Histori Awal Perkembangan Sosial Masyarakat Pesisir di Cirebon

By Galih Pranata, Jumat, 10 Februari 2023 | 08:00 WIB
Nadran adalah upacara adat bagi masyarakat pesisir yang mayoritas sebagai nelayan, dilaksanakan di kawasan pesisir utara pantai pulau Jawa, seperti Subang, Indramayu dan Cirebon. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sebelum dikenal dengan nama Cirebon dan aktivitas masyarakat modern di dalamnya, pemukiman awal itu bernama Caruban. Di sanalah pusat peradaban Kerajaan Galuh berkembang.

Caruban yang berada di pedalaman disebut juga sebagai Caruban Girang. Dikelilingi kawasan pesisir, wilayah utara Caruban yang dikelilingi laut itu disebut Muhara Jati.

Muhara Jati dalam tulisan A. Sobana Hardjasaputra dan tim penulis lainnya (2011) dalam buku berjudul Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad ke-20) merupakan tempat bermukimnya para nelayan sekaligus pelabuhan.

Pelabuhan di Muhara Jati dianggap sebagai salah satu pelabuhan penting bagi pelayaran di Pulau Jawa sejak abad ke-13. Kondisinya selalu ramai bagi pelayar yang melabuhkan kapalnya dan berlalu lalang kala itu.

Aktivitas pelabuhan dan berlabuhnya sejumlah kapal asing, tak pelak mendorong berkembangnya agama Islam di Caruban melalui Muhara Jati pada abad ke-14. Syekh Quro dan Syekh Nurdjati menjadi ikon penting dalam penyebaran Islam di sana.

Salah satu cikal bakal penamaan Caruban hingga Cirebon diperkirakan juga karena adanya pengaruh tokoh-tokoh Islam di sana. Abdullah Imam—salah satu tokoh ulama—memiliki kebiasaan untuk menangkap ikan dan rebon (udang kecil).

"Rebon seketika ditumbuk dan dijadikan sebagai terasi untuk penyedap makanan," tambah Sobana dan tim. Pembuatan terasi yang melezatkan makanan akhirnya mulai tersebar beritanya ke daerah lainnya.

Penjual ikan di sebuah pusat perbelanjaan tradisional di Cirebon. Perempuan berperan penting dalam usaha kecil menengah di Indonesia. Sebesar 51 persen UKM dimiliki oleh perempuan. Foto sebelum pandemi. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Alhasil, orang-orang yang mendengar berita temuan terasi yang lezat membuat pemukiman Tegal Alang-Alang—pemukiman yang baru dibuka dan menjadi tempat tinggal Abdullah Imam—menjadi ramai pendatang yang penasaran dengan terasi.

Setelah banyaknya pendatang yang memutuskan untuk bermukim sebagai pembuat dan penjual terasi, Tegal Alang-Alang dikenal sebagai Sarumban yang kemudian dikenal luas dengan istilah Caruban.

Adapun perkembangan pengolahan udang kecil menjadi terasi juga melatarbelakangi perubahan nama dari Caruban menjadi Cirebon. Penamaan itu berdasar pada Ci (air) dan Rebon (udang kecil).

Geliat perdagangan laut menjadi salah satu identitas yang dimiliki oleh rakyatnya sejak awal perkembangan Islam. Banyak kegiatan ekspor dan impor komoditas dagang berlangsung selama beberapa tahun lamanya.

Baca Juga: Freemason bagi Bangsawan Pribumi di Cirebon Sejak Tahun 1920

Baca Juga: Perjuangan Rakyat Cirebon Keluar dari Wabah Tifus Abad ke-20

Baca Juga: Tifus Melanda Cirebon 1911, Saat Minuman Dingin Jadi Favorit

Baca Juga: Imbas Letusan Gunung Ciremai bagi Kehidupan Cirebon Abad 18-19 

Secara sosial budaya dijelaskan bahwa masyarakat pesisir di Cirebon memiliki ciri-ciri yang saling terkait antara satu dengan yang lain. "Karakteristik masyarakat pesisir pada umumnya memiliki watak keras dan bersifat terbuka," tulis Fama.

Achmad Fama. Ia menulis pada jurnal Sabda, berjudul Komunitas Masyarakat Pesisir di Tambak Lorok, Semarang, terbit pada 2016. "Terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang ditandai dengan efektifnya komunikasi tatap muka, sehingga terjadi hubungan yang sangat erat antara satu dan lainnya," lanjutnya.

Hal tersebut membangun hubungan kekeluargaan yang berdasarkan atas rasa simpati dan bukan berdasarkan kepada pertimbangan rasional yang berorientasi kepada untung dan rugi.

Sampai hari ini, masyarakat Cirebon masih memegang identitas kultur dan budaya sebagai masyarakat pesisir yang bersifat keras dan terbuka, namun memiliki rasa kekeluargaan yang erat terhadap sesama.