Utang Kesultanan Ottoman, Menyisakan Kemiskinan Timur Tengah Hari Ini

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 5 Maret 2023 | 09:00 WIB
Kantor pusat Bank Ottoman di Karaköy, Istanbul, (1890-1892). Dibuat oleh arsitek Alexandre Vallaury. Kredit dalam kebijakan Kesultanan Ottoman masih tersisa berupa kemiskinan di Timur Tengah. (L'Illustration)

Nationalgeographic.co.id—Kesultanan Ottoman adalah negara atau kerajaan yang menerapkan sistem syariah dalam pemerintahannya. Hukum yang pernah diterapkan selama berdirinya kesultanan itu tampaknya punya dampak yang tersisa dari segi sosial hari ini di Timur Tengah: kemiskinan.

Hal itu diungkapkan oleh Timur Kuran, ekonom Duke University, AS, lewat makalahnya bertajuk "The Financial Power of the Powerless: Socio‐Economic Status and Interest Rates Under Partial Rule of Law Get access Arrow" dalam The Economic Journal 30 April 2017 silam.

Dia bersama rekannya, Jared Rubin dari Chapman University, menelisik wawasan tentang konflik Timur Tengah atau kemiskinan modern dalam catatan pengadilan Kesultanan Ottoman. Mereka menulis, tindakan pengadilan kesultanan memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan yang secara tidak sengaja melemahkan keuangan masyarakat.

"Apa yang kita lihat hari ini adalah konsekuensi yang tidak diinginkan," kata Kuran di Eurekalert. "Niat pengadilan adalah untuk membantu kelompok yang dianggap layak mendapat dukungan. Konsekuensi yang tidak diinginkan adalah membuat mereka kurang dapat dipercaya dan meningkatkan biaya pinjaman."

Di Kesultanan Ottoman, tepatnya di ibu kota yang kini bernama Istanbul, bias pengadilan menghasilkan suku bunga tinggi untuk orang kaya dan kalangan berprivilese. Sementara hari ini, faktor-faktor yang memberatkan orang kaya, justru merugikan orang miskin.

Sesuai dengan ideologi Kesultanan Ottoman, pengadilan Istanbul menerapkan hukum syariah yang berdasarkan hukum dan tradisi Islam. Kuran dan rekannya menelusuri jejak catatan dari dua abad Kesultanan itu berdiri dari abad ke-17 hingga ke-18 (1602 hingga 1799). Mereka mendapati bahwa hukum seperti itu tidak berbeda dengan pengadilan yang sempat goyang di Timur Tengah modern.

Selama dalam penelitiannya, Kuran dan Rubin mengetahui bahwa pengadilan sangat bias dalam mendukung laki-laki kalangan elite dan beragama Muslim. Sementara hukuman keras bisa jatuh pada wanita, rakyat jelata, dan agama minoritas seperti Kristen dan Yahudi.

Saat meninjau catatan, Kuran mendapati bahwa kalangan elite dan privilese seperti laki-laki Muslim dengan status tinggi, membayar suku bunga yang jauh lebih tinggi untuk pinjaman. Bagi wanita, rakyat jelatan, dan agama-agama minoritas, sebaliknya—membayar suku bunga yang lebih rendah.

Kuran dan Rubin berpendapat, alasannya karena pengadilan di Ottoman mudah bagi laki-laki Muslim bergelar elite. Pemberi pinjaman tidak dapat mengandalkan pengembalian uang mereka, dan meminjamkan kepada berbagai kelompok kecil menjadi proposisi dengan risiko tinggi.

Pemberi pinjaman membebankan suku bunga yang lebih tinggi kepada kalangan elite dan berprivilese untuk menutupi risiko mereka dari kalangan lemah.

Dalam laporan para peneliti, laki-laki membayar suku bunga 26 persen jauh lebih tinggi daripada wanita. Wanita mewakili risiko utang yang lebih baik, justru karena mereka meminta pertanggungjawaban pengadilan, terang Kuran

Sementara masa Kesultanan Ottoman, wanita tidak bebas berpergian sendirian, apalagi untuk kabur melarikan diri dari krediturnya. Laki-laki justru sebaliknya, mereka punya risiko untuk melarikan diri dari kreditur.

