Nationalgeographic.co.id—Jika Anda sedang berjalan di hutan dan mendengar tawa misterius atau suara seperti pohon tumbang, berhati-hatilah. Boleh jadi Anda telah memasuki wilayah jenis tengu yang disebut guhin.
Roh-roh nakal ini ditugaskan oleh kami gunung untuk membuat manusia memiliki rasa kagum dan takut terhadap alam mereka. Lantas apa sebenarnya guhin ini, dan seberapa bahaya mereka dalam mitologi Kekaisaran Jepang?
“Di zaman modern, guhin biasanya digambarkan sebagai makhluk berkepala anjing, berbeda dengan burung kotengu atau daitengu berhidung panjang,” jelas Zack Davisson pada laman hyakumonogatari.
Tidak ada deskripsi yang menjelaskan seperti apa wujud fisik guhin dalam sumber-sumber zaman Edo. Guhin selalu bermanifestasi sebagai kekuatan misterius di hutan dan tidak pernah benar-benar terlihat.
“Saya tidak dapat menemukan dari mana asal mula gambaran guhin sebagai makhluk anjing,” ungkap Zack, “penjelasan tertua yang dapat saya temukan dengan deskripsi tersebut berasal dari Ensiklopedia Binatang dan Monster dalam Mitos, Legenda, dan Cerita Rakyat berbahasa Inggris tahun 1969.”
Menurut Zack, deskripsi guhin sebagai serigala antropomorfik lebih sering ditemukan dalam sumber-sumber berbahasa Inggris dan jarang muncul dalam bahasa Jepang.
Tidak semua tempat di Kekaisaran Jepang menganggap guhin sebagai spesies tengu tersendiri. Di prefektur Aichi dan Okayama, serta distrik Kotohira di prefektur Kagawa, guhin hanyalah istilah lokal untuk tengu.
Di Kekaisaran Jepang, terdapat berbagai katagori tengu yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda. Disebutkan, daitengu adalah adalah tengu yang menempati level paling tinggi.
Ada juga ona tengu, yang konon memiliki masa lalu sebagai biarawati Buddha. Karena sifatnya yang terlalu sombong, ia berubah menjadi tengu.
Dari berbagai jenis tengu dalam mitos di Kekaisaran Jepang, Guhin dianggap sebagai tingkatan terendah dari tengu. Mereka adalah penipu biasa, jauh dari tingkatan daitengu dan kotengu yang lebih tinggi.
Dikatakan bahwa sementara daitengu dan kotengu menempati puncak-puncak suci di Jepang, guhin tinggal di berbagai bukit dan gunung tak bernama.
Guhin diidentikkan dengan pemujaan gunung sangakushigo dan dewa-dewa cerita rakyat kuno yang berasal dari Jepang sebelum agama Buddha diperkenalkan dari Korea.
Meminjam istilah Shakespeare, guhin adalah dewa-dewi hari kerja. Keberadaan mereka terjalin erat dengan kehidupan manusia, dan mereka ada di bumi, bukan di alam surga.
Mereka dikatakan sebagai pelayan kami gunung. Tugas utama mereka adalah untuk menginspirasi manusia dengan rasa takut dan kekaguman terhadap alam gunung.
Guhin dikatakan sering menyebabkan seseorang yang berada di hutan mendengar suara keras pohon ambruk, meskipun tidak benar-benar terjadi robohnya pohon.
Mereka juga menjahili manusia dengan membuat hujan kerikil yang dilemparkan dari tempat yang misterius. Belum cukup, mereka juga membuat suara cekikikan atau cahaya misterius yang melayang di dalam hutan.
Dalam koleksi Sanshu Kidan (1764), diceritakan tentang seorang pria yang mengembara jauh ke dalam pegunungan. Ketika sedang mengumpulkan dedaunan, ia diserang badai hujan es yang terjadi secara tiba-tiba dan ganas.
Melihat kejadian aneh tersebut, sontak pria itu melarikan diri ke sebuah desa. Penduduk desa mengatakan kepada sang pria bahwa hutan itu dihuni oleh guhin. Konon, siapa pun yang berani mengambil satu daun di hutan itu, maka ia akan mati.
Selain kisah tersebut, tidak ada catatan tentang guhin yang menyebabkan kematian pada manusia. Mereka tidak memiliki kekuatan ilahi seperti dai dan kotengu. Namun, mereka tetaplah makhluk gaib.
“Dikatakan jika Anda tidak mengindahkan peringatan guhin dan dengan ceroboh merusak alam, mereka masih bisa membawa bencana bagi keluarga manusia,” jelas Zack.
Guhin Mochi
Penting bagi mereka yang bekerja di pegunungan dan hutan seperti penebang kayu untuk menjaga hubungan baik dengan guhin. Mereka mengadakan festival untuk mempersembahkan kue beras mochi yang dianggap sebagai makanan favorit para guhin.
Sozan Chomon Kishu (1849), mencatat kebiasaan di provinsi Mino yang disebut Guhin Mochi. Guhin Mochi merupakan mochi yang diletakkan di hutan untuk menenangkan para guhin di pegunungan, dan di tempat-tempat seperti Gifu dan Nagano. Hingga saat ini ritual dan festival tersebut masih dipertahankan.
Sankidai Gongen dari Gunung Misen
Kebalikan dari kebanyakan legenda guhin, di bagian barat prefektur Hiroshima, guhin justru dianggap sebagai tengu yang paling tinggi.
Menurut legenda setempat, sesosok guhin bernama Sankidai Gongen tinggal di Gunung Misen di kuil Miyajima. “Ini adalah kami utama sekte pemuja tengu lokal dari Buddhisme Shingon,” jelas Zack.
Di hutan Ujina, konon ada aturan bahwa tidak boleh ada satu daun pun yang ditebang dan hanya pohon yang sudah mati yang boleh dipanen.