Kenyataan Di Balik Sejarah Parijs van Java dari Kota Tua Braga

By Galih Pranata, Senin, 17 Juli 2023 | 13:00 WIB
Societeit Concordia di jalan Braga, sebuah kota tua di Bandung. Situs ini jadi saksi bisa adanya kenyataan pahit di balik sejarah Parijs van Java. (Collectie Tropenmuseum)

Nationalgeographic.co.id—Menyusuri jalan di bawah rintik gerimis, membuat nuansa kota tua Braga semakin syahdu. Konon, sejak lama Braga dikenal sebagai lokasi paling bersejarah di Kota Bandung.

Menjejaki sepanjang jalan pavement, saya melintasi arsitektur demi arsitektur bergaya Eropa yang menghias sepanjang jalan. Barangkali, inilah yang membuat Bandung mendapatkan julukan di zaman Hindia Belanda dengan julukan Parijs van Java.

Terlebih, dari perkomplekan klasik di Braga ini juga istilah Parijs van Java disematkan oleh orang-orang Belanda. Sebuah situs bersejarah yang memiliki keindahan bak Kota Paris. 

Ditemani pramuwisata, teteh Karin, ia menjelaskan bahwa seluk beluk penyematan Parijs van Java juga dikenal karena Braga merupakan tempat Eropa-Eropa kaya menikmati hidup.

Di sudut kota tua itulah, baju impor yang didatangkan langsung dari Paris diperjualbelikan. Orang-orang Eropa maupun Belanda, mulai mengenal Braga laiknya Paris, menjadikannya satu sejarah Parijs van Java.

Berbicara tentang sejarah Parijs van Java, histori Braga pernah dikaji oleh Achmad Sunjayadi dalam jurnal Paradigma: Jurnal Kajian Budaya berjudul Melacak Akar Kreativitas di Kota Bandung Masa Kolonial, terbitan tahun 2020.

"Di Jalan Braga sudah berdiri enam rumah terbuat dari batu milik pejabat dan pensiunan Belanda. Ada juga beberapa warung dari bambu dan beberapa toko. Sampai 1881 jumlah rumah di Jalan Braga bertambah menjadi delapan buah," tulis Achmad.

Pada tahun 1880-an, hubungan di antara penduduk di Braga tidak terbatas pada penduduk Belanda dengan pribumi. Ada pula penduduk Tionghoa, yang sejak periode terdahulu telah ada di Kota Bandung melalui kegiatan perdagangan.

Para pedagang Tionghoa juga kerap berhubungan dengan penduduk lainnya. Dari sana, beragam kuliner khas Tionghoa, seperti bacang, bakmi, bakpau, kecap, sekoteng, tauco dikenal juga oleh penduduk pribumi.

Asal-usul nama Braga belum dapat dipastikan. Ada yang mengaitkannya dengan nama minuman yang disajikan di Societeit Concordia (tempat hiburan di sudut jalan Braga), atau ada juga yang menghubungkannya dengan bahasa Sunda.

Dalam bahasa Sunda dikenal dengan baraga atau ngabaraga (berjalan menyusuri sungai). Yang jelas, nama Braga muncul ketika di wilayah itu berdiri toneelvereeniging (perhimpuan sandiwara) di Braga pada 1882.

Tujuan perhimpunan toneelvereeniging yang disetujui berdasarkan Gouvernement Besluit Bij Staatsblad No 152, adalah meningkatkan hubungan sosial dengan menyelenggarakan pertunjukan drama, musik, dan karya sastra di Braga.

Jalan Braga dihias dengan meriah dan mewah menjelang pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard. (Wikimedia Commons)

Braga menjelang akhir abad ke-19 telah menjadi kawasan pertokoan. Setiap akhir pekan, khususnya Sabtu sore, toko-toko butik dan fesyen di daerah itu banyak dikunjungi oleh orang Eropa.

