300 Nelayan Global Tewas per Hari, Bagaimana Nasib Nelayan Indonesia?

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 3 Desember 2022 | 08:00 WIB
Nelayan Tanjung Binga menyortir ikan hasil tangkapan pada dini hari saat perjalanan pulang menuju Pulau Belitung. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Kita sering kali tak memahami betapa panjang dan sulitnya proses suatu makanan bisa tiba di meja makan kita lalu bisa kita santap. Salah satunya terkait hidangan ikan atau pangan bahari lainnya.

Ternyata, sektor perikanan tangkap merupakan salah satu industri yang paling berbahaya sejagad. Nelayan atau penangkap ikan telah menjelma menjadi salah satu profesi paling berbahaya di dunia.

Penelitian oleh FISH Safety Foundation (FSF) pada 2022 yang ditugaskan oleh The Pew Charitable Trusts mengungkapkan bahwa lebih dari 100.000 kematian terkait penangkapan ikan terjadi setiap tahunnya. Ini berarti hampir 300 nelayan mati setiap harinya, sebuah perkiraan yang jauh lebih tinggi daripada semua perkiraan sebelumnya.

Jumlah kematian yang signifikan secara tidak proporsional memengaruhi para nelayan berpenghasilan rendah, termasuk anak-anak yang dipaksa bekerja. Sebagian besar dari mereka tewas karena didorong oleh kondisi kerja yang berbahaya dan kapal yang tidak aman.

FSF mengidentifikasi beberapa faktor penyebab kematian nelayan. Faktor-faktor tersebut mencakup kemiskinan, konflik geopolitik, penangkapan ikan berlebihan (overfishing), penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated/IUU fishing), serta perubahan iklim.

Penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur adalah pendorong yang signifikan, terutama karena permintaan protein ikan meningkat secara global. Para operator ilegal industri perikanan mengambil jalan pintas dan mengabaikan aturan keselamatan sambil berkontribusi pada eksploitasi tangkapan yang sangat menguntungkan secara berlebihan.

Nelayan tradisional memasukkan ikan tangkapan ke dalam jerigen di Teluk Baruk, Sepempang, Natuna, Senin, 7 Oktober 2019. Kepulauan Natuna merupakan salah satu wilayah yang menyimpan potensi sumber daya perikanan laut. (Agoes Rudianto/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Ikan Air Tawar Terbesar di Dunia Ditemukan Nelayan di Sungai Mekong

Baca Juga: Selidik Kematian Seorang Nelayan Cile yang Tenggelam 5.000 Tahun Silam

Baca Juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan Indonesia 

Hal ini menyebabkan kondisi yang diidentifikasi sebagai “IUU karena kebutuhan”, dengan nelayan tradisional skala kecil didorong untuk melanggar aturan atau mengambil bagian dalam kegiatan berbahaya yang tidak diatur karena semakin sulit untuk menemukan ikan. Kondisi ini diperparah dengan perubahan iklim dan perubahan distribusi stok ikan.

“Meskipun menangkap ikan pada dasarnya sangat berisiko, kenyataan pahitnya adalah banyak dari kematian ini dapat dihindari. Dengan 3 miliar orang bergantung pada makanan laut dan permintaan diperkirakan akan terus meningkat, kebijakan yang lebih kuat sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan nelayan, termasuk kebijakan yang mengatasi penyebab sebenarnya dari kematian ini,” kata Peter Horn, direktur proyek di proyek perikanan internasional Pew Charitable Trusts yang berfokus menghentikan dan mencegah illegal fishing, sebagaimana dikutip dalam keterengan tertulis Pew pada November 2022.

Eric Holliday, Kepala Eksekutif FSF, mengatakan bahwa perkiraan-perkiraan jumlah korban tewas nelayan yang ada sebelumnya telah meremehkan angka yang sebenarnya dan menyembunyikan bahaya penangkapan ikan.

“Analisis kami adalah yang pertama kali dan secara meyakinkan menunjukkan bahwa kurangnya transparansi dalam industri perikanan membahayakan nyawa dengan mengaburkan gambaran lengkap tentang apa yang terjadi di kapal atau di tempat penangkapan ikan, mempersulit pemerintah untuk memberlakukan kebijakan yang efektif untuk memperbaiki keamanan," tutur Holliday.

"Meskipun kami mungkin tidak akan pernah dapat menentukan jumlah pasti kematian nelayan, hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah, memberi tahu mereka bahwa untuk menyelamatkan nyawa, tindakan mendesak—yang diinformasikan melalui pelaporan dan pembagian data kematian yang lebih baik—sangat dibutuhkan,” tegasnya.

Dengan meninjau data yang tersedia untuk umum dan merujuk silang dengan sejumlah hasil jurnalisme investigatif dan artikel berita, media sosial, dan komunikasi pribadi dengan pejabat pemerintah dan lainnya, para peneliti dalam studi ini dapat memberikan gambaran paling lengkap hingga saat ini tentang jumlah kematian yang terkait dengan penangkapan ikan di seluruh dunia.

