Program Transmigrasi Orba: dari Kepentingan Bisnis Berbuah Ketimpangan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 1 November 2022 | 14:00 WIB
Rumah transmigran yang ada di wilayah pesisir utara Pulau Sumbawa. Program transmigrasi masa Orde Baru menyisakan masalah di sisi sosial. (Andi Prianto)

Namun, transmigran punya tujuannya sendiri yang bermasalah bagi masyarakat lokal. Pujo Semedi Hargo Yuwono, pengajar antropologi Universitas Gadjah Mada yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengungkapnya.

Di daerah, perusahaan ingin meningkatkan pasokannya dan harus stabil. Akibatnya menyerap kebutuhan lahan dan tenaga kerja yang lebih luas. Sementara, program transmigrasi mengirimkan transmigran ke kawasan perkebunan di daerah lain.

"Kombinasi antara kebutuhan ekonomi dan teknis bahwa ada pasokan dan pasokannya harus stabil, diselesaikan secara politis melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digabungkan dengan program transmigrasi pada tahun 1980-an selama kuasanya Orde Baru," terangnya dalam materi kuliah daring Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM berjudul "Dongeng Kebun Sawit".

Walau sistem ini membuat para petani lokal mendapatkan pendapatan besar, tetapi mengalami kerugian karena lahannya berpindah tangan.

Studi Ayu dan timnya juga mengungkapkan masalah yang sama. Pemerintah ingin meningkatkan komoditas ekspornya, sehingga mendorong metode produksi pertanian dan perkebunan yang terpusat. Mereka menerangkan, sistem, sebagai yang lebih dekat bagi pejabat pemerintah dengan etnis mayoritas, tampaknya menguntungkan transmigran dari kelompok tenis yang sama.

"Masyarakat asli sekarang diposisikan di pinggiran sistem pengetahuan lokal mereka. Pemukiman kembali transmigran di daerah pinggiran dilaporkan mengancam kekuatan politik masyarakat asli. Mereka berpotensi dikeluarkan dari posisi kontrol atas otoritas, sumber daya, dan tanah," kata rekan penulis Kirsten Martinus. Dia adalah Associate Professor di University of Western Australia.

Para peneliti kemudian menyoroti dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan. Rencana ini memang memiliki kritik karena punya risiko kerusakan keanekaragaman hayati hutan tropis. Namun, rencana ibu kota ini juga akan memobilisasi ribuan pegawai pemerintahan untuk tinggal di sana.

Artinya, hal ini dapat mengubah demografi masyarakat tuan rumah di daerah sekitar ibu kota yang baru dibangun. Hal ini memiliki kesamaan dengan transmigrasi dan akan menyebabkan masalah yang serupa.

“Strategi relokasi ibu kota harus mempertimbangkan dan mengakomodasi penduduk asli setempat mengingat pelajaran yang dipetik dari pengalaman program transmigrasi beberapa dekade lalu,” terang rekan peneliti Petr Matous, seorang Associate Professor dari School of Project Management University of Sydney.