Praktik Sati, ketika Janda di India Bakar Diri setelah Kematian Suami

By Sysilia Tanhati, Jumat, 7 April 2023 | 10:00 WIB
Dalam praktik Sati di India, seorang janda yang ditinggal mati harus membakar di tumpukan kayu kremasi sang suami. (Wellcome Images)

Nationalgeographic.co.id—Di masa lalu, wanita India yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri di atas tumpukan kayu kremasi sang suami. Dikenal dengan sebutan Sati, praktik ini menjadi salah satu masalah paling kontroversial dan emosional dalam budaya Asia Selatan. Dianggap sebagai ritual yang sakral, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai tindakan kekerasan yang biadab terhadap wanita.

Praktik Sati telah dilarang berulang kali selama berabad-abad, tetapi tidak pernah hilang sepenuhnya.

Memahami arti praktik bakar diri seorang janda di India

Ada beberapa jenis praktik Sati. Semula, Sati merujuk pada seorang wanita yang melakukan tindakan membakar diri setelah kematian suaminya. Kata Sati berasal dari kata Sanskerta sasti, yang diterjemahkan sebagai dia murni atau benar.

Dalam mitologi Hindu, Sati adalah seorang dewi yang menikah dengan Dewa Siwa. Dalam mitos, ayah Sati tidak pernah menyetujui pernikahan tersebut dan membenci Siwa. Sati, dalam tindakan pemberontakan, membakar dirinya sebagai protes atas penghinaan ayahnya terhadap suaminya. Saat terbakar, Sati berdoa untuk dilahirkan kembali sebagai istri Siwa dan ia pun terlahir kembali sebagai Parvati.

Umat ​​Hindu awal memandang mitos ini sebagai pembenaran untuk praktik Sati, meskipun sang dewi bukan seorang janda. “Secara historis, ada dua jenis utama Sati; sukarela dan terpaksa,” kata Robbie Mitchell di laman Ancient Origins. Dalam adat Hindu kuno, Sati melambangkan penutupan sebuah pernikahan. Dengan mengorbankan diri, istri mengikuti suaminya ke kehidupan selanjutnya dalam tindakan pengabdian dan kesetiaan tertinggi.

Namun tidak setiap istri ingin melompat ke tumpukan kayu pemakaman bersama suaminya. Seiring waktu, wanita yang menolak melakukannya dengan sukarela dipaksa mati bersama suami. Orang menggunakan alasan agama untuk melakukan Sati paksa (atau pembunuhan), tetapi ada fakta di balik pemaksaan itu. Secara tradisional, janda tidak memiliki peran dalam masyarakat dan dipandang sebagai beban jika tidak memiliki anak untuk mendukungnya.

Beragam jenis eksekusi Sati dalam budaya Hindu

Ada berbagai kisah yang memberi tahu kita bagaimana Sati dilakukan dari waktu ke waktu. Kebanyakan dari praktik itu melibatkan pembakaran. Biasanya, wanita duduk di tumpukan kayu pemakaman suaminya atau berbaring di samping jasad.

Dalam beberapa kisah, tumpukan kayu dinyalakan terlebih dahulu dan kemudian janda itu berjalan atau melompat ke dalam api. Yang lainnya, janda itu duduk di atas tumpukan kayu dan kemudian menyalakannya sendiri. Praktiknya juga bisa berbeda dari satu daerah ke daerah lain.

Dalam mitologi Hindu, Sati adalah seorang dewi yang menikah dengan Dewa Siwa. Ia membakar diri sebagai tindakan protes pada sang ayah yang membenci suaminya. (Sunity Devee)

Penjelajah abad ke-17 Jean Baptiste Tavernier mengeklaim bahwa di beberapa daerah dia melihat orang membangun gubuk kecil. Almarhum suami dan jandanya ditempatkan di dalam gubuk ini dan kemudian dibakar. Di daerah lain, tercatat ada lubang yang digali kemudian diisi suami yang dikelilingi bahan mudah terbakar. Saat dibakar, wanita yang ditinggal mati kemudian melompat ke kobaran api di lubang.

Ada juga beberapa metode yang tidak terlalu menyiksa. Kadang-kadang janda diperbolehkan meminum racun sebelum dia dibakar. Kadang-kadang wanita membiarkan dirinya digigit ular atau melukai tenggorokan dan pergelangan tangannya sebelum melompat ke dalam api.

Kapan praktik Sati dimulai?

Ada banyak perdebatan tentang kapan praktik Sati seperti yang dikenal saat ini dimulai. Ada beberapa bukti bahwa tindakan pembakaran janda di Asia Selatan sudah berlangsung ribuan tahun. Karena itu, sangat sedikit sumber terpercaya yang menyebutkan Sati secara khusus sebelum tahun 400 Masehi.

Sejarawan Yunani Aristobulus dari Cassandreia adalah sumber terpercaya paling awal yang menyebutkan Sati. Setelah melakukan perjalanan ke India bersama Alexander Agung pada tahun 327 SM, dia menulis tentang kebiasaan setempat. Salah satunya tentang istri yang membakar diri bersama suaminya. Cicero, Nicolaus dari Damaskus, dan Diodorus semuanya juga menggambarkan contoh bakar diri yang serupa.

Sebagian besar sejarawan setuju bahwa Sati diperkenalkan ke masyarakat India antara tahun 400 dan 500 Masehi. Kemudian mencapai puncaknya pada sekitar 1000 Masehi. Menurut salah satu sejarawan, Dehejia, Sati awalnya dimulai di kalangan bangsawan kesatria sebelum menyebar ke kasta lain.

