Selain itu, yang terpenting, ia juga berharap IBSAP yang baru ini memiliki kekuatan hukum yang jelas.
"Rencananya memang kita mau mendorong ini jadi Perpres (Peraturan Presiden). Kan tadi sudah ada Inpres (Intruksi Presiden) ya untuk bagaimana kita berkoordinasi untuk menghasilkan (strategi dan rencana aksi) kehati ini. Nah selama ini kan IBSAP nggak pernah ada payung hukumnya," keluh Medrilzam.
Dia membandingkan isu kehati ini yang kalah jauh dengan isu perubahan iklim. "Climate Change kan kita dulu punya RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca), sekarang punya NEK (Nilai Ekonomi Karbon), wah macam-macam lah. Lah biodiversity nggak ada. Itu yang membuat kita kesulitan selama ini."
Dengan adanya Perpres, Medrilzam berharap IBSAP ini akan jadi lebih mengikat. Dengan bergitu, kepentingan pengelolaan kehati ini akan lebih mudah untuk dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berlaku tiap lima tahun.
"Kan ujung-ujungnya nanti harus masuk dokumen perencanaan tiap lembaga dan kementerian," ujarnya.
Pada akhirnya, strategi dan rencana aksi dalam IBSAP baru bisa benar-benar dijalankan pemerintah bila kepentingan kehati ini telah dimasukkan ke dalam rencana kerja pemerintah, yang diwiujudkan dalam penganggaran program kerja terkait ini di setiap kementerian dan lembaga hingga tingkat lokal.
Terkit dengan upaya untuk membuat payung hukum bagi IBSAP baru ini, minimal berupa Perpres, Medrilzam mengaku sudah berkomunikasi dengan pihak Kantor Staf Presiden (KSP) yang menurutnya bakal mendukung ini.
Medrilzam juga berharap bahwa IBSAP yang baru nanti akan memiliki tata kelola dan penguatan kapasitas kelembagaan.
Rincinya, dokumen ini diharapkan bisa memberikan kejelasan kebijakan strategis yang harus dilakukan dalam pengelolaan kehati dan memiliki indikator utama sebagai target pencapaian para pihak dan alat ukur kinerja bersama.
Medrilzam juga berharap bahwa semua lapisan masyarakat dalam berkontribusi dalam pengelolaan kehati di Indonesia.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muh. Firdaus Agung Kunto Kurniawan, yang menjadi salah satu panelis dalam FGD I Perumusan IBSAP Pasca COP 15 CBD ini, mengatakan peran masyarakat sangatlah strategis dalan pengelolaan kehati.
"Kita semua adalah masyarakat yang memberi dampak pada biodiversitasnya, yang menerima manfaat dari biodiversitas, dan juga mungkin merusak biodiversitas," kata Firdaus Agung.
Panelis lainnya, Kepala Subdirektorat Pengawetan Spesies dan Genetik KLHK Badi'ah, menegaskan bahwa pengelolaan kehati ini tidak hanya berupa perlindungan, tetapi juga pemanfaatan secara ramah lingkungan.
"Yang namanya konservasi itu tidak hanya perlindungan, tetapi juga pemanfaatan berkelanjutan. Bahwa tidak mungkin pemanfaatan itu bisa dimanfaatkan berkelanjutan kalau si pemanfaat itu tidak memperhitungkan aspek keberlanjutannya," ujar Badi'ah.
Managing Editor National Geographic Indonesia, Mahandis Yoanata Thamrin, yang menjadi moderator dalam FGD ini, menekankan pentingnya keanekaragaman hayati bagi kehidupan manusia di bumi.
Dalam sesi penutup FGD itu, Yoanata mengutip hasil studi yang dipimpin oleh Oswald Schmitz dari Yale School of the Environment. Makalah studi itu baru saja terbit di jurnal Nature Climate Change pada 27 Maret 2023.
Yoanata mengutip hasil studi tersebut yang menawarkan solusi bijak, "Keanekaragaman hayati memperkuat ekosistem, meningkatkan ketahanannya terhadap peristiwa iklim ekstrem, dan meningkatkan kapasitasnya untuk membendung perubahan iklim."