Nationalgeographic.co.id—Selama sebulan terakhir, beberapa kota di Indonesia melaporkan suhu panas di siang hari.
Di Jakarta, suhu gelombang panas bahkan mencapai 32 derajat celsius. Titik paling panas terekam di Ciputat, Kota Tangerang Selatan, yakni 37,2 derajat celsius.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan melaporkan sebagian besar wilayah Indonesia diterpa suhu panas matahari dengan indeks sinar ultraviolet (UV) berada di tingka 8-10, menunjukkan risiko bahaya sangat tinggi.
Masyarakat juga dianjurkan untuk menggunakan tabir surya (sunscreen) SPF 30 setiap 2 jam, walau cuaca berawan sekalipun. Sebab, dampak ultraviolet berisiko menyebabkan kanker kulit.
"Minimalkan waktu di bawah paparan matahari antara pukul 10 pagi hingga pukul 4 sore," tulis BMKG dalam media sosial mereka, 25 April 2023. "Tetap di tempat terduh pada saat matahari siang terik."
BMKG juga menjelaskan dalam data visualnya bahwa prediksi indeks ultraviolet di Indonesia dan sekitarnya (termasuk Malaysia, Singapura, dan Filipina), berada di atas tingkat 10 di atas pukul 9 WIB.
Melansir Reuters, beberapa negara Asia melaporkan suhu tinggi luar biasa selama April ini. Dhaka, Bangladesh sebesar 51 derajat celsius.
Sementara itu di Bangkok, Thailand, mencatat suhu rekor suhu terpanas yang pertama kalinya dialami dalam sejarah sebesar 45,4 derajat celsius.
Laos dan Myanmar juga melaporkan rekor tersebut dengan suhu masing-masing 42,7 dan 45,3 derajat celsius.
Paparan ultraviolet punya alasan, tidak ada awan di langit yang cukup menutupi permukaan Bumi.
Dampaknya juga memengaruhi pada suhu teduh di permukaan. Di mana tidak ada awan, ultraviolet lebih mudah menerpa dan suhu tinggi dari matahari tidak terbendung.
Hal ini disebabkan adanya dinamika atmosfer yang tidak biasa, menurut BMKG. Siswanto, peneliti BMKG mengatakan bahwa dinamika tidak biasa ini disebabkan oleh oleh tren pemanasan global dan perubahan iklim.
Dampak dari perubahan iklim menyebabkan intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas di Asia. Hal inilah yang menyebabkan rekor suhu tinggi terjadi, termasuk di kawasan tropis seperti Indonesia.
Pada negara Asia lainnya, suhu panas ekstrem ini disebabkan oleh gelombang panas akibat perubahan iklim.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi BMKG Dodo Gunawan menyebut, Indonesia berbeda. Lanjut Dodo, Indonesia tidak mengalami gelombang panas, "tetapi suhu maksimum udara permukaan tergolong panas."
Siswanto menambahkan bahwa kisaran suhu maksimum siang hari di Indonesia adalah 35 hingga 37,5 derajat celsius.
Angka ini belum masuk dalam definisi gelombang panas dan masih kisaran normal suhu maksimum.
"Memang, suhu dapat terasa lebih panas dan terik dari biasanya, tetapi belum di atas 40 derajat celsius."
Hal itu disebabkan April sampai Mei nanti adalah masa di mana suhu maksimum memuncak, dan awal dari musim kemarau. Suhu udara menjadi lebih tinggi di Indonesia juga disebabkan oleh posisi gerak semu matahari. (Simak penjelasan selengkapnya tentang siklus monsun dan perubahan iklim di sini).
Ditambah, April adalah masa awal bagi angin monsun timur berhembus dari Australia. Monsun timur juga biasa disebut sebagai monsun kering, di mana angin bertiup menggeser tutupan awan di atas wilayah Indonesia.
Hal inilah yang menyebabkan pancaran sinar matahari menerpa permukaan Bumi dan panas yang tidak dihalangi awan.
Ancaman panas masih menghantui 2023—2024
Ancaman rekor suhu tinggi mungkin belum usai pada datangnya monsun timur dan suhu panas Asia.
Bagi Indonesia, ancaman siklus El Nino bisa terjadi di semester kedua tahun ini dan tahun depan. BMKG telah mewanti-wanti sejak Januari 2023 dalam konferensi persnya.
La Nina—sebagai kebalikan dari El Nino—terpantau mulai melemah awal tahun ini. "Aliran massa udara dari wilayah Indonesia berbalik mengalir ke Samudra Pasifik," terang Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG.
"Jadi, Indonesia yang menjadi kering karena aliran massa udara ini propoagasi atau bergerak ke arah Samudra Pasifik. Jadi ini lawan dari La Nina (El Nino)," imbuhnya.
El Nino merupakan siklus di Samudra Pasifik dua hingga tujuh tahun sekali, dan biasanya bertahan sampai 15 bulan. Siklus ini akan menyebabkan suhu panas dan kekeringan di beberapa wilayahnya.
Proses terjadinya El Nino adalah ketika air laut yang panas Samudra Pasifik bagian barat (termasuk Indonesia), pada suatu waktu, bergerak ke arah timur.
Gerakan ini menyusuri kawasan khatulistiwa. Di Samudra Pasifik timur bagian Amerika Tengah, air panasnya juga bergerak ke arah selatan.
Air panas ini pada akhirnya berkeumpul di pesisir barat Amerika Selatan seperti Peru dan Ekuador.
Selanjutnya panasnya memuai ke udara, menyebabkan daerah bertekanan udara rendah di pesisir barat Amerika Selatan.
Angin ini hanya membawa sedikit uap air yang berhembus ke arah barat. Pada akhirnya, udara tidak membawa air.
Ketika tiba di bagian barat Samudra Pasifik seperti Indonesia dan Papua Nugini, hujan tidak turun dan cuaca menjadi panas.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Gelombang Panas Menghantam Dasar Lautan
Baca Juga: Es Laut Akan Segera Menghilang dari Kutub Utara Selama Musim Panas
Baca Juga: Memahami Gelombang Panas Tersembunyi yang Mengancam Terumbu Karang
Baca Juga: Jarak Matahari-Bumi Pengaruhi Iklim Pasifik dalam Siklus 22.000 Tahun
El Nino yang kini menjadi bayang-bayang Indonesia akan menyebabkan musim kemarau yang sangat kering dan musim hujan yang sangat lambat.
Pelemahan intensitas La Nina terjadi hingga Maret 2023. Kemudian di lanjutkan dengan indeks netral El Nino yang berlangsung hingga pertengahan 2023.
"Jadi Mei-Juli itu indeksnya bertahan netral," terang Dwikorita. "Maka hingga enam bulan ke depan (Juni-Juli), BMKG memprediksi sifat hujan bulanan di tahun 2023 ini akan relatif menurun. Curah hujan bulanan akan relatif menurun dibandingkan curah hujan 3 tahun terakhir."
Kabar tentang panas dan ancaman dari panas lainnya menghantui sektor pertanian untuk menyediakan pangan.
Jadi, pemerintah harus punya peraturan untuk mempersiapkan musim kering ekstrem yang akan sangat berdampak pada pertanian.