Nationalgeographic.co.id - Setiap musim panas, ribuan orang berkumpul di lereng Gunung Fuji. Mereka melakukan pendakian yang merupakan ritual tersuci di negara itu. Setiap derap langkah mengingatkan bahwa di balik keindahannya yang sunyi terdapat kekuatan yang merusak. Terlepas dari kemajuan teknologi, umat manusia terikat pada kekuatan alam.
Dipahat oleh ribuan tahun letusan menjadi simetri yang anggun. Kekuatan dahsyatnya seakan terlupakan jika dilihat dari jarak yang terlalu jauh. Dari dekat, Gunung Fuji adalah lautan abu vulkanik yang hangus.
Bukan sekadar objek alam
Membentang setinggi 3.776 m dan terbentuk selama jutaan tahun, Gunung Fuji adalah gunung tertinggi di Jepang. “Kerucutnya yang ikonis merupakan hasil dari tiga letusan besar,” tulis Gulnaz Khan di laman National Geographic.
Budaya di seluruh dunia dan sepanjang sejarah mengakui kesucian pegunungan, seperti Olympus, Kailash, Sinai, Popocatépetl, atau Arafat. Di zaman kuno, Fuji dianggap sebagai rumah bagi para dewa. Hari ini, gunung tersebut bertahan sebagai simbol nasional.
“Gunung Fuji bukan hanya objek alam, tetapi menjadi rumah spiritual dan sumber keberanian bagi semua orang Jepang sepanjang sejarah Jepang,” kata Yasuhiro Nakasone, mantan Perdana Menteri Jepang.
Memahami luas dan besarnya makna budaya Gunung Fuji yang sebenarnya adalah tugas yang hampir mustahil. Gunung ini dihormati oleh penyair dan seniman sebagai cita-cita kesempurnaan tertinggi. Disembah sebagai tempat tinggal para dewa dan ditakuti sebagai tempat tinggal orang mati. Juga didaki oleh mereka yang mencari kesadaran akan Tuhan.
Penghormatan kepada Gunung Fuji
Secara historis, Gunung Fuji dipuja sekaligus ditakuti. Dikatakan sebagai rumah bagi roh yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen seperti api dan air.
Ritual paling awal yang mengelilingi gunung berpusat pada menenangkan roh api yang merusak untuk mencegah bencana alam. Ritus musiman juga dilakukan di musim gugur dan musim semi untuk mendorong aliran air yang menopang kehidupan dari puncaknya.
Sebelum abad keenam, orang Jepang memberikan penghormatan kepada Fuji dari jarak yang aman. Gunung itu sendiri dianggap terlalu suci untuk diinjak oleh manusia biasa. Namun pengenalan agama Buddha ke Jepang secara mendasar mengubah hubungan orang Jepang dengan ruang alam.
Kemudian, pegunungan dipromosikan sebagai ruang ideal untuk bermeditasi, mencari kesunyian, dan berlatih asketisme. Seiring waktu, ritual bergeser untuk fokus pada kultivasi diri dan pendakian menjadi salah satu bentuk pemujaan.
“Agama pegunungan” baru yang memadukan unsur-unsur Buddhisme, Taoisme, dan Shintoisme muncul selama abad kedelapan. Ini mendorong ziarah sebagai jalan menuju kesadaran akan Tuhan. Mereka percaya seseorang dapat melintasi batas antara yang sakral dan profan saat mendaki, kemudian membawa yang sakral kembali ke dunia di bawahnya.
“Tempat-tempat suci di pegunungan adalah tempat tinggal para dewa dan keabadian,” menurut teks abad ke-12 Shozan engi. “Mereka yang menapaki ruang-ruang itu dan menyeberangi sungai-sungai ini harus berpikir bahwa setiap tetes air, setiap pohon di pegunungan ini adalah obat keabadian. Bahkan jika mereka menderita karena kesalahan masa lalu yang berat.”
Kerja keras fisik untuk mendaki adalah bentuk penebusan dan proses mencapai puncak. Melalui pendakian, mereka percaya bahwa mereka akan memperoleh kekuatan spiritual untuk mengusir roh jahat.
“Ekstasi yang dirasakan di puncak gunung dikatakan menghilangkan semua rasa sakit dan semua rasa tidak enak yang ada. Juga memperkenalkan kesadaran akan tatanan keberadaan lain yang dapat dibawa kembali oleh peziarah ke dalam kehidupan sehari-hari,” tulis sejarawan Allan Grapard dalam History of Religions. “Sudah diketahui umum bahwa para peziarah yang kembali dari ruang suci dikagumi. Orang biasa akan memberi hormat, memberikan persembahan, bahkan mencoba menyentuh mereka.”
Sekte Fujikō abad ke-16 percaya bahwa gunung itu adalah makhluk hidup dengan jiwa dan menekankan ziarah massal. “Gunung ini lahir dari penyatuan langit dan bumi. Itu adalah sumber yin dan yang,” menurut Kakugyō, pendiri Fujikō.
Baca Juga: Kofun yang Misterius, Kuburan Kuno Jepang yang Menghadap Amaterasu
Baca Juga: Menyaksikan Cahaya Pagi Berbentuk Hati di Gua Kameiwa Jepang
Baca Juga: Apakah Manga dan Anime Dapat Membentuk Dunia Melihat Jepang?
Akan tetapi agama pegunungan Jepang mengalami pukulan yang tidak dapat diperbaiki selama penghapusan Shugen-dō dan Buddhisme selama periode Meiji (1868–1912). Dalam periode ini, ada upaya untuk menyatukan negara di bawah Shinto. Banyak kuil dan wihara suci di Fuji dijarah dan sejarah yang tak ternilai hilang.
Kebebasan beragama akhirnya muncul pada tahun 1945 setelah Perang Dunia II. Namun meskipun praktisi Shugen-dō dan Fujikō masih ada sampai sekarang, mereka tidak bisa pulih seperti sediakala.
Dari sakral ke sekuler
Antara bulan Juni dan Agustus, lebih dari 400.000 orang berjalan dengan susah payah mendaki Gunung Fuji. Mereka terengah-engah dalam kegelapan dini hari.
Saat ini, banyak orang mendaki Gunung Fuji untuk rekreasi alih-alih beribadah. Namun pendakian tetap dijiwai dengan rasa sakral. “Ini memiliki sejarah sebagai ziarah spiritual tetapi gunung itu sendiri masih memiliki tempat di masyarakat Jepang,” jelas fotografer David Guttenfelder.
Dapat dikatakan bahwa pendakian Gunung Fuji saat ini adalah ziarah sejarah. Ini adalah penghormatan dan pelestarian warisan bersama dalam masyarakat yang terus berkembang menuju masa depan.
Biasanya, pengunjung memulai pendakian di pagi hari dan mendaki selama enam hingga delapan jam hingga mencapai penginapan saat senja. Di sana, anda saling berhadapan dengan orang asing, semua orang tidur bersama. Para pendaki akan membangunkan satu sama lain pada pukul satu pagi untuk melakukan pendakian ke puncak.
Ratusan orang duduk bersama, mengangkat tangan, dan bersorak serempak menyambut terbitnya matahari. Para pendaki menjadi sangat emosional.
Letusan besar terakhir Gunung Fuji terjadi pada tahun 1707, tetapi ahli geologi menganggapnya aktif dan pemerintah terus menyusun rencana bencana.
Tidak jelas bagaimana masa depan Gunung Fuji. Namun sejarah membuktikan bahwa warisannya dalam budaya Jepang bersifat cair, tetapi tak terhapuskan.