Serban Kuning: Simbol Perlawanan atas Pajak & Dinasti Han yang Korup

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 8 Maret 2023 | 13:00 WIB
Pemberontakan serban kuning terjadi akibat Dinasti Han semasa Kaisar Ling korup, membebankan pajak tinggi pada rakyat, dan pandemi. (Total War)

Nationalgeographic.co.id — Pemberontakan serban kuning (yellow turban rebellion) merupakan babak penting dalam membahas akhir Dinasti Han. Tragedi ini juga menjadi babak awal dalam cerita fiksi Kisah Tiga Kerajaan (Romance of the Three Kingdoms) dan misi pertama di serial gim Dynasty Warriors.

Pemberontakan serban kuning bukan fiksi seperti cerita atau gim yang populer. Pemberontakan ini terjadi selama Dinasti Han yang pemerintahannya berjalan korup di bawah kekuasaan Kaisar Ling (156-189). Pemberontakan muncul akibat kesewenang-wenangan pemerintah dalam membebankan pajak kepada rakyat demi 'menambal' kas kerajaan.

Sekilas politik Dinasti Han selama Kaisar Ling

Dinasti Han punya kekuasaan yang luas sejak akhir abad ke-3 SM yang diwarisi dari Dinasti Qin—dinasti pertama Tiongkok. Kekuasaan Dinasti Han memanjang ke arah barat, mengikuti Jalur Sutra yang merupakan jalan perdagangan mancanegara.

Kawasan itu adalah Cekungan Tiram yang dikuasai setelah memenangkan perang melawan bangsa Xiongnu dari utara. Hari ini, Cekungan Tiram merupakan daerah dari Provinsi Xinjiang hari ini—di mana masyarakat Uyghur tinggal. Sedangkan di selatan, armada laut berhasil memperluas kekuasaan Dinasti Han di bagian utara Vietnam.

Pada masa kekaisaran Kaisar Ling Selama Ling berkuasa, politik pemerintahan semakin melemah. Kaisar Ling dipengaruhi banyak kasim istana yang sangat kuat demi mencari keuntungan pribadi.

Sementara itu, pemerintahan Dinasti Han sedang gencar-gencarnya dalam upaya pertahanan dari ancaman bangsa di utara dan stepa Asia Tengah. Berbagai benteng didirikan sepanjang Jalur Sutra dan melanjutkan pendirian Tembok Besar. Akan tetapi, semua pendanaannya diberatkan pada pajak kaum petani.

Sinolog Australian National University (ANU) Rafe de Crespigny dalam buku Fire over Luoyang A History of the Later Han Dynasty 23-220 AD menerangkan, korupsi pemerintah dianggap menyebabkan malapetaka bagi rakyat. Kalangan rohani Taoisme pada saat itu menyebut bahwa wabah penyakit, bencana alam, dan hasil panen yang buruk adalah cerminan dari Kaisar Ling yang telah kehilangan Mandat Langitnya.

Banjir sering terjadi di sepanjang Sungai Kuning sehingga krisis agraria terjadi. Kalangan petani dan pemukim militer di utara terpaksa berpindah ke selatan demi kehidupan yang lebih baik. Sementara pemilik tanah di selatan penuh dengan orang kaya yang berkuasa, sehingga memanfaatkan petani yang menganggur dan mantan tentara militer untuk dieksploitasi.

Zhang Jue atau disebut Zhang Jiao. Dia adalah tabib dan rohaniawan Tao yang peduli pada nasib masyarakat miskin yang terdampak akibat kesemena-menaan Dinasti Han semasa Kaisar Ling. (Wikimedia)

Dari sinilah ketimpangan antar kelas sosial terjadi. Dengan kalangan miskin yang semakin miskin, dan pemilik tanah yang memperoleh kekayaan. Situasinya pun kian parah dengan pajak yang dikenakan kepada petani.

Taoisme dan serban kuning

De Crespigny menerangkan bahwa penyakit mewabah di Dinasti Han pada tahun 171, 173, 179, 182, dan 185 Masehi. Penyakit inilah yang diteorikannya sebagai Wabah Antoninus yang merebak sampai ke Romawi pada 165 hingga 180 M. Dia mencurigai penyebarannya terbawa di Jalur Sutera.

