Pendengung Tiongkok Kuno Yakinkan Dunia untuk Minum Teh, Bukan Dimakan

By Sysilia Tanhati, Kamis, 6 April 2023 | 13:29 WIB
Influencer Tiongkok Kuno Lu Yu meyakinkan dunia untuk minum teh alih-alih memakannya dengan campuran bahan lain. Berkat pengaruhnya, teh kini menjadi minuman kesukaan banyak orang. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Tahun 700-an, Lu Yu pertama kali mencicipi sup teh. Tidak terkesan dengan rasanya, ia menyebut sup itu sebagai air parit. Seiring berjalannya waktu, Lu Yu menjadi seorang pendengung (influencer) Tiongkok kuno yang meyakinkan dunia untuk meminum teh, alih-alih memakannya.

Yang mengganggu Lu Yu bukanlah tehnya, tapi bahan lain yang digunakan untuk membuat sup tersebut. Sup itu mengandung teh, daun bawang, jahe, jujube, kulit jeruk, beri, dan min. Semua bahan itu ditumbuk kemudian dimasak untuk membuat pasta yang halus. “Hasilnya adalah sup kental atau saus,” tulis Miranda Brown di laman Atlas Obscura.

Faktanya, Lu Yu sangat menyukai teh. Ia bahkan menjadi “dewa teh” dan pemberi pengaruh teh terhebat di dunia. Tapi teh yang dia sukai—yang diseduh dari daun teh, tanpa penyedap rasa lainnya—baru ditemukan belakangan.

Awalnya teh dimakan, bukan diminum

Orang-orang di Asia memakan daun teh selama berabad-abad sebelum berpikir untuk meminumnya. Dan Lu Yu-lah yang terutama berperan menjadikan minum teh sebagai norma bagi kebanyakan orang di seluruh dunia.

Kebiasaan kuno makan teh berasal dari hutan yang membentang di perbatasan barat Tiongkok dengan Burma. Hal itu diungkap oleh George Van Driem, penulis Tale of Tea: A Comprehensive History of Tea: From Prehistoric Times to the Present Day. Daerah itu juga dikenal sebagai Himalaya Timur. Wilayah tropis yang rimbun ini adalah rumah bagi masyarakat non-Tiongkok dan pohon teh liar.

Ribuan tahun yang lalu, penghuni hutan menemukan khasiat daun teh yang memberi energi dengan mengunyahnya mentah-mentah. Ini mendorong mereka untuk memanjat pohon-pohon tinggi di alam liar dan memanen daunnya. Seiring dengan berjalannya waktu, orang menemukan cara memfermentasi daun, yang dikunyah seperti sirih atau ditambahkan ke sup dan sayuran.

Acar daun teh menjadi masakan Burma yang fenomenal, lahpet thoke. (ReflectedSerendipity)

Orang Tiongkok kuno mengadaptasi kebiasaan mengonsumsi teh beberapa saat setelah penguasanya menganeksasi bagian Himalaya Timur. Tak lama kemudian, mereka menggunakan teh untuk meningkatkan konsentrasi mereka. Misalnya, Hua Tuo, seorang tabib legendaris yang hidup di akhir abad kedua Masehi. Ia menulis, “Makan daun pahit baik untuk menajamkan pikiran jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama.”

Kegunaan teh bagi orang Tiongkok kuno, lebih dari sekadar obat

“Tapi bagi orang Tiongkok kuno, teh lebih dari obat; mereka juga memanfaatkannya sebagai bahan masakan,” tambah brown. Daun teh yang segar dan lembut direbus dalam panci dengan nasi dan air untuk membuat bubur. Bubur sangat populer di bulan-bulan musim panas yang terik. Ini tidak hanya merangsang tubuh, tetapi juga dipercaya bisa menghilangkan panas.

Makanan dengan teh juga bisa ditemukan di mana-mana di pedalaman Tiongkok yang terkurung daratan.

Zhang Yi, seorang sarjana abad ketiga, menggambarkan sup berkafein seperti sup yang dibenci Lu Yu itu. Penduduk setempat mencampur daun teh yang difermentasi dengan pasta beras untuk membuat balok. Itu kemudian dipanggang sampai berwarna cokelat dan ditumbuk menjadi bubuk. Sebagai sentuhan akhir, mereka menyiramkan air mendidih dan menambahkan daun bawang, irisan jahe, dan kulit jeruk.

