Teks-teks kuno dari kira-kira zaman Konfusius—sekitar 2.500 tahun yang lalu—mengidentifikasi empat kebajikan bagi wanita. “Wanita harus setia dalam pernikahan, mempraktikkan ucapan yang benar, memproyeksikan penampilan seperti istri, dan rajin mengawasi pekerjaan rumah tangga.”
Baca Juga: Wanrong, Permaisuri Terakhir Kekaisaran Tiongkok yang Bernasib Tragis
Baca Juga: Cixi, Selir nan Kontroversial Jadi Ratu yang Memodernisasi Tiongkok
Baca Juga: Kosem Sultan, dari Selir Hingga Jadi Permaisuri Ottoman Haus Kekuasaan
Baca Juga: Ketika Ilmu Hitam Menghancurkan Permaisuri Chen dari Tiongkok Kuno
Permaisuri dan selir diharapkan untuk mencapai sikap yang dapat diterima yang menyeimbangkan kesopanan dan daya tarik. Rutinitas sehari-hari dalam berpakaian dan menambahkan aksesori perhiasan dianggap sebagai ungkapan pengabdian seorang istri. Lagi pula, adalah tugas istri untuk menyenangkan kaisar dan menarik perhatiannya dengan harapan melahirkan putranya.
Untuk menyempurnakan warna kulitnya, wanita kekaisaran dengan status tinggi menggunakan alat pijat untuk mengencangkan wajah mereka. Mereka juga mengoleskan bedak halus dan pemerah pipi.
Permaisuri menggunakan alat penata rambut dan sisir yang indah untuk membuat gaya rambut yang rumit. Wanita melengkapi penampilan mereka dengan jepit rambut warna-warni, anting, gelang, dan cincin yang terbuat dari bahan mewah.
Meski permaisuri mungkin mengalami pergolakan politik di kekaisaran, ia bisa menjalani kehidupan yang mewah dan nyaman.
Tergantung masanya, setiap dinasti di Kekaisaran Tiongkok memiliki cara dan kriterianya sendiri untuk memilih permaisuri yang paling tepat.