Festival Munara Beba: Usaha Pelestarian Adat Biak Karon & Alam Lautnya

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 4 April 2023 | 10:00 WIB
Masyarakat adat Biak Karon melakukan tarian pembuka menjelang pembukaan Festival Munara Beba Byak Karon. Festival ini berisi rangkaian adat untuk mengingat kembali tradisi orang Biak yang nyaris terlupakan generasi muda, sekaligus melindungi alam bawah laut. (Garry Lotulung)

Nationalgeographic.co.id—Bagi orang adat Biak Karon di Kampung Werur dan Sausapor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, menapaki jejak istiadat nenek moyang diperlukan. Akan tetapi, kebudayaan Biak di sana nyaris terlupakan, bahkan bagi generasi tua.

Oleh karena itu, melalui Festival Munara Beba Byak-Karon tanggal 22-25 Maret 2023, mereka menarik kembali kebiasaan tradisi leluhur mereka. "Untuk mempertahankan, kalangan adat dari (Pulau) Biak didatangkan langsung untuk mengenalkan kebudayaannya kembali," kata Yonathan Yappen.

Yonathan adalah ketua panitia festival, sekaligus tetua keret (marga) Yappen. Saya menjumpainya di dapur umum keret Yappen, tidak jauh dari tempat festival diselenggarakan. Para ibu disibukkan dengan membakar ikan untuk santapan bersama, dan para bapak bersiap untuk tarian festival untuk mewakilkan masing-masing keret.

Festival ini perdana bagi orang Biak Karon. Selain untuk melestarikan kebudayaan Biak, festival ini bertujuan untuk melestarikan alam laut dari kerusakan. Bahkan, saat saya berjalan-jalan di sekitar panggung festival di pesisir Kampung Werur, terdapat tempat berswafoto bertuliskan "Pesat Adat Lindungi Laut" dengan latar belakang Samudra Pasifik.

Festival tersebut diselenggarakan mandiri oleh orang Biak Karon bersama warga lainnya di sekitar Werur dan Sausapor. 

Siang di hari pertama itu, acara dimulai dengan tarian selebrasi dan yel-yel dari tiap keret. Namun yang lebih menarik, pembukaan dilanjutkan dilanjutkan dengan tarian muda-mudi usia belasan tahun dari Sausapor dan Werur. Tarian mereka menceritakan asal-usul orang Biak Karon bisa hadir di sini.

Anak-anak muda Tambrauw melakukan tari tradisional yang bercerita tentang asal-usul suku Biak Karon. Cerita bermula dari kebiasaan orang Biak melaut hingga kedatangannya di Tambrauw. (Garry Lotulung)

Diceritakan bahwa 'karon' adalah istilah orang Biak untuk menyebut seluruh pantai utara Kabupaten Tambrauw, yang secara harfiah berarti ombak. "Tanah Karon sendiri adalah kawasan yang selalu disinggahi orang Biak dalam perjalanan pulang-pergi Biak-Raja Ampat," tutur Harold Maran, pendeta Kampung Werwaf, Distrik Bikar.

Orang Biak kerap disebut sebagai "viking dari Papua". Hal itu disebabkan keahlian dan ketangguhan mereka menjelajahi lautan sebagai pedagang, bajak laut, dan militer di laut. Diperkirakan orang Biak di Tambrauw sudah menetap sejak abad ke-16.

Perpindahan itu berangsur-angsur dari masa ke masa. Salah satu alasannya adalah pertikaian di Pulau Biak akibat perselisihan pengaruh antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Singkatnya, terbentuk masyarakat Biak Karon dengan enam keret: Mambrasar, Yappen, Paraibabo, Mar, Mayor, dan Mirino. Mereka hidup berdampingan dengan beberapa suku asli di sana.

Masing-masing keret mempunyai identitas perahunya masing-masing dalam cerita perpindahan ke Tambrauw. Perahu mereka beragam dengan simbol, makhluk mitolog, dan filosofi yang diterapkan dalam hiasan.

Lewat festival ini, masyarakat adat Biak Karon belajar mengenali kembali cerita dan filosofi perahu dari tiap keret. Misalnya, keret Mayor yang dihiasi kepala laki-laki dan perempuan di kedua ujung perahu mereka. Ada ujung tombak di dalam perahu mereka, menandakan Mayor sebagai keret Biak yang siaga dan selalu siap bertempur di laut.