Nationalgeographic.co.id—Sepanjang sejarah Kekaisaran Jepang, ada banyak pemberontakan, entah itu dipelopori oleh samurai, rakyat, atau penulis. Pemberontakan itu terjadi karena mempertahankan wilayah, melawan kepemimpinan Kaisar Jepang, atau mempertahankan kepercayaan.
Namun, ada beberapa pemberontak yang menorehkan sejarah. Semangat dan perjuangan mereka terus dikenang hingga kini oleh masyarakat Jepang.
Sakamoto Ryoma
Revolusioner yang paling dicintai dalam sejarah Kekaisaran Jepang, perjuangan dan pencapaian Sakamoto Ryoma terus dikenang hingga hari ini. Dia sering menjadi kameo di anime, manga, dan gim video.
Ia adalah putra dari keluarga samurai berpangkat rendah dari Prefektur Tosa. “Sakamoto menjadi aktif secara politik setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1858,” tulis Ced Yong di laman Owlcation.
Lima tahun sebelumnya, Keshogunan Tokugawa mengalami penghinaan terburuk di bawah kebijakan tempur Amerika. Kekaisaran yang terisolasi itu dipaksa untuk membuka pintunya bagi perdagangan luar negeri.
Sakamoto yakin bahwa keshogunan tidak lagi mampu mengatur Kekaisaran Jepang. Maka, Sakamoto bergabung dengan kaum revolusioner dan pemberontak lainnya untuk mengembalikan kekuasaan ke takhta Kekaisaran Jepang. Moto mereka adalah “Hormati Kaisar, Usir Orang Barbar.”
Selanjutnya, ahli pedang akan berperan penting dalam menggulingkan Keshogunan Tokugawa. Di antara banyak perjuangannya, pencapaian terbesarnya adalah menegosiasikan aliansi antara provinsi saingan Satsuma dan Choshu. Aliansi ini membuka jalan bagi pasukan tangguh yang dapat menantang kekuatan keshogunan.
Saat berada di atas kapal di lepas pantai Nagasaki, Sakamoto juga menulis “Delapan Proposal Saat Berlayar” yang terkenal. Tesis ini menguraikan kebutuhan politik, sosial, dan militer masa depan Kekaisaran Jepang yang modern.
Tragisnya, Sakamoto tidak pernah melihat usahanya membuahkan hasil. Ia kemudian dibunuh oleh loyalis Tokugawa pada tahun 1867.
Amakusa Shiro
Kekristenan sangat tidak disukai oleh banyak penguasa Kekaisaran Jepang abad pertengahan dan pra-modern. Meskipun demikian, kepercayaan tersebut tumbuh subur di beberapa bagian Kekaisaran Jepang, seperti di Kyushu.
Upaya keshogunan untuk menghancurkan pengikut Kristen ini kemudian menyebabkan tragedi dan pembantaian terkenal. “Salah satunya adalah penyaliban 25 orang Kristen di Nagasaki pada tahun 1597,” ujar Yong.
Pada tahun 1637, persekusi terus berlanjut di Shimabara dan mengakibatkan pemberontakan singkat. Pemberontakan itu dipimpin oleh seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Amakusa Shiro Tokisada.
Didukung oleh biarawan Yesuit asal Portugis, Amakusa yang karismatik mampu mengumpulkan sejumlah besar rakyat di Domain Shimabara. Banyak dari petani dan nelayan ini diam-diam beragama Kristen dan sudah lama frustrasi dengan Keshogunan Tokugawa.
Sedihnya, nasib Amakusa berbalik setelah sempat mengambil alih Kastel Hara. Pemuda itu bahkan dikhianati dan ditangkap. Setelah dieksekusi, kepalanya dipajang di depan umum selama berhari-hari sebagai peringatan bagi calon pemberontak.
Namun, dengan kematiannya sebagai seorang martir, prajurit yang dieksekusi dianggap sebagai orang suci oleh orang Kristen Jepang. Dia mendapatkan rasa hormat sebagai pahlawan muda dengan gagah berani, meskipun tidak berhasil, melawan tirani Keshogunan Tokugawa.
Berkat film The Last Samurai, banyak orang non-Jepang mengetahui kisah samurai veteran yang memberontak melawan modernisasi di Kekaisaran Jepang.
Karakter Ken Watanabe dalam film tersebut diilhami oleh samurai Satsuma dan panglima perang, Saigo Takamori.
Saigo menguasai Provinsi Satsuma dan pada tahun 1877, melancarkan Pemberontakan Satsuma yang singkat. Saigo kemudian meninggal karena luka yang dideritanya selama pemberontakan ini. Bagaimana ia meninggal masih menjadi perdebatan hingga kini.
