300 Nelayan Global Tewas per Hari, Bagaimana Nasib Nelayan Indonesia?

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 3 Desember 2022 | 08:00 WIB
Nelayan Tanjung Binga menyortir ikan hasil tangkapan pada dini hari saat perjalanan pulang menuju Pulau Belitung. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Negara-negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional juga harus menetapkan kebijakan yang jelas untuk memperkuat upaya memerangi IUU fishing dan overfishing. Hal ini jelas perlu dilakukan juga oleh Indonesia yang wilayah lautnya berbatasan dengan banyak negara lain di kawasan Asia Tenggara maupun Laut Cina Selatan.

Bagaimana nasib nelayan ndonesia?

Dita Liliansa, peneliti hukum dan kebijakan kelautan di National University of Singapore (NUS), pernah membuat sebuah pemaparan bahwa Asia merupakan penghasil komoditas perikanan tangkap kelas kakap. "Ada setidaknya 4,1 juta kapal perikanan berbendera negara-negara Asia," tulis Dita dalam sebuah artikel di The Conversation.

"Ironisnya, tak ada satupun negara-negara Asia yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town," kata Dita.

Indonesia sendiri merupakan produsen komoditas perikanan terbesar kedua di dunia, dan mengeklaim memiliki lebih dari 600 ribu kapal perikanan pada 2014. Namun, jumlah pastinya belum diketahui. Mayoritas kapal perikanan Indonesia pun berukuran kecil, sehingga sebagian besar tidak memenuhi syarat untuk terikat dalam Perjanjian Cape Town.

Pun demikian, banyak warga Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing. Misalnya, sekitar 186.430 warga Indonesia bekerja di kapal perikanan berbendera Malaysia, sebanyak 12.278 warga di kapal Taiwan, dan 4.885 warga di kapal Korea Selatan pada 2018.

Sayangnya tidak ada satu pun dari negara di atas yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town. Artinya, besar kemungkinan aturan keselamatan kapal perikanan di negara-negara tersebut beragam.

Menyerahkan pengaturan standar keselamatan kapal perikanan sepenuhnya ke masing-masing negara menjadi problematik karena negara bisa saja menerapkan aturan yang lebih ringan dari standar yang seharusnya. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan standar minimum internasional yang dapat diterapkan di seluruh negara, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Cape Town.

Sayangnya, pengaturan keselamatan kapal perikanan masih jauh tertinggal dari kapal komersial. "Padahal, nyawa pekerja kapal perikanan maupun kapal komersial sama-sama berharga," tulis Dita.

Karena seluruh pekerja berhak atas lingkungan kerja yang aman, kapal perikanan mestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan kapal komersial.

Negara-negara yang memiliki banyak pekerja migran yang bekerja di kapal perikanan asing seperti Indonesia seharusnya memiliki kepentingan yang tinggi untuk memastikan Perjanjian Cape Town segera berlaku secara internasional. "Hal ini penting untuk memastikan bahwa pekerja migran tersebut tidak bertaruh nyawa dengan bekerja di atas kapal perikanan yang tak layak," tegas Dita.