Pemupukan berlebihan memang bisa menyuburkan lahan tanaman persawahan dan perkebunan. Kondisi ini hanya bisa dilakukan di negara-negara yang mampu membelinya secara berlebih, terutama di Eropa, Amerika Utara, dan beberapa di Asia Tenggara.
Di satu sisi, fosfor dari pupuk bisa larut dalam limpasan air hujan dan erosi. Lebih buruk lagi, jika fosfor berlebihan terbawa ke perairan seperti sungai dan laut, menyebabkan pertumbuhan mekar alga yang berbahaya pada ekosistem, seperti kematian ikan atau pembentukan zona mati.
Baca Juga: Berasal dari Tiongkok, Sejak Kapan Padi Mulai Dibudidayakan?
Baca Juga: Bagaimana Bali Bisa Mengajari Dunia Cara Mengelola Air yang Terbatas
Baca Juga: Sistem Lumbung Pangan Punya Masalah di Bidang Lingkungan dan Sosial
Baca Juga: Negara-negara Asia Lalai Akan Janjinya untuk Keanekaragaman Hayati
Selain itu, kemungkinan untuk distribusi pupuk fosfor pun sulit. Pasalnya, terang temuan tersebut, distribusinya tidak merata di seluruh dunia, dan terbuat dari batuan fosfat--sumber daya yang tidak terbarukan. Sementara, 70 persen cadangannya ditemukan di Maroko dan Sahara Barat. Akan ada banyak negara yang akan sangat bergantung pada ketersediaan mereka.
Para peneliti menambahkan, situasinya bisa lebih buruk di masa depan karena tingkat karbon dioksida di atmosfer terus meningkat dan membatasi keberadaan fosfor. Pada akhirnya, ada tantangan sosial-politik internasional demi mendapatkan akses ke mineral untuk kebutuhan pupuk.
"Kesulitan negara-negara dengan daya beli rendah untuk menyuburkan tanah pertanian mereka dengan suplemen fosfor terbukti dan mengkhawatirkan," terang Peñuelas. Dia menyebutkan, pada krisis pangan dunia 2007-2008, harga batuan fosfat dan pupuk meningkat 400 persen dalam 14 bulan. Imbasnya adalah ketidakstabilan sosial ekonomi terkait fosfor.
Sebagai pilihan alternatif, perlu ada pembahasan mendesak tentang rencana strategi pengelolaan fosfor global. Pembahasan ini harus dibicarakan di tingkat dunia demi mempertimbangkan ketahanan pangan masa depan.