Suaka Margasatwa Muara Angke: Zona Penyangga Jakarta yang Harus Dijaga

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 17 Desember 2022 | 09:00 WIB
Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) adalah kawasan hijau yang perlu diperhatikan di Jakarta. Selain menyerap polusi, suaka margasatwa ini berperan untuk konservasi satwa di Jakarta. (Cun Cun/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id - Di tengah polusinya yang pekat, Jakarta memiliki kawasan hijau untuk konservasi. Kawasan itu adalah Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) di Penjaringan, Jakarta Utara, yang tidak jauh dari Pantai Indah Kapuk dan Pelabuhan Muara Angke.

Suaka Margasatwa Muara Angke menjadi rumah bagi berbagai jenis burung seperti cangak (Ardeola sp.), kuntul (Egretta sp.), mandar batu (Gallinuyla chloropus), bubut jawa (Centropus nigrorufus), dan masih banyak lagi. Sebagian besar adalah jenis burung dengan status konservasi terancam, menurut IUCN.

Pada musim-musim tertentu, tempat ini menjadi tempat singgahnya berbagai jenis burung migran dari benua Eropa, Asia, dan Afrika. Salah satunya yang pernah dipantau National Geographic Indonesia adalah trinil pantai (Actitis hypoleucos).

Selain burung, hewan lain yang dilindungi seperti kura-kura, biawak, ular welang, ular daun, monyet ekor panjang bisa ditemukan di sini. Sehingga, penetapannya adalah untuk konservasi satwa yang dilindungi di Jakarta. Pada bagian perairan, karena berada di pesisir utara Jakarta, Suaka Margasatwa Muara Angke memiliki berbagai jenis ikan pula seperti ikan sapu-sapu dan gabus.

Di kawasan pesisir utara Jakarta, Suaka Margasatwa Muara Angke menjadi tempat menyerap karbon dengan keragaman flora. Walau didominasi semak belukar, tetapi kawasan ini memiliki beberapa tanaman khas seperti ketapang (Terminalia catappa), akasia (Acacia auriculiformis), kelapa, dan lain-lain.

Kondisi pembangunan Jakarta yang pesat menjadi alasan mengapa Suaka Margasatwa Muara Angke dibangun. Saat itu Jakarta masih bernama Batavia. Gubernur Hindia Belanda Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menetapkan kawasan ini sebagai cagar alam, melalui Surat Keputusan nomor 24 tahun 1939 dengan luas 15,40 hektare.

Karena kedekatannya dengan pemukiman padat penduduk Jakarta, Suaka Margasatwa Muara Angke punya masalah. "Pertama adalah sampah yang terbawa arus dan tersangkut di area mangrove. Kedua, gangguan hidrologi," terang Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta Abdul Kodir, 15 Desember 2022.

"Ketiga, menurunnya kualitas keanekaragaman hayati karena banyak monyet ekor panjang yang mendiami kawasan ini mengonsumsi sampah plastik, sehingga di dalam tubuhnya ditemukan logam berat. Dan kelima, adanya konflik satwa dengan manusia."

Baca Juga: Cangak Abu Berjemur di Kawasan Hutan Lindung Angke-Kapuk Jakarta.

Baca Juga: Tidak Cukup Menanam, Perlu Keragaman Hayati Supaya Mangrove Lestari

Baca Juga: Singkap Hutan Bakau Purba Berusia 100.000 Tahun di Semenanjung Yucatan

Baca Juga: Memalukan, Jumlah Sampah Plastik dari Sungai-Sungai Jakarta Terungkap

Muhammad Rudi Wahyono, peneliti Center for Information and Development Studies (CIDES) dan dosen di Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) berpendapat, kawasan utara Jakarta bisa menjadi zona yang menyangga (buffer zone) Jakarta. Saat ini, Jakarta tengah mendapati ancaman kenaikan air laut dan penurunan tanah, yang nantinya makin banyak dataran yang tergenang dan terkena banjir rob.

Burung Cangak Abu ( Ardea cinerea) berjemur pagi hari di Kawasan Hutan Lindung Angke-Kapuk, Jakarta. (Donny Fernando)

Ancaman abrasi dari kenaikan muka laut dan penurunan tanah, bisa membuat kerugian yang tak terhitung. “Untuk menghitung atau evaluasi dampak bencana itu sangat rumit dan itu sangat kompleks. Dan itu pun sendiri belum ada studi komprehensif tentang itu,” jelasnya di majalah National Geographic Indonesia Juli 2022.

Hal ini membuat Suaka Margasatwa Muara Angke sering didatangi oleh masyarakat, organisasi, dan perusahaan (baik swasta maupun milik negara) melakukan aktivitas tanggung jawab sosial (CSR). Kebanyakan di antaranya adalah menanam pohon bakau dan bersih-bersih pantai.

Pohon bakau, sebagai tanaman yang tumbuh di wilayah pasang-surut, bisa tangguh berdiri. Jenis pohon ini bisa mencegah abrasi air laut, karena sifatnya yang dapat menghalangi air laut untuk mengikis daratan. Ketangguhannya juga bisa menahan badai dan angin ke kawasan darat, sehingga dampak seperti banjir bisa diperlambat.

Peran pohon bakau bisa bermanfaat untuk konservasi. Akarnya yang 'rumit' di perairan, bisa menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan untuk kawin dan bertelur. Dengan demikian, ekosistem bisa terjaga berkat hutan bakau yang terawat.

Selain itu, hutan bakau ternyata ampuh untuk menyerap karbon, menurut Sebuah studi di Carbon Management tahun 2012 oleh Daniel Alongi dari Australian Institute of Marine Science. Dia menulis, "Jika stok karbon bakau terganggu, emisi gas yang dihasilkan mungkin sangat tinggi", sehingga penting untuk merawat, dan tidak cukup sekadar menanam saja.