Awalnya, warga tidak tahu jenis pohon yang tumbuh di tepi mata air itu. Lalu, bijinya yang berjatuhan di tanah dibawa oleh warga dan ditunjukkan kepada tetua kampung. Ketika ditanyakan, ternyata tetua kampung pun tidak tahu.
Akhirnya biji kopi itu dibawa ke Reo oleh orang Colol dari suku Ongga yang bernama Babal. Di masa silam, Reo adalah kota dagang di pesisir utara Manggarai Timur yang maju. Agaknya orang-orang di sana yang biasa berdagang bisa memberikan jawaban.
Tiba di Reo, Babal berjumpa dengan orang Bugis yang menyebut biji-bijian yang dibawanya sebagai kahawa, berasal dari kata qahwa dalam bahasa Arab yang berarti minuman yang diseduh. Orang Bima menggunakan kata kahawa atau qahwa/qohwah untuk menyebut kopi.
Si orang Bugis menyarankan, pohon kopi ini harus dikembangkan di Colol, terlebih jika jumlahnya cukup banyak. Maka sekembalinya dari Reo, Babal mulai menanam kopi. Warga pun mengikuti jejaknya menanam kopi di lahan-lahan garapan, termasuk di area terluas di hutan-hutan adat mereka.
Pola tanam sembarang saja, tidak mengikuti tata kelola kebun kopi pada umumnya. Sejak dahulu, warga menerapkan agroforestry, membudidayakan tanaman pangan dan kopi di hutan. Maka ada yang menyebut perkebunan kopi warga Colol bukanlah perkebunan tetapi hutan kopi!
“Kopi yang tumbuh pertama itu kopi robusta atau kopi tuang,” Dominikus menerangkan sembari beranjak meninggalkan lokasi pohon kopi pertama yang ditemukan di Colol.
Sebenarnya apa yang dijelaskan Dominikus sama persis dengan lirik lagu kopi dengan irama tradisional Colol yang biasa dinyanyikan saat ada upacara-upacara adat. Sebentuk tanda terima kasih kepada alam yang telah memberikan pohon kopi kepada warga Colol.
Kopi menjadi tanaman penting dan diritualkan oleh warga Colol. Sebelumnya, warga Manggarai hanya meritualkan tanaman yang dipandang penting secara adat, antara lain padi dan jagung. Tetapi belakangan, kopi ikut diritualkan.
Untuk meritualkan tanaman tidak bisa sembarangan. “Pada awal-awal ada penolakan kopi diritualkan, terutama dari golongan tua,” cerita Romo Inosensius Sutam.
Dia merupakan pastor dari Keuskupan Ruteng, Manggarai Tengah. Semasa kecil, pastor yang juga antropolog ini punya pengalaman pribadi soal ritual kopi.
Ia masih ingat ucapan neneknya, “Kita tidak makan ini barang, kita tidak makan kopi. Dia menyebabkan kita punya ritus-ritus tidak ada.”
Pada saat itu ritus di Manggarai hanya untuk tanaman pangan yang langsung dimakan, sedangkan tanaman kopi dan lain-lain itu bukan tanaman ritual.