Transisi Kecukupan: Rem Belanja Konsumtif, Selamatkan Lingkungan

By Utomo Priyambodo, Kamis, 22 Desember 2022 | 10:00 WIB
Konsumen memilih sayuran organik di salah satu pasar modern di Jakarta Selatan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Ciri unik konsumen Indonesia yang tidak terencana dan yang memiliki pola pengeluaran tidak terencana menjadi peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk menjual produknya. Orang-orang Indonesia yang tak memiliki rencana pengeluaran harian atau bahkan bulan ini menjadi sasaran empuk bagi para menjual karena mereka rentan mempraktikan perilaku belanja konsumtif yang berlebihan bahkan belanja impulsif.

Sebuah studi yang digarap oleh mahasiswi doktoral Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (UNDIP) penah meneliti para pembeli impulsif di Indonesia. Makalah studi ini pernah dipresentasikan di The 3rd International Conference on Business and Banking (ICBB 2014) di Pattaya, Thailand.

Studi ini berusaha menguji pengaruh interaksi, faktor situasional, danketerlibatan mode pada emosi positif dan pembelian impulsif terencana. Penelitian ini terbatas pada orang-orang yang melakukan pembelian impulsif terencana, yakni para konsumen yang sudah membuat rencana untuk berbelanja tetapi ternyata mereka membeli lebih dari yang mereka rencanakan sebelumnya karena spontanitas atau tiba-tiba.

Hasil studi ini memberikan gambaran tentang pentingnya program diskon (sale) besar, variasi produk, dan tren produk baru yang akan meningkatkan emosi positif dan meningkatkan pembelian impulsif terencana. Faktor situasional seperti tingkat keramaian toko, tempat belanja yang nyaman, dan tata letak yang terorganisir dengan baik juga meningkatkan emosi positif dan pembelian impulsif terencana. Bahkan, sebagian besar responden merasa suasana berbelanja yang ramai membuat mereka penasaran dan menimbulkan emosi positif yang mendorong mereka untuk melakukan pembelian.

Pembelian yang tidak terencana ini kemungkinan besar bakal bersifat berlebihan, lebih dari sekadar mencukupi kebutuhan hidup. Sebuah studi yang terbit di Journal of Industrial Ecology pada Desember 2015 menyebut para konsumen rumah tangga merupakan perusak lingkungan terbesar di planet Bumi ini.

Studi ini memeriksa dampak lingkungan dari para konsumen di 43 negara dan 5 wilayah lainnya di dunia. Dengan mengukur 'dampak sekunder', yakni dampak lingkungan dari produksi barang dan produk yang kita beli setiap hari, para peneliti dalam studi ini mengatakan para konsumen bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca dunia, dan hingga 80 persen penggunaan air global.

International Institute for Sustainable Development (IISD) menyitir sebuah data bahwa setiap tahunnya, sekitar sepertiga dari semua makanan yang diproduksi, yakni sekitar 1,3 miliar ton makanan, terbuang sia-sia. Di sisi lain, 1 miliar orang tetap kekurangan gizi dan 1 miliar lainnya pergi tidur dalam keadaan lapar. Lembaga itu juga mengutip data bahwa rumah tangga mengkonsumsi 29% energi global yang berkontribusi terhadap 21% emisi karbon dioksida (UNEP, 2020).

Lebih jauh lagi, sebuah keluarga di belahan bumi utara membuang rata-rata 30 kilogram pakaian setiap tahunnya. Hanya 15% dari pakaian itu yang didaur ulang atau disumbangkan, dan sisanya langsung dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar. Setiap tahun, 70 juta pohon di hutan langka dan hutan purba ditebang dan diganti dengan perkebunan pohon yang digunakan untuk membuat kain berbahan dasar kayu, seperti jenis kain rayon, viscose, dan modal (Sustain Your Style, 2020).

Baca Juga: Menelisik Perilaku Konsumsi Impulsif dan Dampaknya terhadap Lingkungan

Baca Juga: Mengubah Sisi Gelap Industri Kecantikan Lewat Kecantikan Berkelanjutan

Baca Juga: Berkah di Balik Limbah: Pengawetan Buah-buahan Lewat Kitosan 

Cara untuk meminimalisasi kerusakan bumi akibat pemborosan ini adalah dengan menerapkan praktik konsumsi yang berkelanjutan dan secukupnya. Sebaliknya pula, cara untuk mengerem laju belanja konsumtif kita agar tak berlebihan adalah dengan memikirkan kelestarian lingkungan dan menerapkan pola hidup yang berkelanjutran (sustainability). Kita manusia hidup tentu butuh mengonsumsi makanan dan pakaian, tapi secukupnya saja, tidak perlu berlebihan.

Maria Sandberg, peneliti dari Hanken School of Economics di Helsinki, Finlandia, pernah menggarap sebuah studi bertajuk "Sufficiency transitions: A review of consumption changes for environmental sustainability". Dalam makalah studinya yang terbit di Journal of Cleaner Production pada 2021, Sandberg menulis bahwa untuk "menghentikan degradasi lingkungan, diperlukan pendekatan kecukupan." Hal ini memerlukan perubahan substansial dalam pola konsumsi untuk kelas konsumen tinggi, termasuk pengurangan tingkat konsumsi.

Sandberg mengajukan dua pertanyaan utama: Apa perubahan konsumsi spesifik yang disarankan literatur kecukupan untuk mengurangi jejak ekologis, dan bagaimana perubahan konsumsi semacam itu dapat ditingkatkan?

Makalah studi ini menunjukkan bahwa kecukupan dapat memerlukan empat jenis perubahan konsumsi: pengurangan absolut, pergeseran moda transportasi, umur panjang produk, dan praktik berbagi. Riset ini berfokus pada tiga kategori konsumsi dengan dampak lingkungan terbesar, yakni perumahan, nutrisi, dan mobilitas.

Studi ini juga mengidentifikasi hambatan dan aktor yang dapat mencegah atau memajukan transisi kecukupan (sufficiency). Hambatan transisi kecukupan meliputi sikap dan perilaku konsumen, budaya, sistem ekonomi, sistem politik, dan lingkungan fisik. Aktor-aktor yang berpengaruh mencakup entitas bisnis/perusahaan, pembuat kebijakan, warga negara, LSM, dan pendidik.

Siapa pun kita tentu merupakan konsumen. Jadi, seperti yang disebut di atas, jenis perubahan konsumsi yang bisa kita lakukan dalam keseharian adalah mengurangi jumlah konsumsi kita, beralih memilih berjalan kaki atau bersepeda atau menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi di setiap perjalanan yang memungkinkan, menggunakan barang atau produk yang lebih tahan lama atau berumur lebih panjang sehingga tidak cepat dibuang, serta berbagi kelebihan barang atau makanan yang kita punya kepada orang lain yang membutuhkan ketimbang membuangnya.

Setiap agama dan keyakinan baik mengajarkan manusia untuk hidup merasa cukup dan saling berbagi. Bumi dan isinya ini cukup untuk menghidupi semua orang, tapi tidak akan pernah cukup untuk orang-orang yang serakah.

Untuk mendukung produk-produk berkelanjutan, Sahabat bisa menemukannya dengan klik di sini.