Nationalgeographic.co.id—Indikasi pertama bahwa ada yang tidak beres dengan Raja George III dari Kerajaan Inggris terjadi pada musim semi 1765. Saat itu ia mengalami demam, batuk yang menyiksa, penurunan berat badan tiba-tiba dan insomnia.
Bersamaan dengan gejala-gejala ini muncul sesuatu yang tidak terduga—gangguan kognitif yang nyata. Itu adalah awal dari gangguan kesehatan mental Raja George III yang menjadi tragedi bagi Kerajaan Inggris.
Gangguan kognitif itu menimbulkan kekhawatiran tidak hanya di antara para staff raja, tetapi juga bagi raja sendiri. “Saat itu, undang-undang parlemen disahkan untuk melantik wakil penguasa jika George tidak mampu memerintah kelak,” tulis BP Perry di laman History.
Penyakit George yang kedua muncul pada tahun 1788 dan jauh lebih buruk daripada yang pertama. Padahal sebelumnya George menunjukkan tekanan mental ringan, kali ini dia dilanda mania. Berada di Kastel Windsor pada saat itu, perilaku raja dengan cepat lepas kendali. Dia menjadi sangat kasar kepada semua orang di sekitarnya, menderita halusinasi, berbicara omong kosong tanpa henti selama berjam-jam.
Sang raja bahkan melancarkan rayuan yang tidak pantas terhadap wanita dan mencoba melakukan beberapa serangan seksual. Tidak hanya itu, penguasa Kerajaan Inggris itu kerap mengalami kejang-kejang yang sangat parah. Ini membuat para pelayan harus menjepitnya ke lantai untuk mencegahnya melukai dirinya sendiri.
Orang gila yang mengoceh
Keluarga dan staf Kerajaan Inggris menjadi sangat bingung. Pria keluarga yang ramah dan sopan ini telah berubah menjadi orang gila yang mengoceh. Seorang pengunjung Windsor terheran-heran menyaksikan George mengubur bistik di pekarangan kastil. Saat melakukannya, sang raja percaya itu akan tumbuh menjadi pohon daging sapi.
“Yang lain melihat raja mencoba berjabat tangan dengan pohon ek, percaya itu adalah Raja Prusia,” tambah Perry.
Robert Greville (Baron Brooke yang Kedua) adalah salah satu dari banyak yang mengamati perilaku aneh raja dari dekat. Dalam jurnalnya, Greville mengenang bagaimana George menghabiskan Hari Natal 1788:
“Dia saat ini memiliki bagian dari seprai di bawah tempat tidurnya. Raja melepas topi tidurnya dan menutupi kepalanya dengan sarung bantal. Bantal itu ada di tempat tidur bersamanya dan ia beri nama Pangeran Octavius, yang baru lahir hari ini.”
Beragam upaya dilakukan untuk menyembuhkan kegilaan pemimpin Kerajaan Inggris
George dipindahkan dari apartemennya di Windsor ke Dutch House di Istana Kew di London. Di sana, dokternya mencoba dan gagal menyembuhkan kegilaannya.
Mereka melakukan beberapa perawatan yang sekarang kita anggap sebagai bentuk penyiksaan. Ini termasuk mengoleskan bubuk sarat arsenik ke kulit raja untuk membuatnya terbakar dan melepuh. Bahkan dokter membuatnya kelaparan dan menceburkannya ke dalam air dingin yang membekukan. Raja juga diberi obat emetik untuk membuatnya muntah dan obat pencahar untuk membuatnya diare.
Semua perawatan itu dimaksudkan untuk 'mengeluarkan' kegilaan raja dan memulihkan kesehatannya. Tidak mengherankan, tidak ada satu cara pun yang berhasil menyembuhkan sang raja.
Ratu Charlotte, istri George III, pun beralih ke Francis Willis. Willis adalah seorang dokter dan pendeta provinsi yang menjadi perhatian nasional. Konon ia berhasil merawat apa yang kemudian dikenal sebagai 'orang yang salah' di rumah sakit jiwa pribadinya di Lincolnshire.
Willis percaya bahwa akar penyebab penyakit mental adalah terlalu bersemangat. Dia bermaksud menyembuhkan raja dengan mengontrol perilakunya secara ketat.
Ketika George terus mengoceh dan menyerang orang di sekitarnya, Willis memerintahkan para pelayan raja untuk menyumpal mulutnya. Ia dipakaikan sebuah jaket pengekang.
George dibiarkan seperti itu, meronta-ronta dan membuat suara yang tidak bisa dimengerti sampai lelah dan tenang. Ketika berperilaku baik, raja diizinkan untuk bertemu dengan anggota keluarganya. Ketika bertingkah buruk, ia harus kembali ke jaket pengekang.
Bahkan waktu makan pun diatur. Ketika George sakit, dia makan bubur dengan sendok kayu; ketika dia baik, dia diizinkan menggunakan peralatan makan.
Pemulihan
Raja perlahan mulai pulih di bawah perawatan Willis, meskipun masih diperdebatkan apakah metode dokter berkontribusi pada kesembuhannya. Pada 1789, George benar-benar kembali normal. Kesembuhannya membuat lega sang perdana menteri, William Pitt the Younger. Konon William takut jika kekuasaan jatuh ke tangan putra George yang menyukai saingan Pitt.
Untuk perannya dalam pemulihan raja, Willis dianugerahi £1.500 setahun selama 21 tahun. Willis kembali ke Lincolnshire dan membuka rumah perawatan kedua di Shellingthorpe Hall. Di sana, lebih banyak pasien dapat dirawat dengan teknik mutakhirnya.
Sayangnya, pemulihan Raja George III tidak berlangsung lama. Pada tahun 1801 dan lagi pada tahun 1804 ia kambuh dan kembali dikurung di Dutch House. Meski berhasil pulih, kesehatan mental dan fisiknya makin memburuk.
Pukulan terakhir datang pada tahun 1810. Sudah hampir buta total karena katarak, raja menderita gangguan kesehatan mental terakhir yang membuatnya gila secara permanen. Selama 10 tahun terakhir masa pemerintahannya, dia menjadi sosok yang sedih dan kesepian.
Raja George III sering berkeliaran di koridor Kastel Windsor. Ia tampak seperti hantu yang mengenakan pakaian kotor dengan janggut panjang yang tergerai. Ketika istri tercintanya Charlotte meninggal pada tahun 1818, George tidak tahu siapa dia dan tidak meratapi kepergiannya.
Raja George III meninggal pada tanggal 29 Januari 1820 pada usia 81 tahun. Dia telah memerintah Kerajaan Inggris selama 60 tahun. Hingga kini, Raja George III menjadi raja yang masa pemerintahannya paling panjang dalam sejarah Inggris. Hanya keponakannya Victoria dan keturunannya Elizabeth II yang akan memerintah lebih lama.
Apa yang menyebabkan penyakit Raja George III?
Lantas, apa penyebab kegilaan Raja George III dari Kerajaan Inggris itu? Pada saat itu, gangguan kesehatan mental disebabkan oleh ketidakseimbangan empat cairan di tubuh. Oleh karena itu, perawatan keji yang diterapkan ketika dokter berusaha untuk 'menarik' penyakitnya dan mengembalikan cairan raja menjadi seimbang.
Permulaan pengobatan modern menyanggah gagasan tentang cairan, penjelasan baru pun dicari untuk penyebab penyakit raja yang semakin parah.
Pada 1960-an, psikiater Amerika Ida Macalpine dan Richard Hunter mendiagnosis Raja George III menderita porfiria, penyakit genetik yang tampaknya sesuai dengan gejalanya. George kerap mengalami masalah perut, kurang tidur, urine berubah warna, dan serangan kegilaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, diagnosis porfiria telah diperdebatkan.
Kini, sejarawan memperkirakan bahwa George menderita gangguan bipolar yang parah. Penurunan kesehatan terakhirnya adalah kegilaan yang disebabkan oleh kombinasi dari penyakit mental yang melumpuhkan dan timbulnya demensia. Meski belum pasti, tapi ini tampaknya adalah penjelasan yang lebih mungkin daripada porfiria.
Warisan raja yang populer
Jauh dari gambaran raja gila dan tiran, Raja George III adalah seorang raja yang bijaksana, adil dan populer. Ia mendukung dan mempromosikan seni dan sains Kerajaan Inggris selama masa pemerintahannya. Itu membuatnya menjadi salah satu raja yang paling berpikiran maju di Eropa.
Ironisnya, dunia kesehatan di masanya belum berkembang seperti saat ini. Itu membuat gangguan mentalnya tidak bisa diatasi dengan baik. Apa pun yang menjadi akar kegilaan George, dia adalah pemimpin Kerajaan Inggris yang sangat populer hingga kini.