Nationalgeographic.co.id—2010 kemarin, hampir 200 negara berjanji untuk melindungi setidaknya 17 persen dari lingkungan hidup mereka pada tahun 2020. Perjanjian itu dideklarasikan dalam Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati sebagai Target Aichi 11.
Sudah lebih dari satu dekade berlalu, sekelompok peneliti dari lintas negara mencari tahu bagaimana hasil perjanjian itu. Mereka mendapati bahwa sebagian besar negara Asia gagal mencapai target minimum global yang disepakati.
Laporan itu mereka publikasikan di Communications Biology, 29 November 2022. Makalah mereka berjudul "Current trends suggest most Asian countries are unlikely to meet future biodiversity targets on protected areas" memberikan perhatian bahwa perlindungan keberagaman hayati luput dalam kebijakan di negara-negara Asia.
Padahal, benua ini salah satu yang kaya dalam keanekaragaman hayati dan menampung banyak hewan karismatik, seperti panda, macan tutul salju, dan gajah asia. Sayangnya, laporan itu menjelaskan bahwa banyak spesies tersebut terancam dengan tingkat kehilangan habitat tertinggi di dunia, bersamaan pertumbuhan populasi manusia yang cepat.
"Asia adalah benua yang menantang untuk menetapkan target kawasan lindung karena kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi biasanya bertentangan dengan populasi manusia yang padat dan pertumbuhan ekonomi yang cepat," kata penulis utama makalah Mohammed Farhadinia dari Department of Biology and Oxford Martin School, University of Oxford, dikutip dari Eurekalert.
Berdasarkan rincian hasil laporan, negara-negara Asia memang berkembang pesat dalam pembentukan kawasan lindung mereka hingga enam kali lebih cepat. Meski demikan hanya 40 persen negara Asia yang mencapai target minimal 17 persen cakupan kawasan lindung pada tahun 2020, bahkan gagal memenuhi target 2030.
Jika mengacu pada perjanjian Target Aichi 11 tahun 2010, Asia justru benua yang bekinerja buruk. Negara-negara di benua ini hanya 13,2 persen negara yang ditetapkan sebagai kawasan lindung terestrial.
Banyak dari negara di Asia memiliki proporsi lahan pertaniannya lebih tinggi di tahun 2015. Peningkatan lahan pertanian ini malah berbanding dengan kawasan lindung yang lebih rendah di tahun 2020. Dengan kata lain, Farhadinia dan tim berpendapat, pertanian yang berkembang pesat dapat menghambat pembentukan kawasan lindung baru di Asia.
"Meskipun penelitian ini menunjukkan perlunya lebih banyak investasi di kawasan lindung di Asia, penelitian ini juga menunjukkan pentingnya menetapkan tujuan yang realistis dan dapat dicapai dengan mempertimbangkan batasan sosio-geografis," ungkapnya.
Lebih lanjutnya, kebanyakan 241 spesies mamalia berisiko tinggi di seluruh Asia, ternyata rata-rata 84 persen wilayah jelajahnya justru berada di luar kawasan lindung. Temuan ini membuat para peneliti memberikan rekomendasi agar negara-negara di Asia memenuhi targetnya.
Baca Juga: Butuh 10 Juta Tahun Bumi Pulih dari Kepunahan Besar Permian, Mengapa?
Baca Juga: Menyingkap Pola Aktivitas Harian Satwa Liar Tropis di Seluruh Dunia
Source | : | Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR