"Pengubahan fungsi bukan berarti mengubah bangunannya," kata Handoko dalam presentasinya. "Penggunaan kembali secara adaptif dalam konteks bangunan cagar budaya adalah seperti yang dijelaskan proses pengambilan bangunan yang sebelumnya tidak digunakan dan digunakan kembali untuk fungsi lain selain dari tujuan dibangunnya.
Bagian dalam komplek Perum Peruri masih bertahan dengan arsitektur aslinya. Akan tetapi, fungsinya menjadi tempat berbelanja, kafe, bar, tempat makan, ruang publik, dan pusat aktivitas anak muda lainnya.
Berdirinya M Bloc Space, ia mengharapkan anak-anak muda bisa berkarya. Itu sebabnya, di sekitaran komplek perumahan menjadi kafe, bar, tempat makan, dan ruang publik, dengan jargon "lokal lebih vokal".
Handoko memamerkan bahwa anak-anak muda di M Bloc Space bahkan bangga bergaya dengan unsur pakaian tradisional. Hal inilah yang membuatnya mengeklaim M Bloc Space menjadi pusat kultur anak muda di Jakarta.
Baca Juga: Gempa Turki dan Suriah Meruntuhkan Warisan Budaya dan Bersejarah
Baca Juga: Pelestarian Ekologi dan Arkeologi Kawasan Cagar Budaya Muarajambi
Baca Juga: Pembentukan Cagar Alam Semasa Hindia Belanda oleh S.H. Koorders
Baca Juga: Mengapa Anak Muda Harus Terlibat dalam Gerakan Peduli Iklim?
Peralihan dari komplek terbengkalai Peruri menjadi M Bloc Space menjadi salah satu contoh pelajaran bagaimana cagar budaya di Indonesia bisa dilestarikan.
Sampai saat ini, menurut data Kemendikbudristek, terdapat kurang dari 200 cagar budaya dari seluruh Indonesia yang telah didaftarkan secara nasional. Yang menjadi perhatian, pendaftaran cagar budaya tidak diikuti oleh pelestariannya sebagai keberlanjutan dari penetapan.
"Cagar budaya bisa dimanfaatkan dengan berorientasi pada komunitas," kata Handoko. "M Bloc Space menjadi tempat kumpul anak muda supaya tahu juga ada bangunan tua di sekitaran Blok M. Ujung-ujungnya mereka akan penasaran dan cari tahu tentang bangunannya. Dan akhirnya, mereka bersama-sama untuk melestarikannya."