"Wrecked ship menjadi potensi ekowisata," kata Awaluddinoer Ahmad, koordinator program untuk wilayah Kepala Burung Papua di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Pria yang lebih akrab dipanggil Wawan Mangile itu kerap menyelam di perairan Papua Barat Daya. "Karena wrecked ship itu, ikan-ikan banyak yang lalu-lalang di sana, dan karang tumbuh dengan bagus."
Wawan terlibat dalam pengamatan kolaborasi antara YKAN dan Universitas Papua (UNIPA) terhadap status ekologi Kampung Werur.
Laporan tahun 2022 itu mengungkapkan kawasan perairan Kampung Werur memiliki pertumbuhan karang yang tinggi dengan 51,19 persen. Kualitas air laut memiliki suhu yang mengundang biota laut. Koral dan lamun tumbuh dengan baik.
12.000 hektare perairan Pulau Dua dan Satu telah ditetapkan sebagai kawasan pengelolaan wilayah laut berbasis masyarakat hukum adat (MHA) Biak Karon. Penetapannya berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 13 tahun 2019.
Baca Juga: Buka Sasi di Kampung Folley, Raja Ampat: Tradisi demi Laut Lestari
Baca Juga: Hasil Buka Sasi Kelompok Perempuan Rajaampat: Panen Besar Biota Laut
Baca Juga: Wilayah Adat dan Kawasan Lindung: Kunci Konservasi Hutan Amazon Brasil
Baca Juga: Pesisir Pulau Kolepom, Benteng Konservasi Perairan Pertama di Papua Selatan
Hans Mambrasar, salah satu tetua adat Biak Karon mengungkapkan bahwa sasi diberlakukan pada 12.000 hektare kawasan ini. Biota laut yang disasi antara lain siput lola dan mata bulan, udang, teripang, kelelawar, penyu, karang, ikan duyung, paus dan lumba-lumba.
Ketika sasi dibuka, ikan dan sebagian dari biota laut di atas ditangkap masyarakat sebagai sumber penghidupan tambahan. Biota lainnya seperti paus, lumba-lumba, karang, dan penyu, dijadikan sasi permanen.
"Kalau tidak disasi, ini punah," kata Hans. "Ada hukum adat bagi yang melanggar berupa sanksi sosial berupa denda dan sanksi alam (karma), atau diberi denda adat gelang atau piring porselen atau uang. Semua diputuskan oleh dewan adat. Kami akan melakukan proses hukum (di pengadilan) jika menolak."