Akan tetapi bahkan dengan semua alat yang tersedia, ada kesenjangan data, dan jumlah totalnya hampir tidak mungkin dihitung. Data yang tidak memadai dan tidak akurat mempersulit para pembuat keputusan untuk menerapkan perubahan kebijakan penting yang menjamin keselamatan nelayan industri dan tradisional di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pew mendesak tindakan di beberapa lini. Secara nasional, lebih banyak yang harus dilakukan untuk menerapkan langkah-langkah keselamatan nelayan dan mengatasi pendorong utama. Mengingat tingkat kematian yang tidak proporsional di masyarakat berpenghasilan rendah, dukungan keuangan dan peningkatan kapasitas sangat dibutuhkan.

Secara internasional, upaya untuk meningkatkan pengumpulan data, transparansi, dan berbagi informasi akan membantu badan pengatur untuk lebih memahami masalah yang dihadapi nelayan, mengukur risiko tambahan yang ditimbulkan oleh IUU fishing, dan mengadopsi kebijakan untuk langkah-langkah keselamatan kapal yang lebih kuat.

Perlu juga kerangka peraturan yang dirancang untuk menghentikan penangkapan ikan ilegal dan melindungi nelayan. Secara khusus, negara-negara perlu meratifikasi dan mengimplementasikan Perjanjian Cape Town, yang diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO pada tahun 2012, yang menetapkan standar keselamatan untuk konstruksi dan desain kapal penangkap ikan.

Selain itu, negara-negara juga harus mengimplementasikan Perjanjian FAO tentang Ketentuan Negara Pelabuhan, yang berfungsi untuk mencegah ikan yang ditangkap secara ilegal memasuki rantai pasokan makanan laut. Lalu, setiap negara juga perlu melanjutkan penerapan Konvensi ILO tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan 2007 C188, yang menetapkan standar untuk kondisi kehidupan di kapal di laut.

Baca Juga: Suku Sentani Menggunakan Pengetahuan Lokal untuk Membuat Perahu

Baca Juga: Bersepakat untuk Berantas Pencurian Ikan dan Perikanan Merusak, Daerah Ini Pantas Jadi Contoh

Baca Juga: Seabad Pengaruh Jepang pada Cara Tangkap Ikan di Sangihe dan Talaud

Negara-negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional juga harus menetapkan kebijakan yang jelas untuk memperkuat upaya memerangi IUU fishing dan overfishing. Hal ini jelas perlu dilakukan juga oleh Indonesia yang wilayah lautnya berbatasan dengan banyak negara lain di kawasan Asia Tenggara maupun Laut Cina Selatan.

Bagaimana nasib nelayan ndonesia?

Dita Liliansa, peneliti hukum dan kebijakan kelautan di National University of Singapore (NUS), pernah membuat sebuah pemaparan bahwa Asia merupakan penghasil komoditas perikanan tangkap kelas kakap. "Ada setidaknya 4,1 juta kapal perikanan berbendera negara-negara Asia," tulis Dita dalam sebuah artikel di The Conversation.

"Ironisnya, tak ada satupun negara-negara Asia yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town," kata Dita.

Indonesia sendiri merupakan produsen komoditas perikanan terbesar kedua di dunia, dan mengeklaim memiliki lebih dari 600 ribu kapal perikanan pada 2014. Namun, jumlah pastinya belum diketahui. Mayoritas kapal perikanan Indonesia pun berukuran kecil, sehingga sebagian besar tidak memenuhi syarat untuk terikat dalam Perjanjian Cape Town.

Pun demikian, banyak warga Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing. Misalnya, sekitar 186.430 warga Indonesia bekerja di kapal perikanan berbendera Malaysia, sebanyak 12.278 warga di kapal Taiwan, dan 4.885 warga di kapal Korea Selatan pada 2018.

Sayangnya tidak ada satu pun dari negara di atas yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town. Artinya, besar kemungkinan aturan keselamatan kapal perikanan di negara-negara tersebut beragam.

Menyerahkan pengaturan standar keselamatan kapal perikanan sepenuhnya ke masing-masing negara menjadi problematik karena negara bisa saja menerapkan aturan yang lebih ringan dari standar yang seharusnya. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan standar minimum internasional yang dapat diterapkan di seluruh negara, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Cape Town.

Sayangnya, pengaturan keselamatan kapal perikanan masih jauh tertinggal dari kapal komersial. "Padahal, nyawa pekerja kapal perikanan maupun kapal komersial sama-sama berharga," tulis Dita.

Karena seluruh pekerja berhak atas lingkungan kerja yang aman, kapal perikanan mestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan kapal komersial.

Negara-negara yang memiliki banyak pekerja migran yang bekerja di kapal perikanan asing seperti Indonesia seharusnya memiliki kepentingan yang tinggi untuk memastikan Perjanjian Cape Town segera berlaku secara internasional. "Hal ini penting untuk memastikan bahwa pekerja migran tersebut tidak bertaruh nyawa dengan bekerja di atas kapal perikanan yang tak layak," tegas Dita.