Nationalgeographic.co.id―Padatnya perkotaan membuat masyarakat membutuhkan ruang hijau untuk bernafas lega. Solusi yang dibutuhkan adalah hutan kota, kawasan yang dipenuhi vegetasi hijau yang berfungsi menyerap karbon.
Peran hutan lainnya yang tidak kalah penting, sebagai upaya mitigasi dari bencana alam, seperti erosi dan banjir. Namun, di sisi lain, hutan tidak bisa diperlakukan begitu saja sebagai penopang kebutuhan udara segar.
Perlu ada upaya memuliakan hutan agar kelestarian lingkungannya berkelanjutan. Mungkin upaya yang patut dicontoh adalah Hutan Ranjuri di Desa Beka, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Letaknya ini tidak jauh dari pusat ibu kota Sulawesi Tengah, Palu, sejauh 13 kilometer.
Umumnya, oleh masyarakat Sigi, Hutan Ranjuri disebut sebagai "hutan purba" karena di dalamnya terdapat beberapa pohon yang usianya 600―700 tahun. Dengan pepohonan yang berusia tua dan batangnya yang sangat tebal, menandakan ada banyak karbon yang telah diserapnya.
Hutan Ranjuri dengan luas 12 hektare itu terbukti sebagai pelindung Desa Beka dari bencana banjir dan longsor. Alam Sriyanto, anggota lembaga adat Desa Bekka, saat dijumpai hari Sabtu, 24 Juni 2023, mengatakan bahwa curah hujan tinggi pernah mengguyuri Sigi.
Hujan itu membuat air dari dataran tinggi turun dengan deras, membawa material bebatuan besar dan pasir. Hal ini bisa mengancam kehidupan desa. Namun, Hutan Ranjuri berhasil membendung airnya serta menahan bebatuan dan pasir yang jatuh.
"Tidak ada [Hutan] Ranjuri, tidak ada Desa Beka," kata Alam Sriyanto, anggota lembaga adat Desa Bekka saat dijumpai Sabtu, 24 Juni 2023. Pertemuan itu adalah "Cerita dari Tapak: Seni Merawat Hutan" yang diadakan sebagai rangkaian Festival Lestari 5 yang diadakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) di Kabupaten Sigi.
Alam melanjutkan, Hutan Ranjuri juga berfungsi sebagai penghidupan desa yang menyediakan sumber daya alam yang sangat penting: air. Hutan menyerap air terjun di baliknya yang turun sangat deras.
Air itu masuk ke dalam tanah, dan keluar sebagai sungai-sungai kecil dengan air yang bersih. Inilah yang kerap dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan seperti air minuman dan untuk mencuci pakaian.
"[Hutan Ranjuri] ini adalah sesuatu yang ingin kita terus dorong dengan penguatan, baik dari pemerintah daerah, pemerintah desa, termasuk dengan penguatan komitmen dengan masyarakat, lembaga adat yang teguh akan keberadaan hutan ini bisa menghasilkan manfaat yang secara ekonomi pada masyarakat," kata Mohammad Afit, Ketua Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Sigi, dalam perjumpaan yang sama.
Memuliakan Hutan Ranjuri dengan adat, agama, dan pemerintah
Ranjuri berasal dari bahasa Kaili yang telah berubah dialek dari ran yang berarti "masuk" atau "ke dalam", dan syuri "pepohonan syuri". "Syuri adalah pohon besar dengan akarnya yang timbul. Sekarang sudah susah―langka sekali menemukannya," kata Alam.
Nama Desa Beka sendiri berarti desa "terbelah dua" dalam bahasa Kaili. Menurut mitologi Kaili, pernah ada batu yang terbelah di dalam hutan. Dari batu yang terbelah ini, muncul seorang bayi yang menjadi leluhur desa Beka.
Pengetahuan mitologi Kaili ini diwariskan secara lisan di setiap keluarga kepada anak mereka di Desa Beka. Tradisi lisan ini pun berupa nasihat agar tidak mengganggu hutan, seperti menebang pohon, bahkan memotong kayu hasil pohon yang tumbang karena lapuk atau badai. Kayu pohon yang tumbang boleh dimanfaatkan jika ditujukan untuk kepentingan masyarakat, contohnya pembangunan masjid.
Maka, masyarakat Desa Beka memuliakan hutan ini dengan menaruh beberapa seserahan di dalam hutan, dan juga melakukan ritual nitambuli. Seserahan itu berisi lima macam seperti pinang, tembakau, dan kapur sirih, yang merupakan tanda persahabatan antara manusia dan alam sebagai ciptaan Tuhan.
Sedangkan nitambuli adalah ritual yang biasanya umum dilakukan oleh orang Kaili dalam upacara pernikahan dan rasa syukur. Ritualnya berupa penancapan tongkat ke tanah dengan mengucapkan doa-doa tertentu.
"Karena sama-sama makhluk Allah subhanahu wa ta'ala tidak boleh ganggu. Kita tidak ganggu mereka, mereka tidak ganggu kita," terang Alam.
Alam juga seorang guru di pesantren yang paham betul akan ajaran agama. Dengan melakukan kegiatan tradisional kepada hutan, bukan berarti syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi bagaimana berinteraksi sesama makhluk Tuhan supaya alam terjaga.
"Islam datang ke Sulawesi Tengah ini seperti para wali di Jawa," kata Alam. "Ulama-ulama mengadopsi tradisi budaya yang sudah ada di sini agar bisa diterima, artinya kan agama dan tradisi bisa jalan bersama-sama untuk memperbaiki alam di sini."
Dia pun mengutip surah ar-Rum ayat 41 yang berbunyi: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".
Sehingga, kesadaran bagi umat muslim untuk menjaga kelestarian lingkungannya diperlukan dengan cara apa pun, termasuk lewat tradisi. Alam berpendapat, Islam punya pokok pikiran untuk konservasi, sedangkan tradisi punya pengetahuan tentang cara konservasinya. Hal itu harus "dilakukan secara seimbang, tidak boleh berat sebelah," lanjutnya.
Alam mengatakan bahwa organisasi Islam yang ada di lingkungan Desa Beka sering dilibatkan dalam perlindungan Hutan Ranjuri, seperti rutinitas penanaman pohon.
Pemerintah daerah pun mendukung dengan usaha pelestarian Hutan Beka ini. Afit mengatakan, pemerintahan kabupaten sedang menuju arah perekonomian hijau yang sebenarnya sudah digagas sejak lama, sebelum masuknya Sigi dalam LTKL.
"Kami ada usaha untuk menanam 10.000 pohon dan satu juta pohon bambu," kata Afit. Usaha hijau ini merupakan kesadaran Pemerintah Kabupaten Sigi akan bahaya bencana yang mengancam masyarakat.
"Upaya permerintah ini berbentuk Program Sigi Hijau," jelas Afit. Lewat program ini, usaha pelestarian lingkungan digencarkan, tetapi bersamaan dengan investasi perekonomian yang berkelanjutan.
#SayaPilihBumi