Festival Munara Beba: Usaha Pelestarian Adat Biak Karon & Alam Lautnya

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 4 April 2023 | 10:00 WIB
Masyarakat adat Biak Karon melakukan tarian pembuka menjelang pembukaan Festival Munara Beba Byak Karon. Festival ini berisi rangkaian adat untuk mengingat kembali tradisi orang Biak yang nyaris terlupakan generasi muda, sekaligus melindungi alam bawah laut. (Garry Lotulung)

Masing-masing keret harus berlomba adu cepat di perairan Sausapor. Perlombaan tersebut berlangsung pada 21 Maret 2023 dan dimenangkan oleh keret Mirino dengan perahu mereka bernama Manswan.

Edison Mirino, ketua keret Mirino menjelaskan bahwa di setiap ujung perahunya dipasangkan bulu kasuari. "Tanda ini punya arti bahwa Manswan adalah perahu perang dan berani," tuturnya. Manswan sendiri adalah nama burung yang menjadi simbol Mirino.

Di dalam perahu ada tameng dan pinang. "Artinya siap berperang. Kalau lelah (mendayung) harus makan pinang. Pinang adalah makanan yang harus dibawa ke mana-mana: acara adat, kumpul-kumpul, termasuk mendayung perahu ini," lanjut Edison.

Perahu Manswan miliki keret Mirino suku Biak Karon di Tambrauw berhadapan dengan keret lainnya dalam lomba balap perahu. Perlombaan ini bagian rangkaian dari Festival Munara Beba Byak Karon 22-25 Maret 2023. (Garry Lotulung)

Festival adat lindungi laut

Upaya melindungi laut tidak hanya dengan jargon. Masyarakat Biak Karon (Bikar), melalui festival itu, menyelenggarakan upacara adat tutup sasi pertama mereka pada hari terakhir. Upacara adat tutup sasi dilaksanakan di Pulau Dua dengan tokoh agama, perwakilan adat, dan tetua tiap keret.

Pulau Dua atau dalam bahasa Bikar disebut Miossu, berada di perairan Pasifik dengan jarak 30 menit menggunakan perahu dari Kampung Werur. Pulau ini berpasangan dengan Pulau Satu. 

Sejak awal, masyarakat menjadikan kedua pulau sebagai tempat keramat. Jarang ada pemukim di sini, kalaupun ada sudah terbengkalai. Pulau ini sering disambangi masyarakat sebagai tempat persinggahan nelayan.

Masyarakat di Werur percaya, bahwa pulau ini dijaga makhluk halus seperti suanggi--Mitos yang umum diceritakan di Indonesia Timur. Konon, menurut warga, suanggi sering mengganggu penduduk dan menculik manusia. Oleh karena itu, masyarakat dan kalangan adat mengatur agar kedua pulau ini terjaga keasriannya.

Pada era kolonialisme Belanda, kedua pulau disebut sebagai Amsterdam dan Middleburg. Saat Perang Dunia II pecah, kedua pulau menjadi salah satu tempat pertahanan Sekutu menghadapi Jepang.

Ada banyak peninggalan Perang Dunia II ditemukan di Tambrauw, terutama di Kampung Werur dan War. Beberapa di antaranya seperti peluru senapan dan artileri, helm tentara, botol minum, alat makan, dan tank. Sementara di bawah laut dekat Pulau Satu dan Dua, terdapat kapal Sekutu yang tenggelam.

Tinus, penjaga kawasan peninggalan Sekutu di Tambrauw melihat sisa kendaraan LVT pengangkut tentara yang dipakai Sekutu untuk menghadapi Jepang dalam Perang Dunia II. (Garry Lotulung)