Hidangan seperti itu rupanya menuai tinjauan yang beragam. Pi Rixiu, seorang penyair abad ke-9, mengeluhkan bahwa tehnya berlumpur dengan bahan-bahan lain. Dia juga menyindir bahwa mengonsumsinya seperti mengunyah sayuran rebus.

Transformasi teh, dari makanan berkuah menjadi minuman favorit

Jika Anda belum pernah melihat sup teh di menu Tiongkok modern, berterima kasihlah kepada Lu Yu. Ketika Lu Yu memiliki waktu luang dari menulis, dia sibuk menjelajahi hutan untuk mencari daun teh terbaik dan minuman yang sempurna. Minuman itu disajikan untuk teman-temannya. Pencinta teh abad pertengahan juga memiliki andil besar dalam transformasi teh dari makanan berkuah menjadi minuman.

Lu Yu bukanlah orang pertama yang memasukkan daun teh atau melarutkan bubuk teh ke dalam air panas. Orang-orang telah menyiapkan teh dengan cara ini selama berabad-abad dan teh sangat melimpah di biara-biara Buddha pada masanya. Para biksu menganggap minuman itu sangat diperlukan untuk mendukung sesi meditasi maraton mereka, yang sering mereka lakukan dengan perut kosong.

Lu Yu mungkin mengambil kebiasaan minum teh langsung dari biksu Buddha yang membesarkannya. Namun pada tahun 760-an, Lu Yu menyusun Tea Classic, sebuah risalah singkat tentang produksi dan persiapan daun teh. Di dalamnya, dia memuji kualitas menakjubkan dari minuman murni.

James Benn, penulis Tea in China: A Cultural and Religious History, mengatakan preferensi Lu Yu muncul dari keyakinannya bahwa daun itu adalah ramuan. Lu Yu berpikir bahwa sifat magis teh akan berkurang jika dicampur dengan bahan-bahan yang lebih biasa seperti nasi. Jadi dia bersikeras agar teh dikonsumsi hanya dengan air dan sedikit garam (untuk meningkatkan rasanya). Lu Yu juga tidak menyukai bubur teh atau sup.

Ketika mencoba masakan dengan daun teh, Lu Yu menyebutnya sebagai air parit. (Public Domain)

Untuk meyakinkan pembacanya agar membuang bahan tambahan, Lu Yu menjelaskan cara memastikan minuman yang bisa dinikmati sendiri. Sebagai contoh, dia menekankan pentingnya memperoleh mata air murni dan bubuk teh yang halus. Juga menggunakan peralatan berkualitas tinggi seperti tungku pembakaran arang. Menghilangkan salah satu dari langkah-langkah ini, Lu Yu memperingatkan, akan merusak rasa minuman. Alhasil, akan menghasilkan rasa yang lemah.

Jika disiapkan dengan cermat, teh biasa menjadi nikmat tiada tara. Bagi Lu Yu, kenikmatannya sebanding dengan mentega terbaik atau bir embun manis yang dimurnikan.

The Tea Classic tidak hanya memicu kegemaran akan daun, tetapi membuat Lu Yu menjadi sangat terkenal. Lu Yu dan tulisannya menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejaknya dalam menikmati teh. Dalam waktu setengah abad, jasa Lu Yu pada budaya teh Tiongkok terlihat jelas. Penjual teh akan membuat patung tembikar yang mirip dengannya. Mereka memuja Lu Yu sebagai pelindung para penjual teh.

Bagaimana Lu Yu bisa menjadi seorang pendengung teh dari Tiongkok kuno?

Kesuksesan Tea Classic yang luar biasa mencerminkan bakat pengarangnya untuk berjejaring. Bakat Lu Yu sebagai pelawak dan kegemarannya untuk mempromosikan diri membuatnya mendapatkan pendukung yang kuat.

Saat bekerja sebagai badut, Lu Yu yang berusia 14 tahun mendapat keberuntungan pertamanya. Setelah menyaksikan Lu Yu tampil, seorang gubernur menawarkan pendidikan kepadanya. Pada saat dia menulis karya besarnya pada tahun 760-an, Lu Yu menjalin hubungan dengan pejabat yang kuat, teolog Buddha dan Tao, ahli kaligrafi, dan penyair terkemuka. Koneksi ini memberinya pengaruh luar biasa kelak.