"Bias pengadilan membuatnya berisiko untuk meminjamkan kepada kelompok istimewa," lanjut Kuran. "Pengadilan memberi insentif kepada kelompok privilese untuk memutuskan kontrak. Kelompok yang disukai secara hukum membayar lebih untuk utang justru karena janji mereka relatif kurang kredibel."

Dengan temuan seperti ini Kuran dan Rubin memahami kondisi Timur Tengah abad ke-21. Kondisi seperti ini jugalah yang menyebabkan Kesultanan Ottoman yang dulu dikenal sebagai kekaisaran yang makmur, justru tertinggal dari Eropa secara ekonomi. Ketertinggalan ekonomi masih dalam mengejar babak pemulihan di Timur Tengah, kata Kuran.

Revolusi Industri pada abad ke-18 dan ke-19 membuat situasi berbeda. Pabrik-pabrik bermunculan di seluruh Inggris dan Eropa, menjadi akses modal yang semakin penting dalam perekonomian di benua yang ekonominya sempat redup.

Industrialisasi dibiayai oleh investor kaya yang bisa mendapatkan pinjaman besar. Sementara Istnabul menjadi pusat komersial yang berkembang pesat masa itu. Suku bunga tinggi yang dihadapi oleh elite kota, menjelaskan mengapa ekspansi industri serupa bisa lebih lambat bisa hadir di Istanbul.

Sekelompok orang miskin Yahudi di Aleppo di awal abad ke-20. Wanita dan agama minoritas memiliki kredit yang lebih rendah dari kalangan kaya, tetapi mereka tidak bisa bergerak bebas dari kemiskinan. (Library of Congress)

"Agar berhasil dalam produksi massal, seseorang membutuhkan lebih banyak modal daripada di masa lalu," kata Kuran. "Jadi, menjadi kendala untuk menghadapi biaya pinjaman yang sangat tinggi."

Akan tetapi, sistem pengadilan syariah atau Islam yang tidak berkeadilan secara kelas dan golongan di Kesultanan Ottoman, masih diberlakukan di banyak negara Timur Tengah. Padahal pengadilan semacam ini telah mendapat kritik dalam perspektif HAM, dan potensi dampak keuangannya, terang Kuran.

“Ini membantu menjelaskan mengapa membawa kembali hukum Syariah adalah obat yang salah untuk wilayah ini,” kata Kuran.

Namun, syariah tidak selalu salah dalam terapan sistem ekonomi, terang Kuran. Dia melihat bahwa demokrasi Barat hari ini punya bias pengadilan berbeda dari yang dimiliki Ottoman di Istanbul. Orang-orang miskin justru yang membayar harga yang sangat membebankan mereka.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman, Tempat Berlindung Pengungsi Muslim dan Nonmuslim

Baca Juga: Meski Kontroversial, Selim I Berhasil Membawa Kejayaan Ottoman

Baca Juga: Praktik Politik Gelar Keturunan Nabi Muhammad Era Ottoman Turki

Baca Juga: Pernah Jadi Kekaisaran Terkuat, Ottoman Jatuh Karena Enam Hal Ini

Sebagian besar undang-undang modern cenderung melindungi masyarakat untuk membantu orang miskin. Akan tetapi, Kuran mendapati, pemberi pinjaman, jaminan kebangkrutan, dan undang-undang lain, untuk melindungi orang miskin dari tuntutan membuat pinjaman punya proposisi yang lebih berisiko.

Hal ini mungkin yang menjelaskan mengapa orang miskin sebagai peminjam, sering menjadi pinjaman gaji dan pegadaian. Padahal cara ini bisa berdampak suku bunga pada mereka setinggi 400 persen, kata Kuran.

"Undang-undang kebangkrutan mungkin memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan yaitu merugikan kelompok yang ingin mereka lindungi—orang miskin," tulis Kuran.

"Dalam mempersulit pemberi pinjaman untuk mengganti kerugian mereka dari gagal bayar, mereka menaikkan biaya utang orang miskin. Hukum dimaksudkan untuk melindungi yang tidak berdaya sehingga memiliki efek yang tidak diinginkan menambah kecacatan mereka di pasar keuangan."

Alih-alih undang-undang demokrasi dihapus besar-besaran di berbagai negara, mungkin lebih baik direvisi. Sehingga memudahkan tingkat hukuman yang dihadapi orang miskin di pasar utang, terang Kuran. 

“Hukum semacam itu mungkin menjadi salah satu penyebab struktural dari kemiskinan kronis modern,” kata Kuran.