Di Tiongkok, masyarakat harus mendatangi tabib. Salah satu yang terkenal adalah tabib dan rohaniawan Taoisme Zhang Jue (Zhang Jiao) yang mampu menyembuhkan pasien dengan air yang diberkati dengan ritualnya.

Pasien Zhang Jue adalah masyarakat miskin yang terdampak dari wabah. Karena kemanjurannya, dia memiliki banyak pengikut. Kelak, dialah yang akan memimpin pemberontakan dengan memabwa 360.000 pengikut bersenjata, yang sebagian besar adalah kaum tani, dan beberapa pejabat dan cendekiawan lokal.

Zhang Jue perihatin terhadap derita yang dialami rakyat. Kemampuannya memberi pengobatan gratis membuatnya pemerintah tidak mampu melayani rakyatnya. Dia bersama kedua saudaranya Zhang Bao dan Zhang Liang, segera membawa merencanakan revolusi dan mendirikan sekte agama Tao di Shanding, Tiongkok. 

Para pemimpin pemberontakan Serban Kuning dalam citra visual gim Dynasty Warriors 9. (Koei Tecmo)

Ajaran mereka disambut oleh masyarakat karena memberikan pembagian tanah dan hak yang sama. Lambat laun, pada masa revolusi, Zhang Jue disebut sebagai Jenderal Surga karena kemampuan penyembuhan, keagamaan, dan tatanan sosial. Dia juga menyebut bahwa dirinya telah diberikan kitab suci oleh Tuhan sebagai kunci penting untuk jalan menuju kedamaian.

Para pengikut Zhang Jue menggunakan serban kuning di kepala mereka sebagai tanda identitas. Pemerintah menilai gerakan ini adalah pemberontakan. Bahkan, setiap warga ibukota yang teridentifikasi sebagai Serban Kuning dieksekusi. Dari sinilah Zhang Jue memulai pemberontakannya.

Pemberontakan

Sejarawan alumni Boston University Kallie Szczepanski menulis secara singkat di Tought.co terkait masa pemberontakan Serban Kuning. Faksi Serban Kuning berada di delapan provinsi berbeda-beda, melawan dengan menyerang berbagai kantor pemerintahan dan garnisun. Pejabat pemerintah berlarian, dan pemberontak berhasil merebut gudang senjata.

Baca Juga: Xiaozong, Kaisar Tiongkok Ambisius yang Dikendalikan Ayah Angkatnya

Baca Juga: Sejahat-jahatnya Cao Cao Tetap Saja Ada Kebijakan Politik yang Cermat

Baca Juga: Kisah Xian, 'Kaisar Boneka' di Masa Kemunduran Dinasti Han Tiongkok

Baca Juga: Ketika Ilmu Hitam Menghancurkan Permaisuri Chen dari Tiongkok Kuno 

Sementara itu, karena tentara kekaisaran terlalu kecil dan tersebar untuk mengadapi pemberontakan yang makin meluas. Maka, panglima perang lokal di provinsi harus membangun pasukannya sendiri untuk menumpas pemberontak.

Namun, tahun 184 Zhang Jue meninggal saat memimpin kota Guangzhong, terang Szczepanski. "Dia kemungkinan besar meninggal karena penyakit; kedua adik laki-lakinya tewas dalam pertempuran dengan tentara kekaisaran akhir tahun itu," lanjutnya.

Gerakan Serban Kuning pada akhirnya kehilangan tokoh pemimpin, tetapi perjuangan terus berlanjut selama dua puluh tahun berikutnya. Hal ini menyebabkan kelemahan pemerintahan Kaisar Ling terungkap, dan menyebabkan tumbuhnya panglima perang baru di seluruh Dinasti Han.

Para panglima perang seperti Cao-cao, inilah yang kemudian berkontribusi pada perang saudara yang akan datang. Mereka yang seharusnya meredam pemberontakan, pada akhirnya berebut kuasa politik tertinggi di Tiongokok. Perang saudara ini pada akhirnya membubarkan Kekaisaran Han dan menjadi awal periode Tiga Kerajaan atau Samkok (220 M hingga 280 M): Shu Han, Dinasti Wu, Dinasti Wei.