Hutan Ranjuri nan Luhur: Penyerap Karbon dan Pelindung Masyarakat Sigi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 24 Juni 2023 | 17:08 WIB
Lokasi Hutan Ranjuri di Kabupaten Sigi tidak jauh dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu. Hutan ini telah menyimpan karbon, menyelamatkan Desa Beka dari bencana alam sejak lama, dan rumah bagi berbagai fauna. Masyarakat pun memuliakan hutan ini. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Memuliakan Hutan Ranjuri dengan adat, agama, dan pemerintah

Ranjuri berasal dari bahasa Kaili yang telah berubah dialek dari ran yang berarti "masuk" atau "ke dalam", dan syuri "pepohonan syuri". "Syuri adalah pohon besar dengan akarnya yang timbulSekarang sudah susah―langka sekali menemukannya," kata Alam.

Pohon Kaili tingginya lebih dari 50 meter. Pohon ini terancam punah, dan masyarakat menjaganya dari penebangan lewat peraturan adat dan anjuran agama. Usia pohon ini diperkirakan 500-700 tahun. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nama Desa Beka sendiri berarti desa "terbelah dua" dalam bahasa Kaili. Menurut mitologi Kaili, pernah ada batu yang terbelah di dalam hutan. Dari batu yang terbelah ini, muncul seorang bayi yang menjadi leluhur desa Beka.

Pengetahuan mitologi Kaili ini diwariskan secara lisan di setiap keluarga kepada anak mereka di Desa Beka. Tradisi lisan ini pun berupa nasihat agar tidak mengganggu hutan, seperti menebang pohon, bahkan memotong kayu hasil pohon yang tumbang karena lapuk atau badai. Kayu pohon yang tumbang boleh dimanfaatkan jika ditujukan untuk kepentingan masyarakat, contohnya pembangunan masjid.

Maka, masyarakat Desa Beka memuliakan hutan ini dengan menaruh beberapa seserahan di dalam hutan, dan juga melakukan ritual nitambuli. Seserahan itu berisi lima macam seperti pinang, tembakau, dan kapur sirih, yang merupakan tanda persahabatan antara manusia dan alam sebagai ciptaan Tuhan.

Sedangkan nitambuli adalah ritual yang biasanya umum dilakukan oleh orang Kaili dalam upacara pernikahan dan rasa syukur. Ritualnya berupa penancapan tongkat ke tanah dengan mengucapkan doa-doa tertentu.

"Karena sama-sama makhluk Allah subhanahu wa ta'ala tidak boleh ganggu. Kita tidak ganggu mereka, mereka tidak ganggu kita," terang Alam.

Seserahan masyarakat Desa Beka yang ditaruh di dalam Hutan Ranjuri. Seserahan ini adalah simbol interaksi antara manusia dan alam sebagai ciptaan Tuhan yang harus berdampingan. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Alam juga seorang guru di pesantren yang paham betul akan ajaran agama. Dengan melakukan kegiatan tradisional kepada hutan, bukan berarti syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi bagaimana berinteraksi sesama makhluk Tuhan supaya alam terjaga.

"Islam datang ke Sulawesi Tengah ini seperti para wali di Jawa," kata Alam. "Ulama-ulama mengadopsi tradisi budaya yang sudah ada di sini agar bisa diterima, artinya kan agama dan tradisi bisa jalan bersama-sama untuk memperbaiki alam di sini."

Dia pun mengutip surah ar-Rum ayat 41 yang berbunyi: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".