Praktik tersebut kemudian mulai menyebar lebih cepat selama periode abad pertengahan. Sati awalnya dipraktikkan oleh kasta yang lebih tinggi. Namun kasta yang lebih rendah mulai mempraktikkannya dengan harapan meniru apa yang dianggap lebih baik.

Beberapa sejarawan juga percaya bahwa seiring berjalannya waktu Sati digabungkan dengan praktik lain yang dikenal sebagai Jauhar. Jauhar adalah salah satu bentuk pengorbanan diri yang dilakukan oleh para wanita bangsawan pada masa perang. Itu adalah cara untuk menjaga kehormatan mereka saat menghadapi kekalahan. Jauhar secara tradisional dipraktikkan oleh kasta yang tinggi namun kemudian akhirnya menyebar.

Setelah mencapai puncaknya sekitar tahun 1000 M, praktik Sati perlahan-lahan mulai berkurang lagi. Proses ini dipercepat selama Kekaisaran Mughal antara tahun 1526 dan 1857. Kaisar Akbar dikatakan sangat anti-Sati. Ia mengungkapkan rasa hormatnya kepada para janda yang ingin dikremasi bersama almarhum suaminya. Tapi kaisar merasa bahwa membakar diri sendiri adalah cara yang salah untuk menghormati pasangan yang meninggal.

Larangan Sati pertama yang sebenarnya datang di bawah Kaisar Aurangzeb, yang mengeluarkan perintah pada tahun 1663. Aturan itu menyatakan bahwa di wilayah Mughal, pejabat tidak boleh lagi membiarkan seorang wanita dibakar.

Setelah pelarangan, Sati menjadi sangat langka. Kecuali dalam kasus keluarga yang cukup kaya untuk menyuap pejabat setempat agar mengizinkan mereka melakukannya.

Sati juga ditentang oleh pemerintah kolonial dan gereja. Masalahnya adalah bahwa tidak semua umat Hindu senang diberitahu soal apa yang harus dilakukan oleh orang asing. Akibatnya, terjadi peningkatan kasus Sati. Antara tahun 1815 dan 1818 kematian akibat Sati berlipat ganda. “Banyak umat Hindu India melihatnya sebagai serangan terhadap tradisi dan cara hidup mereka,” Mitchell menambahkan.

Seiring dengan berjalannya waktu, praktik Sati dilarang keras di semua negara bagian India.

Dilarang namun tidak hilang sepenuhnya

Selama tahun-tahun berikutnya, opini publik di India telah berbalik melawan Sati dan jumlah kasus Sati berkurang. Sayangnya, bukan berarti Sati menghilang sepenuhnya. Pada tahun 1987, misalnya, seorang janda berusia 18 tahun bernama Roop Kanwar dibakar hidup-hidup di desa Deorala. Beberapa ribu orang berkumpul untuk menyaksikannya terbakar, menyatakannya sebagai istri yang berbakti.

Peristiwa ini menyebabkan protes publik besar-besaran, memaksa pemerintah India untuk memberlakukan Ordonansi Pencegahan Sati Rajasthan pada 1 Oktober 1987. Kemudian pada tahun yang sama, Undang-undang Pencegahan disahkan. Ini membuatnya ilegal untuk mendukung, memuliakan, atau melakukan Sati. Memaksa seseorang untuk melakukan Sati sekarang dapat dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup. “Memuliakan Sati juga dapat menyebabkan seseorang dipenjara selama 7 tahun,” ujar Mitchell.

Baca Juga: Mengintip Kehidupan Janda di India, Terasingkan Hingga Dianggap Sial

Baca Juga: Selidik Janda yang Kehilangan Dukungan Sosial dan Risiko Depresi

Baca Juga: Inilah Kota Vrindavan India, Tempat Tinggal Para Janda Terlantar

Baca Juga: Stigma Janda Muda dalam Tembok Kota Batavia 

Pada tahun-tahun setelah pelarangan kembali Sati, ada beberapa kasus yang lebih terkenal. Sementara beberapa ahli mencoba untuk melabeli mereka sebagai contoh penyakit mental dan bunuh diri.

Siapa yang terbebas dari pelaksanaan praktik Sati?

Ada unsur kasta dan agama dalam praktik Sati. Aturan pertama Sati menyatakan bahwa setiap janda yang sedang hamil, menstruasi, atau mengasuh anak kecil dilarang melakukan Sati. “Dipercaya juga bahwa wanita yang meninggal melalui Sati meninggal dalam keadaan suci,” tambah Mitchell. Ini memberi mereka bonus karma dan menjamin kehidupan selanjutnya yang lebih baik.

Sebaliknya, wanita dari kasta tertinggi, Brahmana, biasanya dibebaskan dari Sati. Sebagai kasta tertinggi, karma mereka sudah mencapai batas maksimal. Artinya mereka tidak dapat memperoleh manfaat dari Sati sehingga tidak perlu melakukannya.

Praktik Sati telah menjadi topik kontroversi selama berabad-abad dalam budaya Asia Selatan. Beberapa orang melihatnya sebagai tradisi suci dan simbol pengabdian seorang wanita kepada suaminya. Yang lain melihatnya sebagai manifestasi brutal dari penindasan patriarkal di India.

Meskipun kita harus menghormati budaya dan adat istiadat orang lain, sulit untuk menyetujui praktik Sati di dunia modern.