Nationalgeographic.co.id—Studi baru dari ilmuwan Tokyo University menjelajahi perbedaan mobilitas elit selama Restorasi Meiji. Dengan fokus pada Restorasi Meiji, para peneliti menyelidiki hubungan antara perubahan rezim politik dan mobilitas sosial.
Mobilitas sosial mengacu pada perpindahan individu dari satu strata sosial ekonomi ke strata sosial ekonomi lainnya yang diikuti dengan perubahan status sosialnya.
Runtuhnya era Shogun yang merupakan puncak dari Restorasi Meiji, telah membuat orang-orang Jepang bebas memilih masa depan, menurut studi tersebut.
Di bawah rezim Tokugawa, Jepang memiliki struktur kelas yang kaku. Shogun, Daimyos (penguasa feodal), dan Samurai (kelas bangsawan) merupakan kelas atas yang memerintah Jepang selama rezim Tokugawa.
Mereka memiliki hak politik dan dilarang berinteraksi dengan rakyat jelata (petani, pengrajin, pedagang). Ini membatasi mobilitas sosial mereka karena mereka tidak diizinkan untuk berganti pekerjaan, bepergian, atau menikah dengan kelas yang berbeda.
Pada tahun 1868, Keshogunan Tokugawa dikalahkan dalam perang saudara dan rezim politik baru berkuasa. Peristiwa ini menandai Restorasi Meiji, yang berpuncak pada pembentukan 'Diet Kekaisaran Jepang' dan mengembalikan kekuasaan tertinggi kepada kaisar Jepang.
“Jika kita melihat kembali sejarah, kita menemukan bahwa Restorasi Meiji adalah pertama kalinya orang dapat memilih masa depan mereka terlepas dari lingkungan tempat mereka dilahirkan," kata Tomoko Matsumoto Junior Associate Professor dari Tokyo University of Science dan rekan.
Restorasi Meiji telah membuka peluang bagi rakyat jelata mengalami mobilitas sosial. Mereka berkesempatan mengubah status sosial dan bergabung dengan kelas elit. Hasil studi mereka dipublikasikan secara online di British Journal of Sociology.
Seperti diketahui, di dunia sekarang ini, mobilitas sosial sebagian besar didorong oleh motivasi pribadi, pendidikan, keterampilan, dan migrasi. Tetapi analisis data historis memberi tahu kita bahwa mobilitas sosial terutama disebabkan oleh perubahan dalam kekuasaan politik.
Pergolakan politik yang menyebabkan tumbangnya rezim-rezim mapan diikuti dengan perubahan besar-besaran komposisi mobilitas elit.
Selama periode transisi sejarah ini, ketika kesetaraan semua penduduk asli dan kebebasan memilih pekerjaan diakui, berapa banyak mobilitas sosial yang sebenarnya terjadi?
studi ini dimulai dengan harapan dapat menambah wawasan baru selama masa transisi ini,” kata para peneliti menjelaskan alasan di balik studi mereka.
Penelitian ini menggunakan alat statistik seperti pengujian hipotesis dan pengambilan sampel data untuk menguji Restorasi Meiji. “Restorasi Meiji memiliki tiga keunggulan untuk studi kami selain ketersediaan data," kata mereka.
"Pertama, sebelum pergantian rezim, mobilitas sosial sangat rendah. Kedua, Restorasi Meiji mereformasi sistem pendidikan secara drastis, dan terakhir, pergantian rezim menghasilkan sistem hierarki elit baru.”
Para peneliti membagi data yang dikumpulkan menjadi dua kohort untuk menganalisis tahap sebelum dan sesudah perubahan rezim, dan berbagai pengaruhnya terhadap mobilitas sosial.
Perubahan rezim meletakkan dasar bagi non-elit untuk mengangkat diri mereka ke kelas elit, terlepas dari asal sosial mereka. Selama berbagai tahapan pergantian rezim yang sukses, elit baru tidak serta merta berseberangan dengan elit lama.
Perubahan tersebut merupakan proses bertahap yang dimulai dengan hubungan permusuhan antara elit lama dan petahana, namun perlahan berkembang menjadi kompromi, setelah transfer kekuasaan politik dilakukan.
Para peneliti menemukan bahwa dengan penggulingan awal rezim lama, rakyat jelata memiliki kesempatan terbesar untuk bergabung dengan kelas elit. Meritokrasi memainkan peran besar pada tahap ini.
Namun, setelah konsolidasi rezim baru, peluang mobilitas elit berangsur-angsur menurun, karena struktur yang stabil, berdasarkan kompromi elit, diciptakan.
Baca Juga: Alih Fungsi Kipas Lipat, dari Aksesori Mode Menjadi Senjata Mematikan
Baca Juga: Arkeolog Palsu di Jepang Buat Kebohongan Terbesar Sepanjang Sejarah
Baca Juga: Tomoe Gozen, Samurai Wanita Terkuat yang Setara dengan 100 Prajurit Bersenjata
Baca Juga: Sadarkah Kita, Tanaman yang Menjadi Rahasia Awet Muda Samurai Jepang Ini Juga Tumbuh Subur di Trawas
Hasilnya mendukung hipotesis bahwa mobilitas sosial biasanya terjadi sebelum konsolidasi kekuatan politik baru. Saat itu, rakyat jelata memiliki peluang terbesar untuk bergabung dengan kelompok elit dan mencapai peringkat tinggi di dalam kelompok tersebut.
Meritokrasi, berdasarkan pendidikan, juga memainkan peran penting. Setelah rezim baru memperkuat posisinya, peluang mobilitas elit berbasis prestasi berkurang. Tahap ini juga menandai penurunan meritokrasi pendidikan.
“Bagaimana kita bisa mewujudkan masyarakat di mana orang dapat memiliki masa depan yang mereka inginkan jika mereka berusaha, terlepas dari lingkungan tempat mereka dilahirkan?," Matsumoto menambahkan.
Ia berharap dengan temuan kajiannya, persoalan ini dapat didiskusikan secara objektif, melihat kembali data sejarah jangka pendek maupun jangka panjang.
"Saat ini, ketika kita mencita-citakan masyarakat yang berdasarkan meritokrasi dan bukan nepotisme, temuan ini terus mencerahkan kita," katanya.