“Agama pegunungan” baru yang memadukan unsur-unsur Buddhisme, Taoisme, dan Shintoisme muncul selama abad kedelapan. Ini mendorong ziarah sebagai jalan menuju kesadaran akan Tuhan. Mereka percaya seseorang dapat melintasi batas antara yang sakral dan profan saat mendaki, kemudian membawa yang sakral kembali ke dunia di bawahnya.
“Tempat-tempat suci di pegunungan adalah tempat tinggal para dewa dan keabadian,” menurut teks abad ke-12 Shozan engi. “Mereka yang menapaki ruang-ruang itu dan menyeberangi sungai-sungai ini harus berpikir bahwa setiap tetes air, setiap pohon di pegunungan ini adalah obat keabadian. Bahkan jika mereka menderita karena kesalahan masa lalu yang berat.”
Kerja keras fisik untuk mendaki adalah bentuk penebusan dan proses mencapai puncak. Melalui pendakian, mereka percaya bahwa mereka akan memperoleh kekuatan spiritual untuk mengusir roh jahat.
“Ekstasi yang dirasakan di puncak gunung dikatakan menghilangkan semua rasa sakit dan semua rasa tidak enak yang ada. Juga memperkenalkan kesadaran akan tatanan keberadaan lain yang dapat dibawa kembali oleh peziarah ke dalam kehidupan sehari-hari,” tulis sejarawan Allan Grapard dalam History of Religions. “Sudah diketahui umum bahwa para peziarah yang kembali dari ruang suci dikagumi. Orang biasa akan memberi hormat, memberikan persembahan, bahkan mencoba menyentuh mereka.”
Sekte Fujikō abad ke-16 percaya bahwa gunung itu adalah makhluk hidup dengan jiwa dan menekankan ziarah massal. “Gunung ini lahir dari penyatuan langit dan bumi. Itu adalah sumber yin dan yang,” menurut Kakugyō, pendiri Fujikō.
Baca Juga: Kofun yang Misterius, Kuburan Kuno Jepang yang Menghadap Amaterasu
Baca Juga: Menyaksikan Cahaya Pagi Berbentuk Hati di Gua Kameiwa Jepang
Baca Juga: Apakah Manga dan Anime Dapat Membentuk Dunia Melihat Jepang?
Akan tetapi agama pegunungan Jepang mengalami pukulan yang tidak dapat diperbaiki selama penghapusan Shugen-dō dan Buddhisme selama periode Meiji (1868–1912). Dalam periode ini, ada upaya untuk menyatukan negara di bawah Shinto. Banyak kuil dan wihara suci di Fuji dijarah dan sejarah yang tak ternilai hilang.
Kebebasan beragama akhirnya muncul pada tahun 1945 setelah Perang Dunia II. Namun meskipun praktisi Shugen-dō dan Fujikō masih ada sampai sekarang, mereka tidak bisa pulih seperti sediakala.
Dari sakral ke sekuler