Nationalgeographic.co.id—Studi baru dari ilmuwan University of Auckland menemukan bahwa silaturahmi, hubungan sosial dan pengalaman positifnya dapat memengaruhi cara tubuh berfungsi. Perasaan tentang hubungan dekat dengan orang lain dikaitkan dengan kesehatan fisik lebih baik.
Studi skala kecil sebelumnya telah meneliti hubungan antara konflik hubungan atau kepuasan dengan tingkat stres dan tekanan darah. Hubungan sosial memengaruhi kesehatan fisik, namun masih ada pertanyaan mengenai sifat asosiasi ini.
Studi tersebut telah diterbitkan di Social Psychological and Personality Science dengan judul "The Good, the Bad, and the Variable: Examining Stress and Blood Pressure Responses to Close Relationships."
Misalnya, ketika datang untuk memprediksi proses yang relevan dengan kesehatan dalam kehidupan sehari-hari, beberapa penelitian telah meneliti kepentingan relatif dari pengalaman relasional positif dan negatif. Kemudian variabilitas dalam pengalaman relasional (selain tingkat rata-rata).
Bagaimana hubungan dekat mempengaruhi kesehatan fisik? Ahli teori menyarankan bahwa aspek positif dan negatif dari hubungan silaturahmi menimbulkan perubahan psikologis dan fisiologis, yang dapat terakumulasi menjadi konsekuensi kesehatan fisik jangka panjang.
Beberapa penelitian sebelumnya memang telah mendokumentasikan bahwa aspek kunci dari hubungan berkontribusi pada proses psikologis dan biologis proksimal (misalnya, stres, regulasi emosi, dan fungsi imunologi dan kardiovaskular).
Sementara itu, penelitian baru ini meneliti efek pengalaman hubungan positif dan negatif pada tubuh, serta bagaimana pengalaman dan hasil kesehatan ini berubah dari hari ke hari.
"Pengalaman positif dan negatif dalam hubungan kita berkontribusi pada stres, koping, dan fisiologi kita sehari-hari, seperti tekanan darah dan reaktivitas detak jantung," kata penulis utama Brian Don dari University of Auckland.
"Selain itu, bukan hanya bagaimana perasaan kita tentang hubungan kita secara keseluruhan yang penting, dinamika dalam hubungan juga penting."
Pada penelitian ini, selama tiga minggu, 4.005 peserta menyelesaikan check-in harian melalui smartphone atau jam tangan pintar mereka, memberikan penilaian tekanan darah, detak jantung, stres, dan bagaimana mereka menyelesaikan masalah.
"Untuk mengatasi kesenjangan ini, kami melakukan studi harian yang meneliti hubungan, stres, dan fisiologi dalam kehidupan sehari-hari. Detak jantung dan tekanan darah dinilai menggunakan sensor optik dan terintegrasi dengan studi berbasis aplikasi," tulis peneliti.
Setiap tiga hari, peserta juga berbagi refleksi tentang hubungan terdekat mereka, merinci pengalaman positif dan negatif mereka.
Para peneliti menemukan bahwa, rata-rata, orang dengan lebih banyak pengalaman positif dalam silaturahmi dan lebih sedikit pengalaman negatif melaporkan stres yang lebih rendah.
Tidak hanya itu, mereka juga melaporkan penanganan yang lebih baik, dan reaktivitas tekanan darah sistolik yang lebih rendah yang mengarah ke fungsi fisiologis yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, variabilitas, atau pasang surut harian, dalam pengalaman hubungan negatif seperti konflik sangat memprediksi hasil seperti stres, penyelesaian masalah dan tekanan darah sistolik secara keseluruhan.
Hasil menunjukkan bahwa tingkat rata-rata yang lebih tinggi dari pengalaman relasional negatif yang positif dan tingkat rata-rata yang lebih rendah memprediksi stres yang lebih rendah.
Kemudian penanganan yang lebih baik, dan fungsi fisiologis yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari, seperti reaktivitas tekanan darah sistolik yang lebih rendah.
Don mencatat bahwa satu implikasi yang lebih luas dari penelitian ini adalah bahwa penting untuk mempertimbangkan bagaimana penyebab stres dari luar, seperti pandemi COVID-19, dapat memengaruhi hubungan orang-orang, dan karenanya kesehatan fisik mereka.
"Sejak pandemi COVID-19, hubungan menghadapi tantangan, turbulensi, dan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Don.
Artinya, pandemi COVID mungkin memiliki implikasi kesehatan bukan hanya karena virus itu sendiri, tetapi juga secara tidak langsung sebagai akibat dari dampaknya terhadap hubungan orang.
Artinya, karena pandemi COVID-19 telah menimbulkan ketegangan yang cukup besar, turbulensi, dan variabilitas dalam hubungan silaturahmi, secara tidak langsung dapat mengubah stres, penyelesaian masalah dan fisiologi dalam kehidupan sehari-hari, yang semuanya memiliki implikasi penting untuk kesejahteraan fisik.
Para peneliti memperingatkan untuk tidak menafsirkan studi tersebut sebagai bukti bahwa pengalaman hubungan memiliki efek fisiologis.
Baca Juga: Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara
Baca Juga: Tradisi Ottoman dalam Merayakan Akhir Ramadan dan Momen Lebaran
Baca Juga: Jadikan Lebaran Momen untuk Memaafkan dan Rasakan Manfaatnya
Baca Juga: Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara
"Sebaliknya, temuan tersebut mengandung asosiasi dari kehidupan sehari-hari yang menggambarkan bagaimana hubungan dan kesehatan fisik sering terjalin. Kesimpulan kausal," kata Don, harus disediakan untuk studi eksperimental.
Di masa mendatang, Don menyarankan agar para peneliti melihat lebih jauh hasil seperti tekanan darah dan reaktivitas detak jantung untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap tentang bagaimana hubungan dapat memengaruhi kesehatan tubuh.
"Akan berguna untuk memeriksa keadaan fisiologis lainnya, seperti neuroendokrin atau respons sistem saraf simpatik sebagai hasil dari pengalaman hubungan positif dan negatif setiap hari, yang dapat mengungkapkan pola asosiasi yang berbeda."
Variabilitas yang lebih besar dalam pengalaman relasional negatif (tetapi tidak positif) memprediksi stres yang lebih rendah, koping yang lebih baik, dan reaktivitas tekanan darah sistolik yang lebih rendah.
Pada akhirnya, hubungan silaturahmi, hubungan sosial yang lebih baik dan kesehatan fisik masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dan masih menyimpan pertanyaan luar biasa.