Nationalgeographic.co.id—Berdiri tegak di atas batu raksasa yang menjorok secara dramatis di atas hutan di Sri Lanka, Sigiriya memiliki pemandangan yang spektakuler.
Benteng kuno dan istana ini dibangun di abad ke-5 oleh Raja Kashyapa setelah perebutan kekuasaan yang kejam.
Namun ia bertakhta untuk waktu yang singkat dan tewas dalam pertarungan dengan sang adik.
Bagaimana nasib benteng kuno dan istana Sigiriya sepeninggal Kashyapa?
Artinya “batu singa”, Sigiriya diakses melalui lorong-lorong yang dipotong ke permukaan batu di antara sepasang cakar singa yang monumental.
Benteng tersebut kemudian ditelan oleh hutan dan hanya diketahui oleh penduduk desa setempat.
Orang luar memanfaatkan pengetahuan tentang masa lalunya, yang disimpan dalam teks Buddha, untuk mencari situs kuno tersebut.
“Sejarawan Inggris menemukan kembali reruntuhan dan lukisan dindingnya yang menakjubkan pada abad ke-19,” tulis Verónica Walker di laman National Geographic.
Benteng dan istana Sigiriya setelah Raja Kashyapa tewas
Sigiriya dibangun oleh Raja Kashyapa I dari Dinasti Maurya. Benteng yang megah itu adalah ibu kota kerajaan sampai Kashyapa dikalahkan pada tahun 495 Masehi.
Pembangunan Sigiriya memadukan fungsi dan desain. Kebutuhan akan air dan keindahan digabungkan dalam desain simetris yang rumit untuk taman kerajaan.
Kolam terbesar diletakkan di lapangan terbuka barat. Sistem teras yang rumit juga memiliki taman kecil di kaki batu.
Setelah Kashyapa meninggal dalam pertempuran dengan adiknya, dinasti mengalami pasang surut.
Terjadi perebutan kekuasaan internal dan konflik antara penduduk asli Sinhala dan penjajah luar dari Sri Lanka.
Berbagai kota menyandang status ibu kota setelah Sigiriya, seperti Polonnaruwa. Namun, pada abad ke-12, kendali keseluruhan atas Sri Lanka semakin melemah.
Kekuatan Sinhala mundur ke barat daya pulau, meninggalkan wilayah Rajarata. “Bekas pusat administrasi, termasuk Sigiriya, mulai tidak digunakan lagi,” tambah Walker.
Posisi Sri Lanka di Samudra Hindia membuatnya rentan terhadap orang Eropa yang ingin memperluas kendalinya di wilayah tersebut.
Pada pertengahan 1500-an Portugis memanfaatkan ketegangan dinasti di elite penguasa Sri Lanka. Penjajah Portugis pun akhirnya berhasil menguasai sebagian besar pulau itu.
Seabad kemudian Belanda menggantikan Portugis sebagai penguasa kolonial dan digantikan oleh Inggris pada akhir 1700-an.
Pada 1815, Kerajaan Kandy, negara bagian asli terakhir yang merdeka di pulau itu, menjadi bagian dari Kerajaan Inggris.
Pengetahuan tentang Sigiriya
Pejabat Kerajaan Inggris membawa pegawai negeri sipil George Turnour ke Sri Lanka. Ia adalah seorang bangsawan, cendekiawan, dan sejarawan yang bersemangat.
Turnour bekerja dengan seorang biksu Buddha untuk menerjemahkan kronik kuno dari abad kelima, Mahavamsa.
Dari bahasa Sri Lanka Pali, kronik itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Berdasarkan ini dan teks lainnya, dia mengidentifikasi dua ibu kota kuno: Anuradhapura dan Polonnaruwa.
Turnour juga mempelajari kronik sejarah Sri Lanka selanjutnya, Culavamsa, yang menceritakan kisah Raja Kashyapa.
Pejabat kerajaan itu pun mengetahui soal istana di atas batu raksasa dan bagaimana Sigiriya kehilangan status singkatnya sebagai ibu kota.
Pada 1827 seorang perwira Skotlandia, Jonathan Forbes, bersahabat dengan Turnour. Ia mendengar kisah Kashyapa dan istananya lalu memutuskan untuk mencarinya.
Pada 1831 dia berangkat yang ditunjukkan oleh penduduk setempat. Menurut mereka, Forbes akan menemukan sisa-sisa kota kuno di tempat tersebut.
Memoarnya, Eleven Years in Ceylon, menggambarkan batu Sirigi seakan menantang di atas ladang yang sedikit dan hutan yang luas di dataran sekitarnya.
Saat mendekat, dia bisa melihat platform dan galeri yang diukir di batu. Dua dari rombongannya berhasil memanjat ke atas tetapi batu-batu terlepas.
Mereka jatuh di antara dahan-dahan pohon di kedalaman yang sangat dalam di bawah.
Tidak yakin apakah ia telah menemukan Sigiriya yang disebutkan dalam teks Buddhis, Forbes meninggalkan ekspedisi tersebut.
Dia kembali beberapa tahun kemudian, lalu menelusuri parit yang mengelilingi taman di kaki batu. Namun, saat itu Forbes tidak mencoba memanjat permukaan tebing. Dia meragukan bahwa nama Sigiriya terkait dengan singa, karena dia tidak melihat apa pun yang mendukung etimologi tersebut.
Lukisan dinding yang luar biasa
Pendaki gunung Inggris akhirnya mencapai puncaknya pada 1851, tetapi tugas untuk survei situs jatuh ke tangan Komisaris Arkeologi Ceylon, Harry C.P. Bell.
Survei dilakukan pada akhir abad ke-19 dan menjadi dasar dari semua penelitian sejak saat itu.
Bell dengan susah payah memastikan tata letak ibu kota Kashyapa serta merinci ukiran kaki singa yang luar biasa di pintu masuk. Kaki singa yang sebelumnya tidak ditemukan oleh Forbes.
Selain taman air yang rumit di kaki batu, survei Bell juga mencurahkan perhatian pada galeri di permukaan batu.
Galeri itu dihiasi dengan lukisan dinding yang sangat indah yang telah menjadi beberapa peninggalan paling berharga dalam warisan artistik Sri Lanka.
Sebanyak 21 lukisan dinding yang bertahan mungkin menggambarkan bidadari, penyanyi dan penari surgawi.
Sejarawan berpendapat tentang identitas wanita yang direpresentasikan di dinding tebing.
Kecantikan dan sensualitasnya membuat beberapa penulis percaya bahwa itu adalah penggambaran wanita dari harem Kashyapa. Teori lain meyakini bahwa mereka adalah penggambaran bidadari, penyanyi, dan penari dalam mitologi India yang menghuni surga.
Di dekatnya, juga di dinding permukaan batu, terdapat lebih dari 1.000 macam grafiti. Grafiti itu digores oleh para biarawan dan peziarah yang mengunjungi situs pada abad ke-8 hingga abad ke-13.
Baca Juga: Misteri Sigiriya, Benteng Kuno di Atas Batu Raksasa yang Memukau
Baca Juga: Kashyapa, Raja yang Membangun Istana Kuno di Batu Raksasa Sigiriya
Baca Juga: Lukisan Bidadari-bidadari di Dinding Benteng Kuno Sigiriya Srilangka
Baca Juga: Sarandib: Kesatuan Tiga Agama dan Kerinduan Cita Rasa Lidah Jawa
Pesan-pesan dari masa lalu ini dapat menimbulkan getaran saat dibaca oleh pengunjung hari ini.
Salah satunya berbunyi, “Di Sigiriya, dengan kemegahan yang melimpah, kami melihat batu karang yang memikat pikiran semua orang yang datang ke sini.”
Grafiti yang ditinggalkan oleh para pelancong abad pertengahan ke Sigiriya adalah tanggapan terhadap lukisan wanita cantik menari itu. Salah satu grafiti berbunyi, “Belaian angin sepoi-sepoi lembut menyentuh tubuh mereka, diterangi oleh cahaya sinar bulan.”
Benteng kuno Sigiriya sempat berada di puncak kejayaannya ketika menjadi istana selama beberapa saat. Setelah pendirinya tewas, Sigiriya pun perlahan dilupakan dan ditelan rerimbunan hutan.
Kini, popularitasnya benteng kuno Sigiriya pun kembali. Termasuk dalam situs warisan budaya dunia Unesco, para wisatawan berbondong-bondong datang untuk melihat sisa-sisa kemegahan benteng kuno dan istana Raja Kashyapa itu.