Banyak orang Jepang masih menganggap panglima perang Satsuma sebagai samurai yang gagah berani. Ia tewas dalam pertempuran mempertahankan kehormatan samurai. “Namun sebenarnya, motivasinya untuk Pemberontakan Satsuma selalu dipertanyakan,” Yong menambahkan.
Pemberontakan ini didukung oleh para samurai yang tidak terpengaruh oleh modernisasi. Seperti Saigo, mereka menginginkan hak istimewa dan harga diri feodal mereka dipulihkan.
Terlepas dari itu, Saigo Takamori hidup dalam legenda sebagai pahlawan terkemuka di zaman itu. Ia menjadi salah satu pemberontak Jepang paling terkenal dalam sejarah Kekaisaran Jepang.
Taira no Masakado
Berkat gim video Shin Megami Tensei, samurai Periode Heian Taira no Masakado menjadi terkenal dalam budaya populer.
Dalam penggambaran digital ini, Masakado biasanya digambarkan sebagai pemberontak Kekaisaran Jepang yang saleh. Bahkan, dendamnya terus menghantui Kekaisaran Jepang setelah dia dipenggal.
Gim Shin Megami Tensei juga menggambarkan Masakado sebagai penjaga spiritual Tokyo. Dalam permainan ini, Masakado biasanya mewakili keinginan manusia yang tidak terikat dengan doktrin agama atau kelangsungan hidup.
Namun dalam kehidupan nyata, Masakado adalah pemilik tanah kaya yang memimpin pemberontakan melawan istana Kekaisaran Jepang. Masakado memberontak karena ketidakpuasan dengan hukum waris.
Dia berulang kali diinterogasi karena membunuh kerabat yang menyerbu tanahnya. Sebelum dikalahkan, ia juga berhasil menaklukkan delapan provinsi di wilayah Kanto.
Meskipun tidak berhasil dan kemudian dipenggal, pemberontak itu mendapatkan rasa hormat yang besar dari rakyat jelata. Bahkan, rasa hormat yang membuatnya didewakan sebagai dewa Shinto.
Pada saat yang sama, pemenggalan Masakado juga menimbulkan. Ada klaim bahwa jika dendam sang samurai tidak diredakan, Edo akan mengalami bencana besar. Oleh karena itu, kuil-kuil di Tokyo yang didedikasikan untuk Masakado terus dipelihara dengan baik.
Samurai yang didewakan mungkin bukan penjaga resmi Tokyo dalam kepercayaan Jepang yang sebenarnya. Tapi Masakado dipercaya sebagai satu roh yang tidak akan diusik oleh orang Tokyo.
Mishima Yukio
Mishima Yukio adalah salah satu penulis paling berpengaruh dan sukses di Kekaisaran Jepang modern.
Karya-karyanya banyak, rumit, dan sulit dipahami, bahkan jika dibaca dalam bahasa Jepang. Sepanjang hidup, ia tak pernah lepas dari kontroversi. Kontroversi itu berasa dari rumor orientasi seksnya, kematian, serta pilihan politiknya.
Dia secara terbuka menyesali pernyataan Kaisar Hirohito atas kedewaan setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Dia juga membenci westernisasi dan menganggapnya merupakan tindakan yang memalukan.
Pada tahun 1967, Mishima secara sukarela mendaftar di Angkatan Darat Bela Diri Jepang. Pada tahun berikutnya, ia mendirikan Tatenokai, sebuah milisi yang didedikasikan untuk nilai-nilai klasik dan pemujaan Kaisar Jepang.
Pandangannya yang ekstrem, terutama keyakinannya bahwa Hirohito harus turun takhta, tidak menemukan resonansi dengan kekaisaran.
Pada tahun 1970, Mishima yang tidak puas menyusup ke kamp Ichigaya Tokyo dan melakukan kudeta. Kudeta ini, meskipun hanya berlangsung beberapa jam, akan dicatat dalam sejarah sebagai Insiden Mishima yang terkenal.
Intinya, kudeta Mishima sudah gagal sejak awal. Penulis hanya memiliki empat pengikut. Bahkan ketika mencoba menyampaikan pidato, dia dicemooh oleh tentara.
Tidak terpengaruh, Mishima kemudian melakukan seppuku, yaitu ritual bunuh diri demi kehormatan yang dilakukan samurai. Tindakannya itu adalah sebuah gerakan berdarah yang merupakan akhir terakhir dari kehidupannya yang penuh warna.
Epilog yang suram ini mungkin tidak menempatkan penulis pada level yang sama dengan pemberontak sejarah Kekaisaran Jepang lainnya. Namun ia begitu teguh akan pandangannya soal kaisar dan bahkan rela mati demi mewujudkannya.
Dari samurai hingga penulis, semangat juang para pemberontak itu terus dikenang hingga kini di Kekaisaran Jepang.