Nationalgeographic.co.id—Setelah sukses melakukan perekrutan dan melakukan pengumpulan dana, Pasukan Salib akhirnya memulai sejarah Perang Salib kelima. Mereka melakukan perjalanan laut dan mendarat di sebelah barat kota Damietta di Mesir pada Mei 1218 M.
Rencananya adalah menembus "pintu belakang" Peradaban Islam yaitu Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Rencana ini adalah strategi baru setelah rentetan kegagalan di sejarah Perang Salib sebelumnya menurut World History Encyclopedia.
Jika Pasukan Salib tidak bisa melakukan serangan langsung ke Tanah Suci Yerusalem, menyerang melalui Mesir dianggap sebagai cara yang lebih mudah. Mesir dianggap sebagai "pintu belakang" Peradaban Islam.
Setelah pendaratan, Pasukan Salib berbaris di sepanjang Sungai Nil menuju Kairo, sekitar 160 km (100 mil) jauhnya. Mereka akan menyerang kota berpenduduk sekitar 60.000 itu.
Jumlah Pasukan Salib yang ikut berjumlah 30.000 orang pada puncaknya. Mereka terdiri dari ksatria Pasukan Salib dari Eropa bersama baron dari Timur Latin.
Kemudian juga ikut ksatria dari tiga ordo militer utama: Ksatria Hospitaller, Ksatria Templar, dan Ksatria Teutonik.
Sementara pasukan di lapangan dipimpin oleh John dari Brienne, raja Kerajaan Yerusalem (memerintah 1210-1225 M). Akan tetapi salah satu masalah Perang Salib Kelima adalah kurangnya kepemimpinan yang jelas dan strategi yang menentukan.
Di sisi lain, yang bertugas memimpin pasukan Muslim dan mempertahankan Mesir adalah al-Kamil dari Dinasti Ayyubiyah. Ia adalah putra Sultan dan menggantikan memimpin Mesir dari Agustus 1218 M (hingga 1238 M).
Kota Damietta atau Dimyath sekarang menjadi target pertama sejarah Perang Salib kelima. Kota ini memiliki tiga lingkaran tembok benteng yang kokoh.
Ada parit antara tembok pertama dan kedua dan 28 menara dibangun di tembok terakhir. Pertahanan ini akan menjadi kacang yang sulit untuk dipecahkan.
Akan tetapi, kota itu "adalah kunci seluruh Mesir", "pintu belakang" Peradaban Islam di Timur Tengah. Hal itu seperti yang dicatat oleh seorang Pasukan Salib dalam karya Asbridge.
Pasukan Salib mendirikan kemah di sebelah barat atau tepi jauh sungai di luar kota. Rintangan pertamanya adalah melewati rantai besar yang tergantung di antara tembok kota dan pulau kecil tapi berbenteng di Delta Sungai Nil.
Rintangan itu bahkan terlihat sebelum Pasukan Salib sampai ke kota tersebut. Rantai ini memblokir akses ke pelabuhan kota.
Pasukan Salib menghabiskan beberapa bulan untuk mencoba menyerang menara rantai setinggi 21 meter (70 kaki). Menara itu dijaga oleh sekitar 300 orang pasukan.
Pasukan itu bahkan dapat disuplai kembali berkat jembatan yang dibangun dari perahu yang menghubungkan menara ke Damietta.
Pada tanggal 24 Agustus, Pasukan Salib berhasil merebutnya dan akhirnya menurunkan rantainya. Upaya tersebut berhasil setelah Pasukan Salib membangu menara pengepungan di atas kapal yang diikat menjadi satu.
Namun, merebut menara rantai tidak sama dengan merebut Damietta, dan kota itu masih berdiri kokoh di seberang perairan. Ada juga ancaman laten dari al-Kamil, yang menjaga posisinya dengan pasukan besar yang berkemah di sisi timur Sungai Nil.
Sementara itu, musim dingin yang semakin dekat juga mengancam secara signifikan dan menambah masalah bagi Pasukan Salib. Sampai akhirnya, kamp Pasukan Salib mengalami banjir dari luapan Sungai Nil karena badai pada tanggal 29 November 1218 M.
Masalah perbekalan juga memperparah kondisi Pasukan Salib dan penyakit kudis mulai merajalela. Bisa dibayangkan, penduduk Damietta tidak bernasib lebih baik.
Sepanjang musim dingin, musim semi, dan musim panas tahun 1219 M, kedua belah pihak terus berselisih.
