Gensai juga menggunakan waktu luangnya untuk terus belajar. Ia mengasah keterampilan bela diri dan sastranya, serta belajar sado (upacara minum teh) dan ikebana (merangkai bunga).
Pada saat itulah dia bertemu dengan dua orang yang nantinya akan menjadi penting dalam kegiatan ishin shishi. Mereka adalah Todoroki Buhei dan Miyabe Teizo.
Berkat diskusinya dengan mereka, dia sangat tertarik dengan konsep kinno atau kesetiaan Kekaisaran Jepang.
Gensai bergabung dengan penguasa Kumamoto Hosokawa
Pada tahun 1851, dia bergabung dengan penguasa Kumamoto Hosokawa Narimori dan pergi ke Edo untuk rotasi sankin kotai tuannya.
Sankin kotai adalah kebijakan Keshogunan Tokugawa selama sebagian besar periode Edo dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Tujuannya adalah untuk memperkuat kontrol pusat atas daimyo (penguasa feodal utama).
Praktiknya adalah tuan tanah feodal dan daimyo hidup bergantian selama 1 tahun di domain mereka dan di Edo, ibu kota.
Selama pengabdiannya kepada penguasa di Edo itulah Komodor Perry tiba di Kekaisaran Jepang pada tahun 1853.
Saat itu Keshogunan Tokugawa mengadakan perjanjian yang tidak seimbang dengan Barat. Tindakan ini membuat marah banyak orang, termasuk Gensai.
Gensai meninggalkan Edo dalam kemarahan dan kembali ke Kumamoto. Di sana dia bergabung dengan akademi Gendokan. Setelah mempelajari filosofi kinno Oen, Gensai kembali ke Edo.
Mendapat julukan Hitokiri Gensai, Gensai sang pembunuh
Seorang pendekar pedang yang sangat terampil, Gensai adalah salah satu dari empat pembunuh paling terkenal dari periode Bakumatsu.