Bagaimana Buddhisme dan Shinto Berdampingan dalam Kekaisaran Jepang?

By Ricky Jenihansen, Rabu, 21 Juni 2023 | 07:00 WIB
Buddhisme dan Shinto diterima bersamaan dalam Kekaisaran Jepang. (Pixabay)

Orang yang dianggap benar-benar menempatkan agama Buddha di garis depan praktik keagamaan Jepang adalah Pangeran Shotoku (574-622 M) (Metropolitan Museum)

Pangeran Shotoku & Penyebaran Agama Buddha

Orang yang dianggap benar-benar menempatkan agama Buddha di garis depan praktik keagamaan Jepang adalah Pangeran Shotoku (574-622 M), yang memerintah Jepang sebagai wali dari tahun 594 M hingga kematiannya.

Shotoku terkenal membuat konstitusi baru (atau, mungkin lebih tepatnya, kode etik) pada tahun 604 M yang disebut Konstitusi Pasal Tujuh Belas (Jushichijo-kenpo).

Poin-poin yang dibuat di dalamnya berusaha untuk membenarkan sentralisasi pemerintahan dan menekankan baik prinsip Buddhis maupun Konfusius, khususnya pentingnya keharmonisan (wa).

Shotoku secara khusus menekankan penghormatan terhadap agama Buddha, seperti yang terlihat dalam Pasal II konstitusinya.

"Dengan tulus menghormati tiga harta karun. Tiga harta karun, Buddha, Hukum, dan Imamat, adalah perlindungan terakhir dari empat makhluk ciptaan, dan merupakan objek keyakinan tertinggi di semua negara."

"Manusia mana di usia berapa yang bisa gagal untuk menghormati hukum ini? Hanya sedikit manusia yang benar-benar jahat. Mereka mungkin diajar untuk mengikutinya. Akan tetapi jika mereka tidak membawanya ke tiga harta karun, bagaimana kebengkokan mereka akan diluruskan?" (Henshal, 499)

Sesuai dengan pernyataannya, Shotoku membangun banyak kuil dan biara, membentuk badan seniman untuk membuat gambar Buddha, dan dia sendiri adalah murid ajarannya, menulis pendapatnya tentang tiga sutra.

Selama masa pemerintahannya, Shotoku membangun 46 wihara dan kuil Buddha, yang terpenting di antaranya adalah Shitennoji, Hokoji (596 M), dan Horyuji.

Keyakinan asli Kekaisaran Jepang kuno adalah animisme dan Shinto. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Budha dan Shinto Berdampingan