Tahun Panas Bagi Indonesia: Gelombang Panas Ekstrem Asia dan El Nino

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 25 April 2023 | 13:54 WIB
Gelombang panas ekstrem mendera Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Bagi Indonesia, suhu panas dan kemarau panjang masih menghantui beberapa waktu ke depan karena El Nino. (Thinkstock)

Nationalgeographic.co.id—Selama sebulan terakhir, beberapa kota di Indonesia melaporkan suhu panas di siang hari.

Di Jakarta, suhu gelombang panas bahkan mencapai 32 derajat celsius. Titik paling panas terekam di Ciputat, Kota Tangerang Selatan, yakni 37,2 derajat celsius.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan melaporkan sebagian besar wilayah Indonesia diterpa suhu panas matahari dengan indeks sinar ultraviolet (UV) berada di tingka 8-10, menunjukkan risiko bahaya sangat tinggi. 

Masyarakat juga dianjurkan untuk menggunakan tabir surya (sunscreen) SPF 30 setiap 2 jam, walau cuaca berawan sekalipun. Sebab, dampak ultraviolet berisiko menyebabkan kanker kulit.

"Minimalkan waktu di bawah paparan matahari antara pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore," tulis BMKG dalam media sosial mereka, 25 April 2023. "Tetap di tempat terduh pada saat matahari siang terik."

BMKG juga menjelaskan dalam data visualnya bahwa prediksi indeks ultraviolet di Indonesia dan sekitarnya (termasuk Malaysia, Singapura, dan Filipina), berada di atas tingkat 10 di atas pukul 9 WIB.

Melansir Reuters, beberapa negara Asia melaporkan suhu tinggi luar biasa selama April ini. Dhaka, Bangladesh sebesar 51 derajat celsius.

Sementara itu di Bangkok, Thailand, mencatat suhu rekor suhu terpanas yang pertama kalinya dialami dalam sejarah sebesar 45,4 derajat celsius.

Laos dan Myanmar juga melaporkan rekor tersebut dengan suhu masing-masing 42,7 dan 45,3 derajat celsius.

Paparan ultraviolet punya alasan, tidak ada awan di langit yang cukup menutupi permukaan Bumi.

Dampaknya juga memengaruhi pada suhu teduh di permukaan. Di mana tidak ada awan, ultraviolet lebih mudah menerpa dan suhu tinggi dari matahari tidak terbendung.

Hal ini disebabkan adanya dinamika atmosfer yang tidak biasa, menurut BMKG. Siswanto, peneliti BMKG mengatakan bahwa dinamika tidak biasa ini disebabkan oleh oleh tren pemanasan global dan perubahan iklim.