Nationalgeographic.co.id—Pada puncaknya pada tahun 1500-an, Kekaisaran Ottoman menjadi salah satu kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia. Ottoman mengendalikan bentangan yang tidak hanya mencakup pangkalannya di Asia Kecil tetapi juga sebagian besar Eropa tenggara. Bahkan hingga Timur Tengah, dan Afrika Utara. Namun ternyata, ada enam hal yang perlahan menjadi penyebab kejatuhan kekaisaran yang begitu berkuasa tersebut.
Kejayaan tidak berlangsung selamanya
Kekaisaran Ottoman atau Kesultana Utsmaniyah menguasai wilayah yang membentang dari Danube ke Sungai Nil. Mereka memiliki militer yang kuat dan perdagangan yang menguntungkan. Selain itu, Ottoman juga memiliki pencapaian yang mengesankan di berbagai bidang mulai dari arsitektur hingga astronomi.
Tapi itu tidak bertahan lama. “Meskipun bertahan selama 600 tahun, Kekaisaran Ottoman menyerah akibat kemunduran yang perlahan dan lama,” tulis Patrick J. Keager di laman History.
Tentu saja ada upaya untuk memodernisasi dan perbaikan. Tapi, setelah berperang di pihak Jerman dalam Perang Dunia I dan menderita kekalahan, kekaisaran ini dibubarkan berdasarkan perjanjian. Ottoman berakhir pada tahun 1922, ketika Sultan Utsmaniyah terakhir, Mehmed VI, digulingkan dan meninggalkan ibu kota Konstantinopel.
“Dari sisa-sisa kekaisaran Ottoman muncullah negara modern Turki,” Keager menambahkan.
Apa yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Ottoman yang dulu menakjubkan dan tidak terkalahkan itu? Sejarawan tidak setuju sepenuhnya, tetapi di bawah ini adalah beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Kekaisaran Ottoman terlalu agraris
Sementara revolusi industri melanda Eropa pada tahun 1700-an dan 1800-an, ekonomi Ottoman tetap bergantung pada pertanian. “Kekaisaran tidak memiliki pabrik untuk mengimbangi Inggris Raya, Prancis, dan bahkan Rusia,” menurut Michael A. Reynolds, seorang profesor di Universitas Princeton.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi kekaisaran lemah. Bahkan surplus pertanian yang dihasilkannya digunakan untuk membayar pinjaman kepada kreditor Eropa.
Ketika tiba saatnya turut berperang dalam Perang Dunia I, Ottoman tidak memiliki kekuatan industri untuk memproduksi persenjataan berat dan amunisi. Bahkan besi dan baja yang dibutuhkan untuk membangun rel kereta api guna mendukung upaya perang pun tidak tersedia.
Penduduknya kurang berpendidikan
Meskipun ada upaya untuk meningkatkan pendidikan pada tahun 1800-an, Kesultanan Utsmaniyah tertinggal jauh dari para pesaingnya di Eropa dalam melek huruf. Bahkan pada tahun 1914, diperkirakan hanya antara 5 dan 10 persen penduduknya yang dapat membaca.
“Sumber daya manusia kekaisaran Ottoman, seperti sumber daya alam, relatif belum berkembang,” kata Reynolds. Itu berarti kekaisaran kekurangan perwira militer yang terlatih, insinyur, juru tulis, dokter, dan profesi lainnya.
Kekaisaran Ottoman tidak cukup kohesif
Pada puncaknya, kekaisaran Ottoman meliputi Bulgaria, Mesir, Yunani, Hongaria, dan Yordania. Juga Lebanon, Israel dan wilayah Palestina, Makedonia, Rumania, Suriah, sebagian Arab, dan pantai utara Afrika.
Bahkan jika kekuatan luar pada akhirnya tidak merusak kekaisaran, Reynolds tidak berpikir bahwa keiasaran bisa tetap utuh dan berkembang menjadi negara demokratis modern.
“Kemungkinan besar akan menjadi masalah karena keragaman yang luar biasa dari kekaisaran dalam hal etnis, bahasa, ekonomi, dan geografi,” katanya. “Masyarakat homogen lebih mudah untuk menerapkan demokrasi alih-alih masyarakat heterogen.”
Berbagai orang yang menjadi bagian dari kekaisaran semakin memberontak. Dan pada tahun 1870-an, kekaisaran harus mengizinkan Bulgaria dan negara-negara lain untuk merdeka. Setelah itu, Ottoman juga menyerahkan lebih banyak wilayah.
Setelah kalah dalam Perang Balkan 1912-1913 dari koalisi yang mencakup beberapa bekas jajahan kekaisarannya, kekaisaran terpaksa menyerahkan sisa wilayah Eropanya. Ini menyebab Kekaisaran Ottoman akhirnya tersingkir dari Eropa.
Kekaisaran Ottoman menghadapi persaingan yang merusak dengan Rusia selama satu abad
Negara tetangga Rusia, yang wilayahnya luas termasuk Muslim juga, berkembang menjadi saingan yang semakin sengit.
“Kekaisaran Rusia adalah satu-satunya ancaman terbesar bagi kerajaan Ottoman,” kata Reynolds.
Namun, ketika kedua kekaisaran mengambil sisi berlawanan dalam Perang Dunia I, Rusia akhirnya runtuh terlebih dahulu. Sebagian disebabkan karena pasukan Ottoman mencegah Rusia mendapatkan pasokan dari Eropa melalui Laut Hitam.
Tzar Nicholas II dan menteri luar negerinya, Sergei Sazanov, menolak gagasan untuk merundingkan perdamaian terpisah dengan kekaisaran. Padahal itu mungkin dapat menyelamatkan Kekaisaran Rusia.
Negara lain dengan sengaja melemahkan Kekaisaran Ottoman
“Ambisi kekuatan Eropa juga membantu mempercepat kehancuran Kekaisaran Ottoman,” jelas Eugene Rogan, direktur Pusat Timur Tengah di St. Antony's College.
Rusia dan Austria sama-sama mendukung kaum nasionalis pemberontak di Balkan untuk kepentingan mereka. Inggris dan Prancis sangat ingin mengukir wilayah yang dikuasai oleh Kekaisaran Ottoman di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kekaisaran Ottoman memilih sisi yang salah dalam Perang Dunia I
Berpihak pada Jerman dalam Perang Dunia I mungkin menjadi alasan paling signifikan atas kehancuran Kekaisaran Ottoman.
Sebelum perang, Kesultanan Utsmaniyah menandatangani perjanjian rahasia dengan Jerman. “Ini ternyata merupakan pilihan yang sangat buruk,” tambah Keager.
Baca Juga: Peran Wanita Kekaisaran Ottoman di Masa Pemerintahan Suleiman Agung
Baca Juga: Satu Abad Terjerat Utang Asing, Kekaisaran Ottoman Tak Berdaya
Baca Juga: Dua Abad Sebelum Berakhir, Kekaisaran Ottoman Dijuluki Pesakitan Eropa
Baca Juga: Hürrem Sultan, Budak Rusia yang Jadi Permaisuri di Kekaisaran Ottoman
Dalam konflik berikutnya, tentara kekaisaran melakukan kampanye berdarah dan brutal di semenanjung Gallipoli untuk melindungi Konstantinopel dari serbuan pasukan Sekutu pada tahun 1915 dan 1916. Pada akhirnya, kekaisaran kehilangan hampir setengah juta tentara, sebagian besar karena penyakit. Dan ditambah sekitar 3,8 juta lebih yang terluka atau sakit. Pada Oktober 1918, kekaisaran menandatangani gencatan senjata dengan Inggris Raya dan keluar dari perang.
Jika bukan karena perannya yang menentukan dalam Perang Dunia I, sejarawan berpendapat bahwa kekaisaran mungkin akan bertahan. Mostafa Minawi, sejarawan di Universitas Cornell, percaya bahwa Kesultanan Utsmaniyah memiliki potensi untuk berkembang menjadi negara federal multietnis dan multibahasa yang modern.
Sebaliknya, menurutnya, Perang Dunia I memicu disintegrasi kekaisaran. “Kekaisaran Ottoman bergabung dengan pihak yang kalah,” katanya. Alhasil, saat perang berakhir, “Pembagian wilayah Kesultanan Utsmaniyah diputuskan oleh para pemenang.”
Enam hal di atas secara perlahan tapi pasti menjadi penyebab kejatuhan Kekaisaran Ottoman yang berkuasa selama 600 tahun lamanya.