Nationalgeographic.co.id—Apa yang kita ketahui tentang bangsa Viking barangkali tidak berdasar sumber-sumber yang sahih. Ahli sejarah Yale mengajak kita untuk berpikir kembali soal alkisah-alkisah mengerikan tentang bangsa Nordik itu.
Viking adalah suku pelaut pada akhir abad ke-8 hingga awal abad ke-11, yang dikenal sebagai pedagang, penjelajah, dan pejuang. Menurut Richard D. Oram dan Frederik Pedersen, penulis Viking Empires yang diterbitkan Cambridge University, pada periode ini, jangkauan mereka meluas ke seluruh penjuru Eropa utara. Bahkan, banyak negara bersaksi atas penyerbuan Viking ke pantai mereka. Catatan Viking terjauh yang dilaporkan berada di Bagdad untuk perdagangan barang-barang seperti bulu, gading, dan lemak anjing laut.
Kaum Viking tercatat tak menyisakan apa pun ketika mereka menyerbu Kota Nantes—kini di Perancis bagian barat, Juni 843. Termasuk para biksu pendeta yang beriringan memasuki katedral dalam kota itu.
Berdasarkan penuturan seorang saksi mata peristiwa, "Orang kafir itu membantai semua orang, baik imam, ulama, sampai awam." Di antara orang-orang yang mati terbunuh tersebutlah seorang uskup yang kemudian dijadikan orang suci.
Bagi kacamata pembaca modern, cerita serangan tersebut tampaknya mengerikan, kejam—bahkan untuk standar peperangan abad pertengahan.
Anders Winroth, profesor sejarah Universitas Yale dan penulis buku The Age of the Vikings, mengatakan bahwa penggambaran yang dibesar-besarkan (hiperbola) ini adalah suatu kecenderungan dari tulisan-tulisan Eropa tentang kaum Viking.
Buku The Age of the Vikings menceritakan kisah lengkap dari periode menarik dalam sejarah ini. Menurutnya, Viking hadir dalam perbincangan dan imajinasi kita, tetapi citra mereka terlalu sering terdistorsi oleh mitos. Memang benar mereka menjarah, menjarah, dan memperbudak. Namun, mereka juga menetap dengan damai dan melakukan perjalanan jauh dari tanah air mereka dengan teknologi kapal cepat dan kokoh untuk menjelajah.
Kerajinan pembuatan kapal Viking mencapai titik tertinggi pada abad ke-7. Ketika itu mereka menemukan lunas, balok struktural yang membentang dari haluan ke buritan dan duduk lebih rendah dari badan utama kapal.
Fitur ini meningkatkan kecepatan dan stabilitas. Lunas dan penambahan tiang besar dan layar, pada akhirnya akan memungkinkan mereka melakukan perjalanan jauh melintasi Atlantik Utara. Kita menganggap kapal-kapal itu sebagai penemuan revolusioner dalam desain dan keajaiban teknologi.
Sebagian mitos Viking yang diciptakan melalui kesalahan persepsi misalnya anggapan orang viking mengenakan helm bertanduk dan memiliki kebiasaan jorok.
Bukti sejarah dan arkeologis mengungkapkan bahwa orang Viking tidak memiliki tradisi semacam itu. Mereka bertelanjang kepala atau mengenakan helm kulit dan bingkai logam sederhana dengan pelindung wajaa. Mitos helm bertanduk muncul dari kisah kebangkitan Viking pada masa pemerintahan Victoria.
Anggapan bahwa mereka kotor dan tak terawat tampaknya gugur sejak para arkeolog menemukan bukti tentang sisir, sendok, dan peralatan perawatan lainnya milik bangsa Viking. Temuan ini menunjukkan bahwa orang Viking sangat tertarik untuk menjaga kebersihan diri.
Selain mengabaikan tabu menyerang pendeta dan imam, ungkap Winroth,Viking pun tidak banyak berbeda daripada prajurit Eropa bangsa lain di masa itu. Pendapatnya disepakati sejumlah akademisi: Viking yang "haus darah" juga tak jauh lebih buruk daripada bangsa-bangsa lainnya yang berperang.
"Pada masanya, banyak bangsa Eropa lainnya juga mengerikan," tutur Tom Shippey, seorang profesor emeritus Bahasa Inggris di Saint Louis University yang sering menulis tentang Viking.
Lantas mengapa Viking yang selalu menang? Banyak penjelasan, Shippey berkata. Antara lain, etos yang dimiliki Viking tidaklah sama seperti Eropa lain mana pun. Salah satu yang dikatakannya yaitu sikap menakzimkan idealisme sebagai prajurit dan, di satu sisi, tak memedulikan kematian.
Sejarah ditulis dari sudut pandang korban
Viking mendapatkan publikasi negatif, sebab mereka menyerang masyarakat yang lebih terpelajar ketimbang mereka sendiri. Catatan sejarah tentang bangsa itu memiliki konteks cerita hanya dari sudut pandang korban.
Terlebih, oleh karena Viking menganut pagan, dalam alur cerita Kristen mereka dicitrakan sebagai "kuasa jahat". "Sangat tak adil hanya mengikuti cerita yang dituturkan dari korban," ujarnya.
Bahkan, untuk memastikan, para akademisi pun mempelajari selama puluhan tahun aspek kehidupan Viking di luar perang. Mereka berhasil mendapati keahlian suku Nordik di bidang ketukangan, juga keahlian dagang dengan Arab.
Baca Juga: Mengupas Tuntas Mitos Viking yang Diciptakan oleh Budaya Pop
Baca Juga: Arkeolog Menggali Sisa-Sisa Struktur Zaman Viking Berusia 1.000 Tahun
Baca Juga: Satelit Ungkap Kemungkinan Lokasi Makam Raja Viking 'Bluetooth'
Baca Juga: Bluetooth Berasal dari Nama Raja Viking yang Mati Seribu Tahun Lalu
Mereka ialah pedagang yang luar biasa, menjual mulai dari fur, taring walrus, dan budak kepada orang-orang Arab di Timur. Winroth bahkan meyakini kalau mereka telah menyediakan stimulus moneter yang dibutuhkan perekonomian Eropa Barat pada saat-saat genting.
Apa sejatinya alasan dari serbuan Viking?
Bisa jadi bukan soal mereka secara irasional menyukai kekerasan melainkan, menurut pendapat Winroth, alasan pragmatis. Semata-mata karena ingin membangun kekuatan dan kekayaan pribadi.
Sebagai buktinya Winroth menunjukkan sejumlah kasus di mana para pemimpin Viking menegosiasikan (atau setidaknya mencoba untuk) pembayaran.
Salah satu contoh, sebelum Pertempuran Maldon di Inggris, seorang utusan Viking mendarat dan berseru ke 3.000 lebih prajurit Saxon: 'Lebih baik Anda membayar lunas pertarungan ini dengan upeti... Juga kita tak perlu saling membunuh.' Inggris memilih melawan, dan ditaklukkan.
"Sebagaimana bangsa lain, Viking pun memilih memenangkan negosiasi daripada mengambil risiko kekalahan dalam perang," kata Winroth.