, masyarakat yang hidup di pesisir Jawa menghadapi ancaman tinggi atas kemunculan gelombang-gelombang laut ekstrem akibat perubahan iklim antropogenik yang sedang terjadi saat ini.