Program Transmigrasi Orba: dari Kepentingan Bisnis Berbuah Ketimpangan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 1 November 2022 | 14:00 WIB
Rumah transmigran yang ada di wilayah pesisir utara Pulau Sumbawa. Program transmigrasi masa Orde Baru menyisakan masalah di sisi sosial.
Rumah transmigran yang ada di wilayah pesisir utara Pulau Sumbawa. Program transmigrasi masa Orde Baru menyisakan masalah di sisi sosial. (Andi Prianto)

Nationalgeographic.co.id - Banyak yang menilai program transmigrasi—memindahkan jutaan orang dari daerah padat penduduk ke daerah yang jarang penduduknya—dapat mendukung distribusi sumber daya yang adil. Di sisi lain, praktik ini dikritik banyak pihak karena dinilai mendorong kebijakan integrasi nasional yang dipelopori oleh kepentingan etnis mayoritas. 

Di Indonesia, praktik ini sangat besar pada masa Orde Baru atau saat kepresidenan Soeharto pada 1980-an. Kebanyakan orang-orang dari Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatra, dipindahkan ke daerah lain di pulau lain atau daerah lain. Daerah yang menampung transmigran juga menjaga identitas mereka, termasuk bahasa. 

Sebenarnya, transmigrasi sudah lama dilakukan sejak zaman Hindia Belanda di tahun 1905, bahkan oleh presiden pertama Indonesia Sukarno tahun 1950-an. Program transmigrasi, baik di masa Hindia Belanda maupun setelah kemerdekaan Indonesia, memindahkan para transmigran untuk bekerja di sektor perkebunan.

Banyak yang percaya, pada sisi kemanusiaan, transmigrasi bisa memberikan kemajuan pada penduduk asli di daerah. Namun, terkadang ada ketimpangan antar-kelompok masyarakat di daerah penampung transmigran.

Penelitian terbaru oleh University of Turku, University of Sydney, dan University of Western Australia, menengok kembali program lama ini. Penelitian itu diterbitkan di Journal of Rural Studies bertajuk "Transmigration programs and migrant positions in rural community knowledge networks."

Para peneliti mengamati bagaimana struktur jaringan pengetahuan dalam komunitas yang menampung transmigran beberapa dekade. "Dibutuhkan satu generasi untuk berintegrasi dengan baik ke dalam komunitas adopsi mereka," kata Ayu Pratiwi, penulis utama makalah penelitian dan peneliti pascadoktoral dari Turku School of Economics di University of Turku, Finlandia.

Penelitian yang dipimpin Ayu itu, menemukan bahwa terdapat perubahan penting dalam komposisi populasi di komunitas tuan rumah. Keturunan transmigran sangat mendominasi, bahkan menjadi aktor yang sangat berpengaruh dalam jaringan pengetahuan masyarakat tuan rumah.

Generasi yang lahir dari transmigran mendapat manfaat dari hubungan budaya yang kuat dengan wilayah itu, terang para peneliti. Hal itu disebabkan mereka lahir di sana, sehingga punya keterikatan yang kuat dalam komunitas daerahnya.

Baca Juga: Tiga Sisa Jasad di Pulau Alor Ungkap Migrasi Terawal Manusia Indonesia

Baca Juga: Museum Nasional Ketransmigrasian Lampung, Rekam Jejak Transmigran Pertama

Baca Juga: Orang Dayak Iban Tahu Pohon Terap Ada Dua Jenis, Kini Terbukti Ilmiah

Baca Juga: Kiris Air dan Ribuan Penduduk yang Terkena Gangguan Mental setelahnya

Namun, transmigran punya tujuannya sendiri yang bermasalah bagi masyarakat lokal. Pujo Semedi Hargo Yuwono, pengajar antropologi Universitas Gadjah Mada yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengungkapnya.

Di daerah, perusahaan ingin meningkatkan pasokannya dan harus stabil. Akibatnya menyerap kebutuhan lahan dan tenaga kerja yang lebih luas. Sementara, program transmigrasi mengirimkan transmigran ke kawasan perkebunan di daerah lain.

"Kombinasi antara kebutuhan ekonomi dan teknis bahwa ada pasokan dan pasokannya harus stabil, diselesaikan secara politis melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digabungkan dengan program transmigrasi pada tahun 1980-an selama kuasanya Orde Baru," terangnya dalam materi kuliah daring Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM berjudul "Dongeng Kebun Sawit".

Walau sistem ini membuat para petani lokal mendapatkan pendapatan besar, tetapi mengalami kerugian karena lahannya berpindah tangan.

Studi Ayu dan timnya juga mengungkapkan masalah yang sama. Pemerintah ingin meningkatkan komoditas ekspornya, sehingga mendorong metode produksi pertanian dan perkebunan yang terpusat. Mereka menerangkan, sistem, sebagai yang lebih dekat bagi pejabat pemerintah dengan etnis mayoritas, tampaknya menguntungkan transmigran dari kelompok tenis yang sama.

"Masyarakat asli sekarang diposisikan di pinggiran sistem pengetahuan lokal mereka. Pemukiman kembali transmigran di daerah pinggiran dilaporkan mengancam kekuatan politik masyarakat asli. Mereka berpotensi dikeluarkan dari posisi kontrol atas otoritas, sumber daya, dan tanah," kata rekan penulis Kirsten Martinus. Dia adalah Associate Professor di University of Western Australia.

Para peneliti kemudian menyoroti dengan rencana pemerintah Indonesia yang akan memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan. Rencana ini memang memiliki kritik karena punya risiko kerusakan keanekaragaman hayati hutan tropis. Namun, rencana ibu kota ini juga akan memobilisasi ribuan pegawai pemerintahan untuk tinggal di sana.

Artinya, hal ini dapat mengubah demografi masyarakat tuan rumah di daerah sekitar ibu kota yang baru dibangun. Hal ini memiliki kesamaan dengan transmigrasi dan akan menyebabkan masalah yang serupa.

“Strategi relokasi ibu kota harus mempertimbangkan dan mengakomodasi penduduk asli setempat mengingat pelajaran yang dipetik dari pengalaman program transmigrasi beberapa dekade lalu,” terang rekan peneliti Petr Matous, seorang Associate Professor dari School of Project Management University of Sydney.