Nationalgeographic.co.id—Bagi orang adat Biak Karon di Kampung Werur dan Sausapor, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, menapaki jejak istiadat nenek moyang diperlukan. Akan tetapi, kebudayaan Biak di sana nyaris terlupakan, bahkan bagi generasi tua.
Oleh karena itu, melalui Festival Munara Beba Byak-Karon tanggal 22-25 Maret 2023, mereka menarik kembali kebiasaan tradisi leluhur mereka. "Untuk mempertahankan, kalangan adat dari (Pulau) Biak didatangkan langsung untuk mengenalkan kebudayaannya kembali," kata Yonathan Yappen.
Yonathan adalah ketua panitia festival, sekaligus tetua keret (marga) Yappen. Saya menjumpainya di dapur umum keret Yappen, tidak jauh dari tempat festival diselenggarakan. Para ibu disibukkan dengan membakar ikan untuk santapan bersama, dan para bapak bersiap untuk tarian festival untuk mewakilkan masing-masing keret.
Festival ini perdana bagi orang Biak Karon. Selain untuk melestarikan kebudayaan Biak, festival ini bertujuan untuk melestarikan alam laut dari kerusakan. Bahkan, saat saya berjalan-jalan di sekitar panggung festival di pesisir Kampung Werur, terdapat tempat berswafoto bertuliskan "Pesat Adat Lindungi Laut" dengan latar belakang Samudra Pasifik.
Festival tersebut diselenggarakan mandiri oleh orang Biak Karon bersama warga lainnya di sekitar Werur dan Sausapor.
Siang di hari pertama itu, acara dimulai dengan tarian selebrasi dan yel-yel dari tiap keret. Namun yang lebih menarik, pembukaan dilanjutkan dilanjutkan dengan tarian muda-mudi usia belasan tahun dari Sausapor dan Werur. Tarian mereka menceritakan asal-usul orang Biak Karon bisa hadir di sini.
Diceritakan bahwa 'karon' adalah istilah orang Biak untuk menyebut seluruh pantai utara Kabupaten Tambrauw, yang secara harfiah berarti ombak. "Tanah Karon sendiri adalah kawasan yang selalu disinggahi orang Biak dalam perjalanan pulang-pergi Biak-Raja Ampat," tutur Harold Maran, pendeta Kampung Werwaf, Distrik Bikar.
Orang Biak kerap disebut sebagai "viking dari Papua". Hal itu disebabkan keahlian dan ketangguhan mereka menjelajahi lautan sebagai pedagang, bajak laut, dan militer di laut. Diperkirakan orang Biak di Tambrauw sudah menetap sejak abad ke-16.
Perpindahan itu berangsur-angsur dari masa ke masa. Salah satu alasannya adalah pertikaian di Pulau Biak akibat perselisihan pengaruh antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Singkatnya, terbentuk masyarakat Biak Karon dengan enam keret: Mambrasar, Yappen, Paraibabo, Mar, Mayor, dan Mirino. Mereka hidup berdampingan dengan beberapa suku asli di sana.
Masing-masing keret mempunyai identitas perahunya masing-masing dalam cerita perpindahan ke Tambrauw. Perahu mereka beragam dengan simbol, makhluk mitolog, dan filosofi yang diterapkan dalam hiasan.
Lewat festival ini, masyarakat adat Biak Karon belajar mengenali kembali cerita dan filosofi perahu dari tiap keret. Misalnya, keret Mayor yang dihiasi kepala laki-laki dan perempuan di kedua ujung perahu mereka. Ada ujung tombak di dalam perahu mereka, menandakan Mayor sebagai keret Biak yang siaga dan selalu siap bertempur di laut.
Masing-masing keret harus berlomba adu cepat di perairan Sausapor. Perlombaan tersebut berlangsung pada 21 Maret 2023 dan dimenangkan oleh keret Mirino dengan perahu mereka bernama Manswan.
Edison Mirino, ketua keret Mirino menjelaskan bahwa di setiap ujung perahunya dipasangkan bulu kasuari. "Tanda ini punya arti bahwa Manswan adalah perahu perang dan berani," tuturnya. Manswan sendiri adalah nama burung yang menjadi simbol Mirino.
Di dalam perahu ada tameng dan pinang. "Artinya siap berperang. Kalau lelah (mendayung) harus makan pinang. Pinang adalah makanan yang harus dibawa ke mana-mana: acara adat, kumpul-kumpul, termasuk mendayung perahu ini," lanjut Edison.
