Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Romawi begitu dilumpuhkan oleh Wabah Antonine. Saking parahnya, banyak sarjana percaya wabah ini memiliki andil dalam mempercepat kehancuran kekaisaran.
Pada puncak Wabah Antonine, hingga 3.000 orang Romawi Kuno mati setiap hari.
Penyakit ini pertama kali disebutkan pada masa pemerintahan Marcus Aurelius Antoninus pada tahun 165 atau 166 M. Awal mula wabah ini tidak diketahui pasti. Namun seorang dokter Yunani bernama Galen berhasil mendokumentasikannya dengan detail yang mengejutkan.
Menurut catatannya, korban menderita selama dua minggu dengan gejala demam, muntah, haus, batuk, dan tenggorokan bengkak. Lainnya mengalami papula merah dan hitam pada kulit, bau mulut, dan diare hitam. Hampir sepuluh persen kekaisaran wafat karena wabah ini.
Pandemi itu akhirnya mereda, sama misteriusnya seperti kedatangan wabah itu.
“Wabah Antoninus menjadikan kekaisaran Romawi Kuno seperti Neraka,” ungkap Marco Margaritoff dilansir dari laman All That’s Interesting. Keberadaannya membuat kekaisaran terkuat pada masanya sama sekali tidak berdaya menghadapi pembunuh tak terlihat ini.
Penyebaran Wabah Antonine
Sebagian besar sumber setuju bahwa penyakit ini pertama kali muncul pada musim dingin tahun 165 M hingga 166 M. Saat itu adalah puncak Kekaisaran Romawi.
Selama pengepungan kota Seleukia di Irak modern, pasukan Romawi menyadari munculnya penyakit ini di antara masyarakat. Tidak perlu menunggu lama, para tentara pun terjangkit.
Akibatnya tentara membawa penyakit itu ke Galia dan legiun selanjutnya ditempatkan di sepanjang sungai Rhine. “Ini secara efektif menyebarkan wabah ke seluruh kekaisaran,” jelas Margaritoff.
Meskipun ahli epidemiologi modern belum mengidentifikasi dari mana wabah itu berasal, diyakini bahwa kemungkinan pertama kali berkembang di Tiongkok. Wabah Antoninus kemudian dibawa ke seluruh Euroasia oleh pasukan Romawi.
Ada satu legenda kuno yang mencoba menggambarkan bagaimana Wabah Antoninus pertama kali menginfeksi bangsa Romawi. Legenda menyebutkan bahwa jenderal Romawi Lucius Verus membuka sebuah makam selama pengepungan Seleukia. Akibat perbuatannya, tanpa disadari membebaskan penyakit itu.
Banyak yang percaya jika Romawi sedang dihukum oleh para dewa karena melanggar sumpah untuk tidak menjarah kota Seleukia.
Dokter kuno Galen pergi dari Roma selama dua tahun. Ketika dia kembali pada tahun 168 M, kota itu telah hancur akibat wabah misterius tersebut. Catatannya, Methodus Medendi, menggambarkan pandemi itu hebat, panjang, dan luar biasa menyedihkan.
Galen juga mengamati para korban menderita demam, diare, sakit tenggorokan, dan bercak-bercak ruam di seluruh kulit. Wabah itu memiliki tingkat kematian 25 persen dan orang yang selamat mengembangkan kekebalan terhadapnya. Yang lain meninggal dalam waktu dua minggu setelah gejala pertama muncul.
“Di tempat-tempat yang tidak mengalami ulserasi, terdapat ruam kasar dan keropeng. Semua akan rontok seperti sekam sehingga pasien menjadi sembuh,” M.L. dan R.J. Littman menulis dalam The American Journal of Philology of the disease.
Ahli epidemiologi modern sebagian besar setuju berdasarkan deskripsi ini bahwa penyakit itu mungkin cacar.
Wabah ini menelan korban hampir sepertiga dari kekaisaran. Pada akhir wabah, sebanyak lima juta orang telah meninggal akibat wabah misterius ini.
Bagaimana Wabah Antoninus menghancurkan Kekaisaran Romawi secara perlahan
Dari jutaan korban wabah, salah satu yang paling terkenal adalah rekan Kaisar Lucius Verus. Ia memerintah di samping Kaisar Antoninus pada 169 M.
Beberapa ahli epidemiologi modern juga berspekulasi bahwa Kaisar Marcus Aurelius sendiri tewas karena penyakit itu pada 180 M. Wabah Antoninus juga sangat berdampak pada militer Roma. Para legiun tertular penyakit dari rekan-rekan mereka yang kembali dari Timur. Tidak dipungkiri, kematian mereka berdampak besar bagi militer Roma.
Akibatnya, kaisar merekrut siapa pun yang cukup sehat untuk bertarung. Sayangnya, jumlahnya pun sedikit mengingat begitu banyak warga yang juga sekarang.
Budak yang dibebaskan, gladiator, dan penjahat bergabung dengan militer. Tentara yang tidak terlatih ini kemudian menjadi korban suku-suku Jermanik. Suku-suku ini mampu menyeberangi sungai Rhine untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua abad.
Dengan ekonomi yang bermasalah dan agresor asing yang menguasai, mempertahankan kekaisaran menjadi masalah serius.
Dampak Wabah Antoninus
Sayangnya, Wabah Antoninus hanyalah yang pertama dari tiga pandemi yang menghancurkan Kekaisaran Romawi. Dua lagi akan menyusul, menghancurkan ekonomi dan tentara.
Wabah Antoninus menciptakan kekurangan tenaga kerja dan ekonomi yang stagnan. Perdagangan yang menggelepar berarti pajak yang lebih sedikit untuk mendukung negara.
Kaisar, sementara itu, menyalahkan orang Kristen atas pandemi tersebut. Mereka dianggap gagal memuji para dewa sehingga menyebabkan kemarahan dan diberi ganjaran wabah mematikan.
Kelompok Kristen sebenarnya mengumpulkan popularitas selama krisis ini. Orang-orang Kristen termasuk di antara sedikit orang yang mau menerima mereka yang menderita karena wabah. Kekristenan, dengan demikian, berhasil menjadi agama tunggal dan resmi kekaisaran setelah wabah.
Ironisnya, jangkauan kekaisaran yang luas dan rute perdagangan yang efisienlah yang memfasilitasi penyebaran wabah tersebut. Kota-kota yang terhubung dengan baik dan penuh sesak pernah dipuji sebagai lambang budaya dengan cepat menjadi pusat penularan.
“Pada akhirnya, Wabah Antoninus hanyalah pendahulu dari dua pandemi lagi. Namun wabah ini memiliki andil dalam kehancuran kekaisaran terbesar yang pernah ada di dunia,” tutur Margaritoff.
Source | : | allthatsinteresting |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR