Lembah Colol, Sesap Riwayat Cerita Kopi Rakyat Manggarai

By National Geographic Indonesia, Selasa, 11 Juli 2023 | 16:10 WIB
(FERI LATIEF)

 

    

Oleh: Feri Latief

     

Nationalgeographic.co.id—Ada keramaian di Lembah Colol, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, pada pertengahan Juni silam. Warga menggelar Festival Kopi Colol sebagai upaya memperkuat posisi mereka sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia.

Pagi hari, hawa dingin masih mengigit. Namun warga Desa Ngkiong Dora, Manggarai Timur, sudah sibuk memetik kopi di kebun masing-masing.

Ngkiong Dora adalah satu dari lima desa penghasil kopi di Lembah Colol. Lainnya yaitu Desa Colol, Ulu Wae, Wejang Mali, dan Rende Nao. Kelima desa ini masuk dalam kesatuan adat Colol.

Pohon kopi sudah lama tumbuh di Colol. Jika ditanya sejak kapan, tidak ada yang mengetahui secara pasti. Menurut ketua adat atau tua teno—dalam bahasa Manggarai—Dominikus Taluk (66 tahun), kopi tumbuh di Lembah Colol yang berada di ketinggian 1.400-1.600 mdpl.

Lalu, Dominikus mengajak untuk mendatangi lokasi pertama ditemukannya tanaman kopi, yang berjarak seratusan meter di belakang Rumah Adat atau Rumah Gendang atau Mbaru Gendang Kampung Biting di Desa Ulu Wae.

Sang Tua Teno berjalan menuju mata air yang bersisian dengan pohon besar berdiameter sekitar tiga meter. Konon nama Desa Ulu Wae berasal dari mata air itu. Ulu berarti kepala, sedang Wae bermakna air, kepala air atau mata air. Dan ini bukan satu-satunya, masih banyak mata air lain di wilayah Colol nan subur.

Di bawah pohon besar—pohon uwu—dan di samping mata air itulah pohon-pohon kopi tumbuh rimbun. Dominikus menunjuk pohon kopi yang tepat berada di tepi mata air. 

(FERI LATIEF)

“Jadi di sini pertama ada satu pohon enau, tapi sekarang tidak ada lagi. Kopi ada di sini satu, di sini satu, di sini satu, dan dua di sebelah sana. Hanya lima pohon, tapi bukan ditanam. Artinya alam yang kasih,” ia menerangkan.

Awalnya, warga tidak tahu jenis pohon yang tumbuh di tepi mata air itu. Lalu, bijinya yang berjatuhan di tanah dibawa oleh warga dan ditunjukkan kepada tetua kampung. Ketika ditanyakan, ternyata tetua kampung pun tidak tahu.

Akhirnya biji kopi itu dibawa ke Reo oleh orang Colol dari suku Ongga yang bernama Babal. Di masa silam, Reo adalah kota dagang di pesisir utara Manggarai Timur yang maju. Agaknya orang-orang di sana yang biasa berdagang bisa memberikan jawaban.

Tiba di Reo, Babal berjumpa dengan orang Bugis yang menyebut biji-bijian yang dibawanya sebagai kahawa, berasal dari kata qahwa dalam bahasa Arab yang berarti minuman yang diseduh. Orang Bima menggunakan kata kahawa atau qahwa/qohwah untuk menyebut kopi.

Si orang Bugis menyarankan, pohon kopi ini harus dikembangkan di Colol, terlebih jika jumlahnya cukup banyak. Maka sekembalinya dari Reo, Babal mulai menanam kopi. Warga pun mengikuti jejaknya menanam kopi di lahan-lahan garapan, termasuk di area terluas di hutan-hutan adat mereka.

Pola tanam sembarang saja, tidak mengikuti tata kelola kebun kopi pada umumnya. Sejak dahulu, warga menerapkan agroforestry, membudidayakan tanaman pangan dan kopi di hutan. Maka ada yang menyebut perkebunan kopi warga Colol bukanlah perkebunan tetapi hutan kopi!

“Kopi yang tumbuh pertama itu kopi robusta atau kopi tuang,” Dominikus menerangkan sembari beranjak meninggalkan lokasi pohon kopi pertama yang ditemukan di Colol.

Sebenarnya apa yang dijelaskan Dominikus sama persis dengan lirik lagu kopi dengan irama tradisional Colol yang biasa dinyanyikan saat ada upacara-upacara adat. Sebentuk tanda terima kasih kepada alam yang telah memberikan pohon kopi kepada warga Colol.

Kopi menjadi tanaman penting dan diritualkan oleh warga Colol. Sebelumnya, warga Manggarai hanya meritualkan tanaman yang dipandang penting secara adat, antara lain padi dan jagung.  Tetapi belakangan, kopi ikut diritualkan.

Untuk meritualkan tanaman tidak bisa sembarangan. “Pada awal-awal ada penolakan kopi diritualkan, terutama dari golongan tua,” cerita Romo Inosensius Sutam.

Dia merupakan pastor dari Keuskupan Ruteng, Manggarai Tengah. Semasa kecil, pastor yang juga antropolog ini punya pengalaman pribadi soal ritual kopi.

Ia masih ingat ucapan neneknya, “Kita tidak makan ini barang, kita tidak makan kopi. Dia menyebabkan kita punya ritus-ritus tidak ada.”

Pada saat itu ritus di Manggarai hanya untuk tanaman pangan yang langsung dimakan, sedangkan tanaman kopi dan lain-lain itu bukan tanaman ritual.

“Tetapi kemudian orang melihat bahwa sesuatu itu menjadi penting kalau dia menjadi nadi ekonomi dan itu terjadi terutama yang meledak harganya itu [kopi] terutama tahun ‘60-an, ‘70-an, awal ‘80-an,” tutur Romo Inosensius.

(FERI LATIEF)

Penghargaan orang Manggarai terhadap hasil bumi tak lepas dari pemahaman kosmologis. Orang Manggarai percaya, bahwa kehidupan ini awalnya kosong, yang ada hanya Mori Keraeng atau Tuhan, dengan anaknya yang bernama Nabit Alang yang artinya rahmat semesta.

Konon Nabit Alang memohon kepada sang ayah agar tubuhnya dijadikan lukisan alam semesta. Keinginannya ditolak dan ia dibunuh. Namun ajaibnya dari mata Nabit Alang tumbuhlah matahari, bulan dan bintang.  Dari tubuhnya tumbuhlah semak dan hutan, dari darahnya itu tumbuh air dan laut. Lalu kemudian dari nadinya itu ada sungai-sungai, dari napasnya timbul angin.

Tulangnya jadi batu dan logam dan dari jantungnya muncullah dua manusia yang pertama, Welarunus yang berarti ibu kehidupan dan Kambulawang yang bermakna dia yang dirindukan. Dari paru-parunya muncul hewan dan beberapa tanaman yang dimakan oleh manusia.

Tanaman pangan padi, jagung dan sejenisnya memiliki kisah pengorbanan darah manusia. Maka orang Manggarai sangat menghormati berbagai jenis tanaman dengan berbagai ritual adat serta cara menyimpan benih tanaman yang penuh dengan rasa hormat.

Romo Inosensius ingat betul ayahnya baru menanam kopi sekitar 1950-an. Sedangkan lahan lain untuk tanaman pangan. Pada 1980-an, masih ada orang yang belum menanam keseluruhan tanahnya dengan kopi, termasuk keluarganya. “Karena kami ingin tanah kami itu masih ditanami dengan tanaman pangan, dengan demikian kami mempertahankan ritus,” Romo Inosensius mengenang.

Keadaan berubah setelah harga kopi meledak pada 1960-an dan kopi membawa kesejahteraan. Kopi pun menjadi simbol sentosa yang disandikan dengan rumah adat dalam istilah Manggarai disebut Peko, Pe adalah rumah dan Ko adalah kopi.

Terutama pada 1980-an, tanaman kopi sudah masuk dalam ritual. Keluarganya membuat ritual kopi pada 1979. “Berarti dia [kopi] dilihat sakral, penting,” ungkap Romo Inosensius.

Sejarah kopi di Manggarai memiliki berbagai versi. Warga Colol percaya kopi tumbuh sendiri sebagaimana disampaikan Tua Teno Dominikus Taluk. Kopi yang tumbuh pertama kali di sini adalah jenis robusta.

Jika menilik lini waktu perkopian di Flores, wilayah yang paling dahulu menanam dan resmi menjadi industri kopi adalah Hokeng, Flores Timur, pada 1920. Jenis kopi yang ditanam oleh insan gereja Katholik adalah robusta. Bisa jadi sebelum industrinya dibuka resmi, mereka sudah mulai uji coba menanam pada tahun-tahun sebelumnya.

Bukan mustahil penyebaran kopi ke seluruh Flores terjadi setelah era Hokeng. Baik disebar oleh romo-romo atau pastor-pastor yang membawa misi atau hewan seperti burung dan yang lain.

Jadi tidak heran bila kopi yang tumbuh pertama kali di Colol adalah robusta atau kopi tuang. Disebut kopi tuang karena orang Manggarai menyebut rohaniawan sebagai tuan guru.

Menurut Romo Inonsensius, masyarakat Flores belum mengenal kopi sampai abad ke-19. “Tidak ada literatur yang menceritakan itu. Sebaliknya, ada literatur yang menceritakan kehadiran orang Eropa pada abad ke-19 membawa tanaman-tanaman yang baru dan mereka mau mencoba, salah satunya kopi.”

“Walaupun di Colol sudah dikatakan sudah dulu-dulu sekali [kopi sudah masuk], tapi dari literatur dan cerita yang bisa kita rekam itu sebenarnya mungkin tahun seribu sembilan ratus belasan,” ia menambahkan.

Pada 1920-an, Pemerintah Kolonial Belanda mencanangkan wilayah Colol sebagai pusat pengembangan tanaman kopi. Sejak saat itu, kopi dikonsumsi cukup luas. Satu dekade kemudian, pada 1930-an, berbarengan dengan sawah, kopi menjadi program dari pemerintahan Manggarai.

(FERI LATIEF)

Saat itu, yang berkuasa adalah Alexander Baroek, Raja Manggarai. Sejak itulah sawah pertama kali dikembangkan di Flores. Hasilnya, pada 1940-an, semuanya sudah menjadi komoditi.

Pemerintah Kolonial Belanda pernah menyelenggarakan kompetisi perkebunan kopi. Salah satu pemenangnya adalah petani kopi asal Colol. Ia mendapat hadiah berupa bendera Belanda dengan tulisan “PERTANDINGAN KEBOEN KOPI, 1923.” Kopi Colol semakin naik daun sampai akhirnya menembus pasar dunia.

Kopi Colol mempunyai karakter yang unik. Ini diakui oleh Adri Yahdiyan, main partner Ontosoroh Coffee, perusahaan pengekspor kopi asal Yogyakarta.

“Kopi Colol unik karena salah satu dari sedikit tempat yang budidayanya cukup berpegang teguh dengan sistem organik dan dalam lingkup agroforestry sedari awal.”

Berkat budidayanya itu cita rasa yang dihasilkan pun punya kekhasan, apalagi kopi Colol organik. Karena ditanam di hutan-hutan tanpa diberi pupuk dan pestisida. Kopi tumbuh dan dibiarkan begitu saja oleh warga di tengah rimbunnya hutan.

“Perbedaan kopi organik dan non-organik bisa dirasakan dari profil cita rasanya. Kopi Colol terbaik punya cita rasa yang smooth [halus], clean, sweetness yang baik, tanpa rasa residu lainnya,” jelas Adri. Dia merupakan juri dalam lomba Cupping Coffee di Festival Kopi Lembah Colol.

Colol menghasilkan kopi jenis arabika dan robusta terbaik. Bahkan menurut Adri, pembeli kopi mancanegara menyebut kopi robusta asal Colol sebagai “The Best Asian Robusta.”

Andri tidak hanya memberi pujian untuk kopi Colol, ia juga menyumbang saran untuk perkembangan kopi Colol agar menjadi lebih baik.

“Hanya saja untuk mencapai level terbaik international, kopi Colol perlu perbaikan produktivitas, peremajaan pohon dan konsistensi pasca panen. Perlu sebuah gerakan besar yang dapat mempersatukan petani-petani kopi Colol untuk visi yang fokus pada kualitas tapi tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan,” Adri menyarankan.

Soal perbaikan kualitas ini diamini oleh Ronal Igu (28 tahun), pemuda asal Desa Colol yang sekarang terjun ke dunia usaha perkopian. Semula, ia kurang menaruh perhatian pada kopi, sekalipun orang tuanya petani kopi.

Setelah lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman, barulah ia berinteraksi dengan para petani kopi, termasuk menampung keluh kesah mereka soal betapa sulitnya memasarkan kopi.

“Saya mencoba menjawab persoalan itu dengan mempromosikan kopi yang ada di Colol melalui media sosial. Dari situlah awal mula saya bergerak di bidang kopi,” kata Ronal, mengenang.

Ia pun mulai memasarkan kopi bukan hanya di Manggarai tetapi juga provinsi lain, bahkan mengekspor kopi. Diakui, kendala yang ia hadapi ada di tingkat petani.

“Produktivitas tanaman kopi mereka semakin tahun semakin menurun. Lalu, yang berikutnya teknik budidaya yang dilakukan oleh petani di Colol masih melakukan metode konvensional. Sehingga ketika permintaan dari pasar lebih banyak tapi persedian kopinya sedikit,” ia menerangkan.

(FERI LATIEF)

Petani Colol menanam kopi tanpa jarak dan teknik budidayanya pun tidak sesuai standar. Ronal berupaya mengedukasi petani. Agar lebih efektif, ia mulai dari kebun milik orang tuanya yang belum tertata rapi. Ia melakukan rehabilitasi kebun.

Saat ia mendapat lahan baru, ia menanam kopi sesuai standar tata kelola kopi. “Dengan contoh yang saya buat di lahan baru itu nanti bisa mengedukasi petani. Mereka melihat itu dan mulai melakukan yang lebih baik,” ia menjelaskan.

Perubahan iklim juga ikut menyumbang turunnya kualitas dan kuantitas kopi seperti tahun-tahun belakang ini di Colol. Curah hujan yang berlebihan sangat berpengaruh pada hasil panen kopi.

Ronal pun mulai memikirkan mitigasi untuk perubahan iklim. Ia berkoloborasi dengan berbagai pihak untuk menemukan solusinya.

“Yang saya lakukan di Colol sendiri adalah mengajak petani untuk mulai menanam kembali pohon penaung dan juga menggantikan [pohon] kopi-kopi yang sudah tua itu dengan kopi yang baru,” Ronal menegaskan.

Ia yakin jika upaya ini berlanjut terus maka perlahan akan mengembalikan produktivitas kopi di Colol.

Dengan adanya Festival Kopi Lembah Colol yang diselengarakan oleh Pemerintah Daerah Manggarai Timur ini, ia melihat sebagai hal positif untuk promosi kopi Colol ke berbagai pihak. 

“Akan semakin banyak orang yang melirik potensi di Colol. Harapannya petani kopi mendapat manfaat dari festival yang dibuat, “Ronal menegaskan.

Ia juga mengharapkan Pemerintah Daerah terus melakukan dukungan seperti ini agar petani-petani kopi Colol lebih semangat untuk menata kebun dan perbaikan kualitas kopi.

Hal senada juga disampaikan Tua Teno Dominikus Taluk, “Semoga setelah festival ada peningkatan pemasaran kopi!”

Di festival kopi itu warga merayakan Kopi Rakyat Manggarai. Kopi yang mereka tanam oleh tangan mereka sendiri bukan dari sisa-sisa perkebunan kopi Pemerintah Kolonial Belanda. Kopi khas Lembah Colol yang organik dan orisinal.