Festival adat lindungi laut
Upaya melindungi laut tidak hanya dengan jargon. Masyarakat Biak Karon (Bikar), melalui festival itu, menyelenggarakan upacara adat tutup sasi pertama mereka pada hari terakhir. Upacara adat tutup sasi dilaksanakan di Pulau Dua dengan tokoh agama, perwakilan adat, dan tetua tiap keret.
Pulau Dua atau dalam bahasa Bikar disebut Miossu, berada di perairan Pasifik dengan jarak 30 menit menggunakan perahu dari Kampung Werur. Pulau ini berpasangan dengan Pulau Satu.
Sejak awal, masyarakat menjadikan kedua pulau sebagai tempat keramat. Jarang ada pemukim di sini, kalaupun ada sudah terbengkalai. Pulau ini sering disambangi masyarakat sebagai tempat persinggahan nelayan.
Masyarakat di Werur percaya, bahwa pulau ini dijaga makhluk halus seperti suanggi--Mitos yang umum diceritakan di Indonesia Timur. Konon, menurut warga, suanggi sering mengganggu penduduk dan menculik manusia. Oleh karena itu, masyarakat dan kalangan adat mengatur agar kedua pulau ini terjaga keasriannya.
Pada era kolonialisme Belanda, kedua pulau disebut sebagai Amsterdam dan Middleburg. Saat Perang Dunia II pecah, kedua pulau menjadi salah satu tempat pertahanan Sekutu menghadapi Jepang.
Ada banyak peninggalan Perang Dunia II ditemukan di Tambrauw, terutama di Kampung Werur dan War. Beberapa di antaranya seperti peluru senapan dan artileri, helm tentara, botol minum, alat makan, dan tank. Sementara di bawah laut dekat Pulau Satu dan Dua, terdapat kapal Sekutu yang tenggelam.
"Wrecked ship menjadi potensi ekowisata," kata Awaluddinoer Ahmad, koordinator program untuk wilayah Kepala Burung Papua di Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Pria yang lebih akrab dipanggil Wawan Mangile itu kerap menyelam di perairan Papua Barat Daya. "Karena wrecked ship itu, ikan-ikan banyak yang lalu-lalang di sana, dan karang tumbuh dengan bagus."
Wawan terlibat dalam pengamatan kolaborasi antara YKAN dan Universitas Papua (UNIPA) terhadap status ekologi Kampung Werur.
Laporan tahun 2022 itu mengungkapkan kawasan perairan Kampung Werur memiliki pertumbuhan karang yang tinggi dengan 51,19 persen. Kualitas air laut memiliki suhu yang mengundang biota laut. Koral dan lamun tumbuh dengan baik.
12.000 hektare perairan Pulau Dua dan Satu telah ditetapkan sebagai kawasan pengelolaan wilayah laut berbasis masyarakat hukum adat (MHA) Biak Karon. Penetapannya berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 13 tahun 2019.
Baca Juga: Buka Sasi di Kampung Folley, Raja Ampat: Tradisi demi Laut Lestari
Baca Juga: Hasil Buka Sasi Kelompok Perempuan Rajaampat: Panen Besar Biota Laut
Baca Juga: Wilayah Adat dan Kawasan Lindung: Kunci Konservasi Hutan Amazon Brasil
Baca Juga: Pesisir Pulau Kolepom, Benteng Konservasi Perairan Pertama di Papua Selatan
Hans Mambrasar, salah satu tetua adat Biak Karon mengungkapkan bahwa sasi diberlakukan pada 12.000 hektare kawasan ini. Biota laut yang disasi antara lain siput lola dan mata bulan, udang, teripang, kelelawar, penyu, karang, ikan duyung, paus dan lumba-lumba.
Ketika sasi dibuka, ikan dan sebagian dari biota laut di atas ditangkap masyarakat sebagai sumber penghidupan tambahan. Biota lainnya seperti paus, lumba-lumba, karang, dan penyu, dijadikan sasi permanen.
"Kalau tidak disasi, ini punah," kata Hans. "Ada hukum adat bagi yang melanggar berupa sanksi sosial berupa denda dan sanksi alam (karma), atau diberi denda adat gelang atau piring porselen atau uang. Semua diputuskan oleh dewan adat. Kami akan melakukan proses hukum (di pengadilan) jika menolak."