Tea Classic juga mendapat manfaat dari pengaturan waktu yang tepat. Benn menunjukkan bahwa penyusunan karya Lu Yu ini bertepatan dengan Pemberontakan An Lushan. Itu adalah pemberontakan yang hampir menghancurkan Dinasti Tang yang perkasa di Kekaisaran Tiongkok.

Sebagai akibatnya, kelas penguasa yang berpesta keras menjadi sadar. Karya Lu Yu, Tea Classic, meyakinkan orang kaya dan penguasa bahwa daun teh menawarkan alternatif sehat dan elegan.

Risalah Lu juga meyakinkan kelas penguasa Tiongkok kuno untuk menolak sup dan bubur berkafein. Misalnya, Su Che, seorang pejabat dan penulis esai terkenal, membuang ramuan teh pedas pada akhir abad ke-11. “Teh yang dikonsumsi orang udik utara,” ejeknya, “tidak memiliki kualitas penebusan, karena garam, yoghurt, jahe, dan merica menguasai mulut.”

Pengaruh Lu Yu menyebar jauh ke luar Tiongkok. Di Jepang, misalnya, meminum minuman bersahaja populer selama berabad-abad. Ini berkat biksu Jepang, yang sering mengunjungi Tiongkok antara abad ke-8 dan ke-13. Terkesan dengan budaya teh Tiongkok abad pertengahan, para biksu Buddha mengimpor biji teh dan risalah terkenal Lu Yu.

Tradisi memakan daun teh terus hidup

Sementara banyak orang kini mengenal teh hanya sebagai minuman, penduduk Himalaya Timur terus memakan daun teh. Seperti nenek moyang mereka, masyarakat suku Palaung mengukus dan membungkus teh dengan daun pisang. “Itu kemudian disimpan di lubang bawah tanah,” ujar Brown.

Baca Juga: Racikan Daun Teh Tertua Sedunia di Makam Zaman Kaisar Tiongkok

Baca Juga: Sejarah Panjang Perjalanan Tradisi Minum Teh: Dari Tiongkok ke Eropa

Baca Juga: Benarkah Teh Jadi Penyebab Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris?

Baca Juga: Upaya Inggris Mematahkan Monopoli Teh oleh Kekaisaran Tiongkok 

Setelah beberapa bulan, acar daun teh siap masuk ke lahpet thoke atau salad teh Burma yang terkenal. Suku Jino, yang tinggal di Yunnan, juga menikmati acar teh. Mereka bahkan menggunakan daun segar untuk membuat tumisan sayuran dan bubur.

Teh yang dapat dimakan juga tidak pernah hilang sama sekali dari Asia. Terlepas dari ejekan Lu Yu, orang masih mengonsumsi rebusan teh yang disebut leicha. Diterjemahkan sebagai teh tumbuk, leicha paling dikenal sebagai makanan khas Hakka.

Ini dimulai dengan membuat pasta. Teh hijau dicampur dengan bahan-bahan seperti daun bawang, jahe, mint, biji wijen, dan kemangi, lalu tambahkan air panas. Setelah menjadi saus hijau cerah, tuangkan di atas nasi dan sayuran.

Ketika masakan Hakka kian populer, rebusan berkafein ini pun makin dikenal. Kini, teh tumbuk menjadi makanan jalanan favorit di Malaysia atau Taiwan.

Teh yang dapat dimakan juga tidak pernah hilang sama sekali dari Asia. Terlepas dari ejekan Lu Yu, orang masih mengonsumsi rebusan teh yang disebut leicha. Diterjemahkan sebagai teh tumbuk, leicha paling dikenal sebagai makanan khas Hakka. (Public Domain)

Dalam beberapa tahun terakhir, rebusan berkafein ini telah menyaksikan kebangkitan kecil berkat popularitas masakan Hakka. Teh yang ditumbuk sekarang menjadi makanan jalanan favorit di Malaysia dan rasa es krim di Taiwan.

Tidak seperti Lu Yu, pecinta makanan di zaman modern tidak menganggap teh yang ditumbuk sebagai air parit. Dalam The Hakka Cookbook: Chinese Soul Food from Around the World, Linda Lau Anusasananan memuji keunikannya. “Setiap elemen taburan memberikan rasa dan tekstur yang berbeda,” tulisnya. Sausnya halus. Saat dipadukan dengan nasi beraroma bawang putih, hidangannya memuaskan dan memberi energi.

Berkat Lu Yu, si pendengung dari Tiongkok kuno, kebiasaan meminum teh pun menyebar ke seluruh dunia.