Meskipun ada upaya untuk meningkatkan pendidikan pada tahun 1800-an, Kesultanan Utsmaniyah tertinggal jauh dari para pesaingnya di Eropa dalam melek huruf. Bahkan pada tahun 1914, diperkirakan hanya antara 5 dan 10 persen penduduknya yang dapat membaca.
“Sumber daya manusia kekaisaran Ottoman, seperti sumber daya alam, relatif belum berkembang,” kata Reynolds. Itu berarti kekaisaran kekurangan perwira militer yang terlatih, insinyur, juru tulis, dokter, dan profesi lainnya.
Kekaisaran Ottoman tidak cukup kohesif
Pada puncaknya, kekaisaran Ottoman meliputi Bulgaria, Mesir, Yunani, Hongaria, dan Yordania. Juga Lebanon, Israel dan wilayah Palestina, Makedonia, Rumania, Suriah, sebagian Arab, dan pantai utara Afrika.
Bahkan jika kekuatan luar pada akhirnya tidak merusak kekaisaran, Reynolds tidak berpikir bahwa keiasaran bisa tetap utuh dan berkembang menjadi negara demokratis modern.
“Kemungkinan besar akan menjadi masalah karena keragaman yang luar biasa dari kekaisaran dalam hal etnis, bahasa, ekonomi, dan geografi,” katanya. “Masyarakat homogen lebih mudah untuk menerapkan demokrasi alih-alih masyarakat heterogen.”
Berbagai orang yang menjadi bagian dari kekaisaran semakin memberontak. Dan pada tahun 1870-an, kekaisaran harus mengizinkan Bulgaria dan negara-negara lain untuk merdeka. Setelah itu, Ottoman juga menyerahkan lebih banyak wilayah.
Setelah kalah dalam Perang Balkan 1912-1913 dari koalisi yang mencakup beberapa bekas jajahan kekaisarannya, kekaisaran terpaksa menyerahkan sisa wilayah Eropanya. Ini menyebab Kekaisaran Ottoman akhirnya tersingkir dari Eropa.
Kekaisaran Ottoman menghadapi persaingan yang merusak dengan Rusia selama satu abad
Negara tetangga Rusia, yang wilayahnya luas termasuk Muslim juga, berkembang menjadi saingan yang semakin sengit.
“Kekaisaran Rusia adalah satu-satunya ancaman terbesar bagi kerajaan Ottoman,” kata Reynolds.