Baca Juga: Kenapa Banyak Orang Kecanduan Minum Kopi, padahal Rasanya Pahit?
Memajukan komoditas kopi Sigi yang berbasis alam
Meski usahanya terbilang laris manis, Obhy mengaku masih memiliki banyak ambisi. Salah satunya, mengembangkan nama kopi Sigi agar bisa dikenal secara luas maupun mendunia.
“Harapannya, kami ingin membuat kopi Sigi lebih dikenal dan diakui oleh banyak pihak. Dengan begitu, seluruh petani kopi juga bisa memiliki hidup yang layak untuk keluarga mereka,” ujarnya.
Tak hanya itu, kebun kopi di Pipikoro sebenarnya juga memiliki nilai ekologis. Kopi mulai ditanam di Pipikoro, Kulawi, Palolo, dan Tompu pada zaman kolonial. Namun, masyarakat meninggalkan praktik perkebunan kopi karena lebih tertarik mengembangkan komoditas kakao.
Kebangkitan perkebunan kopi di Pipikoro dan sekitarnya baru terjadi beberapa tahun terakhir dan dampaknya pada lingkungan cukup nyata. Seperti pohon kakao, tanaman kopi juga memiliki akar tunggang yang kuat mencengkram tanah sehingga dapat menahan erosi.
Tanaman kopi juga bisa diselingi dengan tanaman lain seperti legum dan dadap. Guguran daun tanaman selingan itulah yang menjadi kompos alami penyubur tanaman kopi.
Para petani pun masih memegang kearifan lokal untuk tidak menanam kopi di ketinggian tertentu karena dapat mengganggu sumber air. Tentunya, selain kualitas dan cita rasa, praktik perkebunan seperti ini akan menjadi nilai lebih kopi khas Sigi.
Dari cerita Pipikoro Coffee dan Obhy kita dapat melihat potensi hilirisasi produk berbasis alam. Asalkan daya dukung lingkungannya terjaga dengan baik, alam akan memberikan manfaat kembali kepada kita dalam bentuk komoditas yang berkualitas. Seperti Kopi Pipikoro ini.