Pasukan Salib terus bertahan untuk melakukan serangan apa pun ke kamp mereka yang sangat berbahaya. Namun mereka tidak memiliki tenaga untuk serangan skala penuh ke kota atau pasukan al-Kamil.
Kondisi Pasukan Salib semakin melemah setelah beberapa kontingen Pasukan Salib memilih mundur dan kembali ke negaranya. Harapan yang tersisa adalah, janji Frederick II yang akan memberikan bantuan dengan pasukan yang lebih besar.
Akan tetapi, setelah lama ditunggu-tunggu, justru datang berita bahwa Frederick tidak akan datang sampai tahun depan. Sejarah Perang Salib kelima sepertinya akan mencapai titik nadirnya.
Bahkan meski setelah Pasukan Salib mendapatkan bala bantuan pasukan Francis dari Asisi, Pasukan Salib tetap tidak dapat meyakinkan Peradaban Islam bahwa Tuhan pasti tidak ada di pihak mereka.
Pada musim gugur 1219 M, debit air Sungai Nil mulai berkurat dan berdampak pada hasil panen. Kondisi ini malah memicu masalah baru, yaitu kelaparan dan masalah pangan bagi kedua belah pihak.
Tawaran Gencatan Senjata
Pada bulan September, al-Kamil, mungkin menyadari garnisun Damietta hanya memiliki waktu yang sangat terbatas. Ia takut akan kedatangan Pasukan Salib yang lebih besar.
Al-Kamil kemudian menawarkan gencatan senjata dengan persyaratan yang luar biasa. Dia akan mempertahankan Damietta dan sebagai imbalannya, memberi orang Latin kendali atas Yerusalem.
Terlepas dari signifikansi religiusnya bagi kedua belah pihak, Tanah Suci Yerusalem memiliki nilai ekonomi atau bahkan strategis yang sangat terbatas dan telah lama diabaikan oleh Ayyubiyah.
Bahkan Dinasti Ayyubiyah juga mengabaikan wilayah Palestina dan mungkin juga akan menyerahkannya. Hal itu menunjukkan bahwa al-Kamil lebih tertarik pada kerajaannya yang lebih luas.
Al-Kamil mungkin melihat tanah Mesir dan Suriah yang jauh lebih kaya jika dibandingkan Palestina dan Tanah Suci Yerusalem.
Akan tetapi, yang lebih mengejutkan dari tawaran Dinasti Ayyubiyah adalah tawaran itu ditolak. Padahal tujuan utama Perang Salib setelah merebut Mesir adalah merebut Tanah Suci Yerusalem.
Sejarah Perang Salib kelima terus bergulir ke arah yang makin sulit dipahami. Di satu sisi, perkiraan bahwa Mesir adalah "pintu belakang" Peradaban Islam yang mudah untuk ditembus ternyata salah.
Sementara di sisi lain, tawaran penyerahan Tanah Suci Yerusalem sebagai syarat gencatan senjata ternyata tidak menarik bagi Pasukan Salib.
John dari Brienne dan Ksatria Teutonik sangat ingin menerima tawaran itu. Akan tetapi Ksatria Templar, Ksatria Hospitaller, Venesia dan pemimpin agama paling senior, Kardinal Pelagius malah menolaknya.
Sedangkan kelompok yang tersisa khawatir bahwa tanpa benteng vital Kerak dan Montreal, akan sulit bagi Pasukan Salib untuk mempertahankan Tanah Suci Yerusalem.
Jadi meski mereka mendapatkan Tanah Suci Yerusalem, Pasukan Salib akan sulit mempertahankannya. Benteng vital Kerak dan Montreal yang ingin dipertahankan oleh al-Kamil dianggap kunci kekuatan.
Terlepas dari itu semua, kedatangan Frederick yang terlambat telah membuat Pasukan Salib ingin melanjutkan pengepungan.
Dengan penolakan tawaran perdamaiannya, al-Kamil melanjutkan penyerangan dan menyerbu kamp Pasukan Salib, tetapi pasukannya berhasil dipukul mundur.
Pada bulan November 1219 M, Pasukan Salib menyerang Damietta, dan setelah menerobos reruntuhan menara, pertahanan kota yang kini tinggal sedikit berhasil ditembus.
Pasukan Salib terkejut melihat keadaan musuh dengan jalan-jalan berserakan dengan mayat. Sedangkan mereka yang masih hidup menderita kekurangan gizi dan penyakit yang ekstrem.