Tingginya Karbon Hitam Asia Selatan, Massa Es di Tibet Menyusut

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 3 Januari 2023 | 12:00 WIB
Massa es di Dataran Tinggi Tibet dan Himalaya berkurang. Tidak hanya karena pemanasan global yang memicunya, tetapi juga siklus hidrologi yang berubah akibat karbon hitam. (Getty Images)

Nationalgeographic.co.id—Hampir seluruh penelitian sepakat, manusia adalah biang kerok perubahan iklim. Jejak karbon manusia membuat suhu iklim dunia memanas. Pada akhirnya, manusia mencelakakan peradabannya bersama kehidupan bumi, dengan kerusakan lingkungan.

Saat ini negara di dunia sedang berusaha mengalihkan energinya yang lebih ramah lingkungan. Akan tetapi, aerosol karbon hitam yang dihasilkan pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa yang tidak sempurna, masih belum dihentikan.

Hal inilah yang memicu pencarian salju atau es abadi di seluruh dunia, termasuk di Pegunungan Himalaya. Jutaan manusia yang tinggal di negara-negara dekatnya pun terancam akan pencairan ini, menurut sebuah studi terbaru.

Studi itu diungkapkan oleh para peneliti Nature Communications pada 30 November 2022. Makalah mereka bertajuk "South Asian black carbon is threatening the water sustainability of the Asian Water Tower", menyebutkan pencairan Himalaya akibat karbon hitam, bisa mengancam siklus hidrologi sumber daya air di wilayah sekitarnya.

Studi tersebut menyebutkan, wilayah Asia Selatan memiliki tingkat emisi karbon hitam tertinggi di dunia. Aerosol karbon hitam terangkat melintasi Pegunungan Himalaya ke wilayah pedalaman Dataran Tinggi Tibet yang cenderung minim.

Para peneliti menemukan bahwa sejak abad ke-21, aerosol karbon hitam Asia Selatan memengaruhi perolehan massa gletser Himalaya dan Dataran Tinggi Tibet secara tidak langsung. Prosesnya, aerosol karbon hitam mengubah transportasi uap air jarak jauh dari wilayah monsun (muson) di Asia Selatan.

Lebih jelasnya, Sichang Kang, salah satu peneliti utama makalah menerangkan, "Aerosol karbon hitam di Asia Selatan memanaskan atmosfer tengah dan atas, sehingga meningkatkan gradien suhu Utara-Selatan". Dia adalah profesor di Northwest Institute of Eco-Environment and Resources, Chinese Academy of Sciences (CAS), Tiongkok.

Baca Juga: Perangi Perubahan Iklim, Ilmuwan Manfaatkan Bakteri yang Haus Karbon

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Dataran Tinggi Tibet Mengalami Konflik Air

Baca Juga: Studi Baru, Pegunungan Raksasa Mengendalikan Evolusi Kehidupan di Bumi

Baca Juga: Sains Perubahan Iklim untuk Siswa Sekolah: Apa itu Angin Monsun?

"Dengan demikian, aktivitas konvektif di Asia Selatan meningkat, yang menyebabkan konvergensi uap air di Asia Selatan. Sementara itu, karbon hitam juga meningkatkan jumlah inti kondensasi awan di atmosfer," lanjutnya lewat sebuah rilis. Dengan kata lain, aerosol karbon hitam dari Asia Selatan membuat perubahan kondisi meteorologis.

Dampak dari perubahan ini, lebih banyak uap air membentuk presipitasi di Asia Selatan, dan transportasinya ke Dataran Tinggi Tibet yang lebih kurang atau melemah. Akibatnya, curah hujan di Dataran Tinggi Tibet bagian tengah dan selatan berkurang selama musim hujan, terutama di Tibet bagian selatan.

Kurangnya curah hujan di Dataran Tinggi Tibet bisa menyebabkan penurunan massa gletser. 

"Transportasi lintas batas dan pengendapan aerosol karbon hitam dari Asia Selatan mempercepat ablasi gletser di Dataran Tinggi Tibet," kata Kang. "Sementara itu, pengurangan curah hujan musim panas di Dataran Tinggi Tibet akan mengurangi penambahan massa gletser dataran tinggi, yang akan meningkatkan jumlah defisit massa gletser."

Massa gletser di Dataran Tinggi Tibet telah menurun 11 persen dari 2007 hingga 2016 akibat penurunan curah hujan. Sementara Pegunungan Himalaya sendiri mengalami penurunan hingga 22,1 persen, menyebabkan sumber air bagi negara-negara sekitarnya terancam kekurangan sumber daya.

Selain itu, panas yang menerpa Himalaya dan Dataran Tinggi Tibet menyebabkan es lebih cepat mencair. Hal itu mengakibatkan bencana banjir di beberapa tempat yang lebih rendah.

Sementara dari laporan lain tahun 2021, gletser di Himalaya mengalami penyusutan dari 29.000 kilometer persegi menjadi 19.600 kilometer persegi. Bagian massa esnya menghilang sampai 586 kilometer perkubik. Jumlah ini setara dengan es yang ada saat ini di Pegunungan Alpen di Eropa tengah, Kaukasus, dan Skandinavia yang digabungkan.