Nationalgeographic.co.id—Tengu adalah roh berwujud manusia-burung yang dapat dijumpai dalam mitologi Jepang. Mulanya ia dianggap sebagai sebuah gangguan, namun pada akhir abad ke-19, Tengu dianggap sebagai dewa pelindung.
“Roh Tengu Jepang adalah contoh sempurna tentang bagaimana mitologi Jepang sering kali menggabungkan potongan-potongan dari berbagai agama untuk menciptakan sesuatu yang unik dari Jepang,” Yordan Zhelyazkov, pada laman Symbolsage.
Siapakah Tengu dalam Mitologi Jepang?
Dinamai berdasarkan mitos Iblis Tiongkok, tiangaou (anjing surgawi) dan berbentuk seperti Garuda, dalam kisah Hindu. Tengu Jepang adalah roh yokai dalam agama Shinto, serta salah satu antagonis terbesar dalam agama Buddha Jepang.
Apakah ini terdengar menarik sekaligus membingungkan Anda? “selamat datang di mitologi Jepang!” sambut Yordan.
Lantas apa sebenarnya Tengu itu? Singkatnya, yokai Shinto ini adalah roh atau setan dengan ciri-ciri seperti burung. Dalam banyak mitos kuno, mereka digambarkan sepenuhnya dengan karakteristik hewan. Jika terdapat aspek kemanusiaan, itu hanya secuil saja.
Namun, menurut Yordan, saat ini Tengu lebih populer dengan gagasan roh-roh manusia yang telah meninggal.
“Dari burung besar dengan tubuh yang sedikit mirip manusia, mereka akhirnya berubah menjadi manusia dengan sayap dan kepala burung,” terang Yordan.
Beberapa abad kemudian, mereka digambarkan, bukan dengan kepala burung, tetapi hanya dengan paruh. Pada akhir zaman Edo (abad ke-16 hingga 19), mereka tidak lagi digambarkan dengan ciri-ciri seperti burung. Alih-alih berparuh, mereka memiliki hidung yang panjang dan wajah merah.
Ketika Tengu menjadi lebih "manusiawi" dan berubah dari roh menjadi setan, mereka juga menjadi lebih kuat dan kompleks.
Perbedaan antara roh-roh Tengu Jepang awal dan setan Tengu yang muncul belakangan sangat mencolok. Hal ini membuat para penulis menggambarkan mereka sebagai dua makhluk yang terpisah: Kotengu dan Diatengu.
Kotengu, Tengu paling Awal
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR