Nationalgeographic.co.id—Sir Reginald Fleming Johnston (1874–1938) berasal dari Edinburg, Skotlandia. Sosok yang dikenal sebagai seorang lulusan University of Edinburgh dan Magdalen College di Oxford, sebelum memasuki dinas kolonial. National Record of Scotland mencatatnya sebagai sinolog dan tutor Kaisar Tiongkok.
Pada 1898, Johnston datang ke Kekaisaran Tiongkok. Ketika itu dia berusia 24 tahun.
Segera Johnston memelajari sejarah, budaya, dan seni tradisi negeri itu. Dia melakukan perjalanan ke berbagai gunung, sungai, dan kuil kuno terkenal di Tiongkok. Atas minatnya itulah dia cepat memahami konsep pemikiran Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, juga mengkaji sastra klasik Tiongkok zaman Dinasti Tang dan Dinasti Song.
Dia dikenal fasih berbahasa Mandarin, sehingga mampu mengikuti perkembangan intelektual di Tiongkok. Dia mengambil nama samaran dalam bahasa Mandarin, Zhi-dao—yang berarti "pria yang hatinya tertuju pada jalan."
Pada 1919, Kekaisaran Tiongkok mengundang Johnston ke Kota Terlarang. Dia diminta sebagai guru untuk Kaisar Tiongkok terakhir Aisin Gioro Puyi, seorang remaja berusia 14 tahun.
Pelajaran yang diampunya adalah bahasa Inggris, matematika, dan geografi. Johnston adalah satu-satunya orang asing yang bekerja di Kota Terlarang itu.
Puyi memiliki cengkok bahasa Inggrisnya sendiri, yakni Chinglish—perpaduan Inggris dan Mandarin. Dasar anak muda yang menggaya, semenjak memelajari bahasa Inggris, Puyi meminta para kasimnya untuk memanggilnya dengan nama "Henry" dan memanggil istrinya dengan nama "Elizabeth". Kabarnya, Johnston-lah yang memberi nama ala orang Eropa itu.
Ratu Wanrong, istri Puyi, juga belajar bahasa Inggris. Setelah dia memasuki Kota Terlarang, tercatat dua guru bahasa Inggris wanita asal asing dipekerjakan untuk mengajarnya.
Guru bahasa Inggris pertama bernama Shiying, putri seorang pendeta dari Gereja Episkopal Metodis di Tiongkok. Guru wanita lainnya bernama Isabel Ingram, putri dari James Henry Ingram yang dikenal sebagai seorang misionaris Kongregasi.
Johnston membawa pemikiran Barat yang maju dan sains modern kepadanya. Berkaitan pandangan pemikiran Barat terhadap Tiongkok, Kaisar Puyi mengenang dalam autobiografinya yang berjudul From Emperor to Citizen, terbit perdana pada 1961.
"Ketika Tiongkok disebut sebagai republik dan umat manusia yang telah maju pada abad ke-20," tulisnya, "saya masih hidup sebagai seorang kaisar, menghirup debu abad ke-19."
Sebagai guru bahasa Inggris, salah satu bacaan yang dia berikan kepada Puyi adalah Alice in Wonderland. Dia juga memberikan pelajaran kepada Puyi tentang sejarah dunia, dan berkait sejarah Inggris. Selain itu dia mengajarkan keunggulan monarki dibanding republik.
Sebagai orang terdekatnya, Johnston mampu menangkap imajinasi seorang Kaisar Cina muda di Kota Terlarang. Dia cepat mendapatkan kepercayaan dan persahabatan dari sang Kaisar.
Dia bertugas selama enam tahun sebagai tutor dan orang kepercayaan Kaisar Puyi, sekaligus saksi atas kehancuran Kekaisaran Tiongkok karena perang.
Berkat Johnston, Kaisar Puyi bisa menyaksikan teknologi baru pada awal abad ke-20, yakni teknologi sinema. Bahkan, sang Kaisar sangat menggemari film-film bisu yang dibintangi Harold Lloyd, aktor dan produser film asal Amerika Serikat.
Karena kegandrungannya tentang film, Puyi memasang proyektor film di Kota Terlarang. Para kasim menentang perilakunya yang dianggap menyalahi tradisi Tiongkok.
Peradaban lain yang mengubah gaya hidup Kaisar Puyi adalah sepeda, yang dia gunakan untuk berolahraga. Satu lagi teknologi barat yang diperkenalkan Johnston kepadanya, yakni telepon. Sampai-sampai sang Kaisar menelepon orang-orang di Beijing, sekadar untuk mendengarkan suara mereka.
