Nationalgeographic.co.id—Tanaman, termasuk padi-padian, punya manfaat dalam menyerap karbon dioksida, dan melepaskan oksigen agar makhluk hidup seperti manusia bisa bernapas. Namun, konsentrasi karbon dioksida yang tinggi akibat perubahan iklim, berdampak buruk bagi tanaman.
"Ketika ada konsentrasi karbon dioksida yang tinggi di atmosfer, tanaman menikmati efek pemupukan ini dalam jangka pendek," kata Josep Peñuelas, peneliti Centre for Research on Ecology and Forestry Applications (CREAF) University of Barcelona, dikutip dari Eurekalert.
"Namun dalam jangka panjang, tanaman padi tidak lagi memiliki fosfor yang tersedia dan tanah menjadi gersang, sehingga pertumbuhan tanaman terganggu," lanjutnya.
Para ilmuwan sebenarnya sudah mengetahui bahwa tanaman, dalam lingkup hutan tropis, telah kehilangan perannya sebagai 'paru-paru dunia'. Sementara, agar benar-benar bisa menyerap banyak emisi karbon di seluruh dunia miliaran bibit pohon harus ditanam, dan tentunya harus menjadi upaya serius.
Sementara, Peñuelas dalam tim penelitian internasional mengungkapkan hasil temuan tentang kemampuan pernapasan pada tanaman padi. Temuan itu dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience, pada 19 Januari 2023 bertajuk "Reduced phosphorus availability in paddy soils under atmospheric CO2 enrichment".
Para peneliti mengungkapkan, ketersediaan fosfor adalah pupuk alami dari tanah yang penting untuk tanaman sawah produktif. Akan tetapi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer yang tinggi mengurangi ketersediaan fosfor hingga lebih dari 20 persen.
Makalah itu memproyeksikan dampaknya: risiko penurunan hasil panen padi, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah, yang menyebabkan kerugian dan semakin memperlebar ketimpangan ekonomi akibat emisi karbon dioksida. Dampaknya juga terjadi pada proses geokimia.
Kesimpulannya menunjukkan, 55 persen luas sawah padi di Tiongkok dan India akan mengalami peningkatan risiko penurunan hasil akibat kurangnya fosfor. Kejadian ini tentunya bisa terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Afrika, dan Timur Tengah.
Diperkirakan, dalam penelitian tersebut, negara-negara tersebut akan mengalami situasi yang lebih kritis dengan 70 persen lahan sawah akan menderita risiko penurunan hasil yang lebih tinggi. Hasil ini berbanding dengan di negara berpenghasil menengah dan tinggi dengan dampak situasinya 52 persen.
Pada akhirnya, para peneliti melanjutkan, ancaman konsentrasi tinggi karbon dioksida pada tanaman padi bisa membahayakan ketahanan pangan. Tentunya, bisa berdampak pada pertumbuhan populasi global di mana beras punya peran besar sebagai makanan pokok.
Pemupukan tanah mungkin cara terbaik untuk mengimbangi dampak kadar tinggi karbon dioksida di atmosfer pada tanaman padi. Sayangya ada konsekuensi yang harus dihindari.
Pemupukan berlebihan memang bisa menyuburkan lahan tanaman persawahan dan perkebunan. Kondisi ini hanya bisa dilakukan di negara-negara yang mampu membelinya secara berlebih, terutama di Eropa, Amerika Utara, dan beberapa di Asia Tenggara.
Di satu sisi, fosfor dari pupuk bisa larut dalam limpasan air hujan dan erosi. Lebih buruk lagi, jika fosfor berlebihan terbawa ke perairan seperti sungai dan laut, menyebabkan pertumbuhan mekar alga yang berbahaya pada ekosistem, seperti kematian ikan atau pembentukan zona mati.
Baca Juga: Berasal dari Tiongkok, Sejak Kapan Padi Mulai Dibudidayakan?
Baca Juga: Bagaimana Bali Bisa Mengajari Dunia Cara Mengelola Air yang Terbatas
Baca Juga: Sistem Lumbung Pangan Punya Masalah di Bidang Lingkungan dan Sosial
Baca Juga: Negara-negara Asia Lalai Akan Janjinya untuk Keanekaragaman Hayati
Selain itu, kemungkinan untuk distribusi pupuk fosfor pun sulit. Pasalnya, terang temuan tersebut, distribusinya tidak merata di seluruh dunia, dan terbuat dari batuan fosfat--sumber daya yang tidak terbarukan. Sementara, 70 persen cadangannya ditemukan di Maroko dan Sahara Barat. Akan ada banyak negara yang akan sangat bergantung pada ketersediaan mereka.
Para peneliti menambahkan, situasinya bisa lebih buruk di masa depan karena tingkat karbon dioksida di atmosfer terus meningkat dan membatasi keberadaan fosfor. Pada akhirnya, ada tantangan sosial-politik internasional demi mendapatkan akses ke mineral untuk kebutuhan pupuk.
"Kesulitan negara-negara dengan daya beli rendah untuk menyuburkan tanah pertanian mereka dengan suplemen fosfor terbukti dan mengkhawatirkan," terang Peñuelas. Dia menyebutkan, pada krisis pangan dunia 2007-2008, harga batuan fosfat dan pupuk meningkat 400 persen dalam 14 bulan. Imbasnya adalah ketidakstabilan sosial ekonomi terkait fosfor.
Sebagai pilihan alternatif, perlu ada pembahasan mendesak tentang rencana strategi pengelolaan fosfor global. Pembahasan ini harus dibicarakan di tingkat dunia demi mempertimbangkan ketahanan pangan masa depan.