Inilah Cara Sapu Jagat Lindungi Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 28 April 2023 | 07:00 WIB
Hutan menyimpan keanekaragaman hayati. Inilah cara penggabungan pelestarian keanekaragaman hayati dan mencegah krisis iklim yang bisa diterapkan penguasa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Begitu banyak dampak krisis iklim dalam aspek kehidupan di Bumi yang merugikan umat manusia. Sedangkan di waktu yang bersamaan, krisis keanekaragaman hayati menerpak ekosistem.

Krisis ini membuat banyak spesies menuju jurang kepunahan, sehingga diperlukan perhatian penanganannya demi kelangsungan planet ini.

"Kedua bencana tersebut—krisis iklim dan krisis keanekaragaman hayati—saling bergantung dan saling memperkuat," kata Hans-Otto Pörtner, profesor di Alfred Wegener Institute for Polar and Marine Research, Jerman. "Oleh karena itu keduanya tidak boleh dilihat sebagai dua hal yang terpisah."

Dia memimpin penelitian besar bersama 17 ahli di seluruh dunia. Dari penelitian yang dipublikasikan di jurnal Science, mereka menjelaskan bagaimana krisis kepunahan berlangsung, hubungannya dengan krisis iklim, dan bagaimana langkah yang bisa diambil. Makalah mereka terbit pada 21 April 2023.

Dalam makalah itu, para peneliti mejelaskan bahwa Bumi telah kehilangan spesies dengan cepat.

Diperkirakan aktivitas manusia telah mengubah 75 persen permukaan tanah dan 66 persen perairan laut Bumi. Bentang alam itu sejatinya penampung keragaman hayati di planet ini.

Di daratan, para peneliti menjelaskan bahwa 80 persen biomassa untuk mamalia dan 50 persen biomassa telah hilang.

Padahal, di berbagai biomassa ada banyak spesies hewan dan tumbuhan darat yang terancam punah dalam dominasi manusia.

Selain itu habitat alam terancam akibat perubahan iklim dan perusakan terhadapnya. Tidak hanya menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, tetapi juga mengurangi kemampuan berbagai organisme yang sebenarnya berfungsi untuk menyimpan karbon.

Berkurangnya kemampuan organisme ini malah memperburuk krisis iklim, terang para peneliti.

Keanekaragaman hayati laut di Pulau Mandiki, Sumbawa Barat. (Mongabay.co.id/WCS)

Pengurangan kemampuan ini disebabkan kemampuan toleransi masing-masing spesies punya batas yang berbeda ketika kondisi lingkungan berbeda.

Misal, salah satunya, suhu yang meningkat dari pemanasan global. Selain itu, karena lingkungannya yang berubah, banyak dari spesies harus menggeser habitatnya. 

Para peneliti memantau bahwa spesies bergerak mengikuti kisaran suhu yang semestinya mereka dapati.

Spesies-spesies itu bermigrasi lebih dekat ke kutub atau tempat yang lebih tinggi. Sementara yang di laut, berpindah ke tempat yang lebih dalam.

Akan tetapi, tidak semua spesies bisa berpindah. Terumbu karang, misalnya, hanya bisa dapat mengubah habitatnya secara bertahap untuk beradaptasi.

Masalahnya, suhu terus meningkat yang membuatnya rentan mati. Para peneliti memperkirakan bahwa dalam jangka panjang, terumbu karang akan menghilang seluruhnya di muka bumi.

Kebuntuan iklim di berbagai biomassa juga mengancam spesies yang bergerak. Tidak semua lingkungan tempat bermigrasi bisa cocok sebagai habitat baru mereka. Misal, di puncak gunung, pulau, atau kutub, yang sedikit sekali sumber makanan atau cuacanya ekstrem untuk tinggal.

 “Selain itu, setidaknya 30 persen dari semua zona daratan, air tawar, dan laut harus dilindungi atau dipulihkan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati terbesar dan melestarikan kemampuan ekosistem alami untuk berfungsi." tutur Pörtner.

Maka dari itu, perlu ada langkah yang merupakan kombinasi ambisius yang harus dilakukan para penguasa.

Para peneliti mengusulkan langkah-langkah kombinasi ini berupa pengurangaran emisi, restorasi dan perlindungan, pengelolaan penggunaan lahan yang bijak, dan mempromosikan kompetensi lintas institusi bagi aktor politiknya.

Danau Sentarum, Kalimantan Barat, kaya akan keanekaragaman hayati. Danau seluas 120 ribu hektare ini (Zika Zakiya)

"Hal ini pada gilirannya akan membantu kita memerangi perubahan iklim. Misalnya, restorasi ekstensif hanya 15 persen dari zona yang telah dikonversi untuk penggunaan lahan bisa cukup untuk mencegah 60 persen dari peristiwa kepunahan yang diharapkan," lanjut Pörtner.

"Ini juga akan memungkinkan hingga 300 gigaton karbon dioksida dari atmosfer dihilangkan dan diperbaiki dalam jangka panjang; itu berarti 12 persen dari semua emisi karbon sejak awal era industri.”

Pörtner dan tim menyerukan pendekatan modern untuk pengelolaan penggunahan lahan.

Yakni, kawasan lindung tidak lagi dipandang sebagai tempat perlindungan keanekaragaman hayati yang terisolasi. Sebab, perlu ada kesinambungan antarbiomassa yang diperlukan bagi organisme tertentu untuk beradaptasi.

Kawasan perlindungan harus menjadi bagian dari jaringan yang mencakup lingkungan darat dan laut, yang menghubungkan daerah yang relatif belum tersentuh.

Tujuannya supaya bisa menjadi koridor migrasi untuk berbagai spesies.

Baca Juga: Inovasi Memprediksi Efek Perubahan Iklim pada Hewan Berdarah Dingin

Baca Juga: Pola Cuaca Buruk di Indonesia Hari Ini Serupa Zaman Es Terakhir

Baca Juga: Belajar dari India: Adaptasi Petani Hadapi Dampak Perubahan Iklim

Baca Juga: Melestarikan Satwa Liar Dapat Membantu Mengurangi Perubahan Iklim

Aksi iklim harus inklusif dengan melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka punya pandangan, panggilan, dan inisiatif sendiri yang bertujuan melindungi dan memulihkan alam.

Masyarakat petani dan perikanan juga punya kesadaran atas lingkungan yang mereka kelola, dan disentuh agar berfokus pada keberlanjutan. Maka, para pemangku kebijakan harus mendukung semuanya.

Pörtner dan tim yakin, konsep modern ini bisa menghemat sumber daya dan pasokan pangan yang bisa diandalkan bagi umat manusia.

Konsep kombinasi ini mengarah pada peningkatan penyerapan dan perbaikan karbon bagi biomassa, khususnya di daratan.

Menciptakan kesimbangan karbon juga harus diterapkan secara prioritas dan mutlak di kota. Misalnya, dengan menggunakan lebih banyak spesies pohon yang bisa menyerap karbon.

Akan tetapi, di samping itu juga pohon yang dipilih juga punya buah dan bunga, supaya bisa menghadirkan ekosistem seperti serangga bekerja di lingkungan padat penduduk.

Dari sini, keberlanjutan pangan sekaligus mengurangi pangan di kota pun bisa tercipta.

Lagi pula, jika keanekaragaman hayati telah punah dan yang tersisa hanya manusia, apakah kita mau tinggal di Bumi yang seperti itu?