Johnston begitu memengaruhi penampilan Kaisar Puyi. Apabila kita menyaksikan foto-foto Puyi berkacamata, hal itu juga berkat saran Johnston karena sang Kaisar menderita rabun jauh.
Kacamata bisa menjadi perkara besar dalam tradisi kaisar sehingga ayahanda Puyi, Pangeran Chun, menentang usulan Johnston yang menurunkan martabat Kekaisaran Tiongkok. Namun, pada akhirnya Puyi menggunakan kacamata itu—sebuah kemenangan Jonhston.
Penampilan Puyi yang tak lagi menggunakan kuncir—sebagai tradisi Manchu—juga tak lepas dari pengruh sang guru bahasa Inggrisnya. Sejak saat itu sang Kaisar dengan percaya diri menumbuhkan rambutnya.
Sang Kaisar mengenang mata biru Johnston yang tajam "membuat saya merasa tidak nyaman [...] Saya merasa dia sangat mengintimidasi dan belajar bahasa Inggris dengannya seperti anak yang baik, tidak berani berbicara tentang hal-hal lain ketika saya bosan [...] seperti yang saya lakukan dengan tutor Tiongkok lainnya."
Sang Kaisar menganugerahi Johnston dengan lencana pangkat tinggi dan gelar kehormatan. Dia juga memberinya hak istimewa untuk menaiki tandu di dalam Kota Terlarang.
Johnston memberikan laporan kepada otoritas Inggris di Tiongkok tentang sosok sang Kaisar, yang dikutip pula dalam bukunya bertajuk Twilight in the Forbidden City, terbit 1987. "Dia tampak kuat secara fisik dan berkembang dengan baik untuk usianya. Dia adalah anak laki-laki yang sangat "manusiawi", dengan keaktifan, kecerdasan, dan selera humor yang antusias," tulisnya. "Selain itu, dia memiliki perilaku yang sangat baik dan benar-benar bebas dari kesombongan […]."
Namun berkait kehidupan di Kota Terlarang, Johnston khawatir tentang dampak psikologis pada masa depan Puyi. "Tidak ada harapan bahwa dia akan muncul tanpa cedera dari bahaya moral selama beberapa tahun berikutnya dalam hidupnya [...], kecuali dia dapat disingkirkan dari pengaruh gerombolan kasim dan pejabat tidak berguna lainnya yang sekarang hampir menjadi satu-satunya sahabatnya."
Johnston menambahkan, menurutnya, di luar Kota Terlarang mungkin Puyi akan menjalani kehidupan yang jauh lebih nyata dan lebih bahagia daripada yang dia bisa dapatkan dalam tembok istananya.
"Saya cenderung berpikir bahwa tindakan terbaik untuk kepentingan anak laki-laki itu sendiri adalah menyingkirkannya dari atmosfer berbahaya "Kota Terlarang" dan mengirimnya ke Istana Musim Panas."
Kaisar Puyi mengenang Johnston seperti dalam biografinya yang ditulis wartawan Edward Samuel Behr bertajuk The Last Emperor, yang terbit di Toronto, Kanada, pada 1987.
Baca Juga: Puyi, Satu-satunya Kaisar Tiongkok yang Naik Takhta Tiga Kali
Baca Juga: Perjalanan Puyi dari Kaisar Terakhir Tiongkok hingga Jadi Rakyat Biasa
Baca Juga: Lika-liku Kehidupan Aisin-Gioro Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok
Baca Juga: Kisah para Kaisar Tiongkok yang Aneh dan Menarik dalam Sejarah
"Saya rasa dia adalah yang terbaik tentang segalanya. Dia membuat saya merasa bahwa orang Barat adalah orang paling cerdas dan beradab di dunia dan bahwa dia adalah orang Barat yang paling terpelajar," tulisnya. Kemudian Puyi melanjutkan, "Johnston telah menjadi yang utama. bagian dari jiwaku."
Mereka Berseteru
Sejauh ini kita melihat hubungan kemanusiaan nan hangat antara guru dan murid dalam kisah Johnston dan Puyi. Namun, Raymond Lamont-Brown dalam bukunya bertajuk Tutor to the Dragon Emperor: The Life of Sir Reginald Fleming Johnston at the Court of the Last Emperor, yang terbit pada 1999, membedah fakta-fakta perseteruan pada akhir persahabatan itu.
Menurut Raymond, tulisan Johnston tentang hubungan keduanya tanpa disadari mengutuk Puyi sebagai alat sukarela Jepang selama Perang Dunia Kedua. Sebaliknya Puyi yang menghadapi kemungkinan eksekusi atas kejahatan perang, menyebut mantan guru bahasa Inggrisnya sebagai pembohong dan bukunya palsu.