Pasalnya, hanya di Braga, mereka menemukan baju dan pakaian mewah yang hanya bisa mereka lihat di Hindia Belanda, selain di Paris. Salah satu toko pakaian yang paling besar di Braga kala itu adalah Onderling Belang.

Terjadi juga persaingan antar toko dengan Onderling Belang, yaitu toko pakaian bernuansa Paris, Au Bon Marché serta penjahit seperti Keller’s Mode Magazijn, August Savelkoul.

Peningkatan jumlah orang Eropa di Bandung mendorong pemerintah untuk membangun sarana hiburan. Begitu juga dengan sejarah Parijs van Java yang lekat dengan komunitas Eropa kaya yang menghidupkan budaya hedonisme di Braga.

Pada tahun 1895, di ujung selatan jalan Braga mulai dibangun gedung Societeit Concordia (sekarang bangunan yang terletak di sayap kiri Gedung Merdeka). Gedung mewah itu semula dibangun untuk tempat pertemuan Bandoengsche Landbouwvereeniging (Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Bandung).

Kemudian, bangunan mewah itu kemudian direnovasi untuk kegiatan perkumpulan Societeit Concordia dan tempat hiburan (musik dan dansa) bagi orang Eropa, utamanya orang-orang elit dan pengusaha kaya raya Belanda.

Dalam laporan surat kabar Bataviaasch Handelsblad bertitimangsa 2 Juli 1879, Berdasarkan Ordonantie Staatsblad 29 Juni 1879 No. 208, selain orang Eropa, orang Tionghoa juga dapat menjadi anggota perkumpulan itu dengan membayar iuran sebesar 5 gulden per bulan.

Selain kegiatan para anggota Societeit Concordia di gedung Concordia, tercatat sejak 1896, setiap akhir Juli hingga awal Agustus selama tiga hari diselenggarakan kegiatan pacuan kuda di lapangan Tegallega.

Agenda yang diselenggarakan secara mewah ini diadakan oleh Preanger Wedloop Societeit (Perkumpulan penggemar kuda pacuan). Sontak, pacuan kuda mulai digemari di Bandung, dan menjadi pusat hiburan baru di sana.

Tak sembarangan, Preanger Wedloop Societeit yang didirikan pada 1889, berada di bawah perlindungan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda A.J. Duymaer van Twist yang menjabat pada 1851–1856.

Memiliki relasi kuasa, segenap pengurusnya adalah para pejabat Belanda dan pribumi di Preanger Regentschappen (Kabupaten Priangan). Perkumpulan elit ini secara rutin menyelenggarakan kegiatan, seperti pertunjukan musik, dan pesta dansa di akhir pekan.

Ilustrasi tulisan diskriminatif yang terpampang di banyak tempat elit Eropa atau Belanda yang melarang adanya pribumi, termasuk di Braga dan gedung Societeit Concordia. (Gilang Kembara/Twitter)

Lantas bagaimana dengan pribumi? Apakah mereka bisa bergabung dengan komunitas elit Societeit Concordia atau Preanger Wedloop Societeit?

Lebih lanjut, Karin menjelaskan tentang adanya diskriminasi yang dialami oleh penduduk pribumi di Bandung. Sebelum pintu masuk menuju Braga, terdapat sebuah gapura bertuliskan: Verboden voor Honden en Inlander.

Tulisan itu bermakna "Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi." Braga memang tempat yang mewah namun tertutup dari pribumi. Sebuah kenyataan pahit di balik sejarah Parijs van Java.

Memang slogan Verboden voor Honden en Inlander ini tidak hanya ditemukan di Braga atau beberapa tempat di Bandung, tapi juga dibanyak tempat elit yang diisi oleh komunitas kaya Eropa atau Belanda.

Bagaimanapun, kecantikan berbalut kemewahan kota tua Braga yang estetik, bergaya klasik, menyimpan sejarah pahit. Sejarah Parijs van Java yang menawan, kenyataannya menyimpan adanya diskriminasi yang memprihatinkan.