Nationalgeographic.co.id—Nestapa dan nelangsanya orang-orang miskin di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-19, akan dipekerjakan secara kasar. Mereka akan ditempatkan pada workhouses atau rumah kerja.
"Jika seorang pria menganggur dan dikirim ke rumah kerja, seluruh keluarganya juga harus pergi, termasuk anak dan istrinya," tulis Shannon Quinn kepada History Collection.
Ia menulisnya dalam artikel berjudul "It Doesn’t Get Harder than the Lives of the Poorest People in History" terbitan 15 November 2022. Namun, anak-anak dipisahkan dari orang dewasa, dan dipaksa bekerja di bagian mereka sendiri.
Tentu saja, yang lebih malang adaalah kenyataan bahwa banyak juga di antara anak-anak itu, anak yatim piatu yang dipaksa bekerja di rumah kerja ini. Ia hampir tidak memiliki harapan untuk melarikan diri.
Pada tahun 1839, hampir setengah dari populasi workhouses atau rumah kerja adalah anak-anak. Jika anak itu berusia di bawah 7 tahun, mereka diizinkan tinggal di bagian perempuan bersama ibunya.
Tidak hanya perihal mereka dikondisikan untuk bekerja kasar, ada hal lainnya yang lebih memprihatinkan. "Kondisi tempat tinggal anak-anak ini sangat mengerikan," imbuh Shannon dalam artikelnya.
Pada tahun 1838, seorang dokter mengunjungi rumah kerja di Whitechapel, London, Inggris. Sang dokter melaporkan bahwa anak-anak itu kurus, pucat, dan tidak diizinkan keluar untuk mencari udara segar untuk bermain atau berolahraga.
Selain kondisi kerja mereka yang kotor dan buruk, anak-anak di rumah kerja sering menjadi korban hukuman fisik.
The Poor Law Commissioners atau Komisaris Hukum bagi Orang-orang Miskin telah berupaya untuk membuat peraturan untuk melindungi anak-anak dari kekerasan fisik hingga kasus pelecehan.
Baca Juga: Kisah Pilu Para Gadis Korek Api yang Rahangnya Busuk karena Uap Fosfor
Baca Juga: Kesehatan Mental Anak-anak yang Merasa Lebih Miskin ketimbang Temannya
Baca Juga: Telisik Pola Hunian Berdasar Kelas Sosial-Ekonomi Masyarakat Romawi
Betapa nahasnya, meski sudah ditetapkan dalam aturan terbarunya untuk melindungi hak asasi anak, pada kenyataannya memukul dan menghukum fisik anak-anak masih diperbolehkan dalam keadaan tertentu.
Pada tahun 1838, sebuah surat ditulis kepada The Times dari Bath yang melaporkan kejadian ketika seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dipukuli selama tiga hari berturut-turut setelah mengeluh bahwa dia mendapat perlakuan kasar secara tidak adil.
Seorang pria bernama Henry Morton Stanley adalah salah satu anak yang tumbuh di sebuah rumah miskin, dan kemudian berhasil menjadi seorang penulis. Dalam tulisannya, dia mengungkap kejahatan-kejahatan itu.
Dia bersaksi bahwa salah satu temannya, Willie Roberts, benar-benar dipukuli sampai mati oleh kepala sekolah tempat di mana anak-anak miskin itu dipaksa bekerja.
Dalam Insiden lainnya yang melibatkan seorang wanita bernama Perawat Gillespie, ia menciptakan sebuah sistem baru yang dikenal dengan istilah "kekejaman sistematis" yang mengerikan.
Sistem yang diterapkan ini sangat tragis, di mana ia akan melakukan kekejaman pada anak-anak dengan mencambuk mereka menggunakan jelatang dan memaksa mereka berlutut di atas pipa air panas.
Sampai akhirnya pada tahun 1948, ditetapkan National Assistance Act yang menghapuskan seluruh kisah kelam perundang-undangan orang miskin hingga sistem rumah miskin dan rumah kerja.